Sutopo Purwo Nugroho

Jakarta (Metrobali.com)-

Pakar hidrologi Sutopo Purwo Nugroho mengatakan pengambilan air tanah oleh masyarakat di kota-kota besar seperti Jakarta harus dikendalikan untuk mengantisipasi dampak kerusakan sumber daya air yang bisa menimbulkan bencana.

“Sebenarnya peraturan daerah tentang pengambilan air tanah sudah ada. Jangankan perda, undang-undang tentang lingkungan juga banyak. Tapi jangan kira masyarakat kalau diberi buku peraturan otomatis sadar,” kata Sutopo Purwo Nugroho di Jakarta, Rabu (3/9).

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu mencontohkan ada kebutuhan dari masyarakat yang tidak bisa dipenuhi oleh perusahaan daerah air minum (PDAM) sehingga tetap mengambil air tanah.

Perusahaan-perusahaan yang punya uang banyak, tidak bisa dipantau bila di dalam pabriknya melakukan pengeboran sumur dalam. Apalagi, bagi masyarakat yang tidak mampu membeli air dari PDAM, pasti lebih memilih mengambil air tanah.

“PDAM sudah menjangkau berapa persen masyarakat Jakarta? Katakanlah 60 persen. Ketika kebutuhan semakin meningkat, otomatis mengambil air tanah. Teknologi untuk mengambil air tanah juga sudah semakin banyak,” tuturnya.

Teknologi saat ini sudah memungkinkan untuk mencari akuifer, yaitu lapisan bawah tanah yang mengandung air dan dapat mengalirkan air, secara akurat.

Padahal, kata Sutopo, pengambilan air tanah yang tidak terkendali bisa menyebabkan beberapa dampak negatif. Pengambilan air secara besar-besaran menyebabkan massa akuifer menyusut sehingga akan membuat tinggi muka tanah menurun.

Di daerah pesisir, hilangnya air tanah akibat disedot akan menyebabkan pori-pori tanah diisi air laut sehingga terjadi intrusi air laut. Karena itu, tidak heran bila sumur di daerah pesisir mengeluarkan air payau.  AN-MB