Habibie 1

Jakarta (Metrobali.com)-

-Sebanyak 48 ribu tenaga ahli berbagai bidang yang dipersiapkan pada zaman Soeharto oleh Menristek Prof Dr BJ Habibie, saat ini tidak diketahui lagi keberadaannya. Mereka tidak kembali pulang ke Tanah Air karena tidak ada pengembangan karier mereka termasuk sebagai seorang peneliti.

Saat ini sebagian besar mereka saat ini bekerja di beberapa perusahaan besar di negara Eropa dan Amerika.

“Mereka disekolahkan ke berbagai bidang ilmu seperti ahli penerbangan, kapal, telekomuinikasi. Saat ini tidak banyak yang diketahui mereka kemana,” kata Habibie di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Salah satu alasan mereka bekerja di luar negeri adalah besarnya dana riset bagi oleh swasta ataupun pemerintah di negara maju sehingga mereka dapat mengembangkan ilmu yang sudah diperolehnya di dunia pendidikan.

Perusahaan besar di negara maju sudah sangat paham memandang riset sebagai kunci kemajuan bisnis mereka. Demikian juga pemerintah di negara-negara Asia yang baru berkembang saat itu seperti Korea Selatan dan Tiongkok mulai menggelontorkan dana riset besar-besaran sehingga dalam waktu 20 tahun, penguasaan teknologinya tidak kalah dengan negara Jepang dan Amerika.

Saat ini, kabar baik berhembus di dunia pendidikan Indonesia, khususnya di kalangan peneliti dan pakar riset negeri ini, ketika Presiden terpilih Joko Widodo berencana menaikkan anggaran riset, meski jumlahnya belum disebutkan secara pasti.

“Kalau sampai Rp80 triliun saya nggak janji. Tapi, kalau lebih banyak saya usahakan,” kata Joko Widodo saat menghadiri seminar “Kebijakan Berbasis Penelitian dan Pengembangan” di Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Selasa.

Tentunya kabar ini sangat menggembirakan bagi para peneliti atau yang juga biasa disebut “orang pintar” sebab sesuai catatan salah satu peneliti dari Pusat Peneliti Politik (P2P) LIPI, Riefqi Muna PhD, anggaran riset di Indonesia tidak pernah naik sejak tahun 1969.

“Komitmen negara mendukung riset mengalami penurunan secara sistematis dan terstruktur dari tahun 1969 hingga 2000, hal ini menyebabkan banyaknya permasalahan riset di negeri ini,” kata Riefqi yang juga anggota “Research Committe International”.

Riefqi mengatakan, pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) anggaran riset pernah dijatah satu persen dari APBN, meski dalam aplikasinya tidak pernah sampai.

Sementara berdasarkan data “R&D Magazine” atau Majalah Riset dan Pengembangan Internasional, posisi Indonesia berada mendekati nol atau dibawa 1 persen dalam pengembangan keilmuan, artinya masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan masih sedikit.

Padahal, kedudukan ilmu pengetahuan di suatu negara sangat menentukan kemajuan bangsa, sebab meski suatu bangsa memiliki sumber alam melimpah namun tidak disertai keilmuan yang tinggi akan menjadi santapan empuk negara maju.

Sebaliknya, bagi bangsa yang tidak memiliki sumber alam melimpah namun mempunyai penguasaan ilmu pengetahuan yang bagus, ia bisa menjadi lebih maju dibandingkan negara yang kaya sumber alamnya.

Oleh karena itu, Riefqi yang juga tergabung dalam asosiasi sosiolog internasional mengapresiasi langkah pemerintahan Jokowi-Kalla yang berencana menambah anggaran riset, meski dirinya tidak tidak tahu betul rencana dibalik ini.

Dia berharap, langkah yang diambil pemerintahan baru bisa membuka harapan dan peluang bagi peneliti Indonesia, sehingga kepintaran peneliti Indonesia tidak selalu dimanfaatkan oleh negara lain.

“Kalau Pak Jokowi komitmen memperkuat dunia riset kita, dia harus bisa membawa pulang ahli-ahli kita yang ada dimana-mana, dan dia harus memperhitungkan hal itu,” katanya.

Menurutnya secara anggaran nasional, bangsa Indonesia sangat mampu menarik orang-orang pintar Indonesia untuk pulang dan bekerja di dalam negeri, namun yang paling penting adalah komitmen kuat dari pemerintahan baru.

Ia berharap, pemerintahan Jokowi-Kalla dapat mewujudkan mimpi menarik semua ahli Indonesia yang ada di luar negeri dan bersama membangun Indonesia yang lebih kuat dan maju dalam hal keilmuan dan teknologi.

Kepala LIPI Prof Dr Lukman Hakim mengatakan, idealnya anggaran yang dibutuhkan untuk riset mencapai sekitar Rp80 triliun, dan kini LIPI masih menerima anggaran sebesar Rp10,4 triliun atau satu persen dari Pendapatan Domestik Bruto.

Lukman menyambut baik adanya peningkatan anggaran, meski peningkatan anggaran tidak harus berarti ada penambahan anggaran namun bisa juga diberikan melalui insentif.

Pemisahan Kementerian Pendidikan Sementara itu, penambahan anggaran pada riset tidak lepas dari upaya rencana pemerintah Jokowi-Kalla yang akan memisahkan kementerian pendidikan menjadi dua bagian.

Pemisahan ini pun mendapat sambutan baik dari sejumlah peneliti, seperti peneliti dari Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, Dr Aji Sofyan Effendi.

Ia berharap, dengan pemisahan ini pemerintah yang baru akan lebih fokus memperhatikan peneliti Indonesia.

“Dengan adanya pemisahan ini diharapkan pemerintah akan fokus dan peduli dalam mendorong penelitian di Indonesia,” katanya.

Peneliti lain dari LIPI, Syamsuddin Haris mengatakan pemisahan akan membuat kementerian lebih fokus dan efektivitas akan tercapai.

Dikatakannya, pemisahan yang dilakukan oleh pemerintah Jokowi-Kalla merupakan masukan dari berbagai kalangan, termasuk LIPI setelah melihat kinerja pendidikan nasional selama ini.

Sebelumnya, Jokowi mengatakan akan membagi dua bagian Kementerian Pendidikan, yakni pendidikan dasar yang mencakup SD, SMP dan SMA, serta pendidikan tinggi yang akan digabung dengan riset.

Ia mengatakan, dengan sektor pendidikan tinggi, riset, teknologi, sosial, pertanian dan maritim dalam satu naungan kementerian akan bisa dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat maupun dunia usaha.

“Anggarannya dikumpulin. Anggarannya lebih jelas lari ke mana, hasilnya bisa diukur jelas juga,” kata mantan Walikota Surakarta ini. AN-MB