arus mudik

Bogor (Metrobali.com)-

Tradisi mudik menjelang Idul Fitri telah berurat berakar dalam budaya masyarakat Indonesia sejak lama.

“Ritual budaya” tahunan ini tak lekang didera zaman dan tak pula terpengaruh oleh pemerintahan yang berganti maupun harga-harga. kebutuhan pokok yang kerap melambung menyambut Ramadhan dan Lebaran.

Pada tahun pertama era pemerintahan Presiden Joko Widodo ini, puluhan juta warga Indonesia pun kembali menjalani tradisi mudik untuk merayakan Lebaran 2015 di kampung halaman di tengah kemacetan dan kecelakaan yang dari tahun ke tahun seakan tak pernah absen menyertai perjalanan budaya tersebut.

Namun, pada perayaan Idul Fitri tahun ini, ada suguhan baru dari pemerintah, khususnya bagi para pemudik yang hendak menuju akses jalan ke kampung halaman mereka yang ada di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur melalui akses Tol Cikampek.

Suguhan baru itu tiada lain adalah Tol Cipali, jalan bebas hambatan yang dibangun di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono namun baru rampung delapan bulan setelah kepala negara keenam RI itu menyelesaikan tugasnya.

Ruas Tol Cipali sepanjang 116 kilo meter yang menghubungkan Cikampek, Kabupaten Karawang, dan Palimanan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, itu beroperasi setelah diresmikan Presiden Joko Widodo pada 13 Juni atau lima hari sebelum Ramadhan.

Suguhan baru tersebut tak pelak disambut para pemudik yang pulang ke kampung halaman dengan bus antarkota-antarprovinsi maupun mobil pribadi kendati puluhan kasus kecelakaan mewarnai kehadiran tol terpanjang di Indonesia itu.

Di antara kasus-kasus kecelakaan lalu lintas di ruas Tol Cipali yang mendapat perhatian publik adalah pengemudi minibus yang menabrak sebuah mobil kontainer pada 6 Juli. Kecelakaan maut itu menewaskan setidaknya enam orang.

Menanggapi sejumlah kasus kecelakaan yang terjadi di ruas tol yang menghubungkan Cikopo-Kalijati, Kalijati-Subang, Subang-Cikedung, Cikedung-Kertajati, Kertajati-Sumberjaya, dan Sumberjaya-Palimanan itu, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan RI menduga faktor pengemudi memainkan peranan penting.

Direktur Keselamatan Transportasi Darat I Gede Pasek Suardika dalam pernyataannya yang dipublikasi di laman resmi Kementerian Perhubungan menegaskan bahwa para pengemudi bisa tidak menyadari peningkatan kecepatan kendaraannya akibat kondisi jalan Tol Cipali yang mulus dan lurus.

Karena itu, kemampuan dan kesadaran para pengemudi untuk senantiasa mengendalikan kecepatan kendaraannya sesuai dengan batas kecepatan yang telah ditentukan sangat penting.

“Kecepatan maksimum di jalan tol adalah 100 kilo meter per jam. Lebih baik di bawah 100 kilo meter per jam. Antara 70 sampai 80 kilo meter per jam,” kata Suardika.

Saran Direktur Keselamatan Transportasi Darat Kemenhub RI agar para pengemudi mematuhi batas kecepatan maksimal kendaraannya saat melintasi ruas Tol Cipali itu pun didukung hasil survei Universitas Indonesia.

Hasil survei tersebut menunjukkan, pengemudi tidak merasakan jika kecepatan kendaraannya telah mencapai 150 kilometer per jam akibat kondisi jalan yang “bagus, datar dan lurus”, katanya.

Suardika pun menampik jika sejumlah kecelakaan tunggal yang terjadi disebabkan oleh infrastruktur jalan yang pembangunannya menelan biaya sekitar Rp20,2 triliun itu karena 74 persen kecelakaan di ruas tol tersebut disebabkan oleh pengemudi yang mengantuk dan 14 persen lainnya akibat kelelahan pengemudi.

Argumentasi yang relatif sama juga disampaikan Pengamat Transportasi Universitas Trisakti Jakarta Yayat Supriyatna.

Menurut dia, penyebab kecelakaan di ruas tol itu adalah faktor kebiasaan pengemudi yang cenderung memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi saat menemui “jalan yang masih bagus, mulus dan kosong”.

“Secara psikologis orang akan lebih mudah dilanda rasa kantuk saat memasuki jalan tol. Perlu diingat juga bahwa sebagian besar pengemudi yang masuk ke Tol Cipali itu bukan hanya menggunakan jalan bebas hambatan di wilayah tersebut, tetapi sudah masuk tol sejak di Bogor, Depok, bahkan Merak,” katanya.

Oleh karena itu, tidak sedikit pengemudi yang mengalami titik jenuh atau puncak akumulasi rasa lelah saat memasuki ruas jalan Tol Cipali, katanya.

Di tengah suasana lalu lintas arus mudik dan arus balik Lebaran yang padat dan kerap diwarnai sejumlah kecelakaan maut yang menelan korban dan kerugian material yang tidak sedikit, tradisi mudik sepertinya tak bakal ikut mati.

Namun bagaimana tradisi tahunan yang ditandai dengan eksodusnya puluhan juta orang ke kampung halamannya itu dapat dijalani dengan aman dan nyaman? Pakar perencanaan infrastruktur dan transportasi Bambang Susantono berpendapat setidaknya ada lima aspek utama yang perlu diterapkan untuk mengatasi permasalahan yang ada, yakni “keamanan, keselamatan, keterjangkauan, kenyamanan, dan kultural.” “Dua dari lima poin di atas, keamanan dan keselamatan merupakan faktor vital yang wajib diwaspadai ketika mudik. Sebab rasa antusias saja tidak akan cukup menjadi jaminan perjalanan sampai dengan selamat ke kampung halamannya,” tulis Bambang dalam bukunya “Revolusi Transportasi #Revolutrans” (2014:46-48).

Bagi mantan Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah (2007-2010) ini, masalah keselamatan para pemudik terkait erat dengan “penegakan hukum yang konsisten”.

“Tengok saja frekuensi kecelakaan di musim mudik hampir selalu tinggi. Penegakan hukum yang konsisten atas peraturan lalu lintas seharusnya menjadi langkah utama,” katanya.

Mengapa penegakan hukum ini penting? “Karena jika koridor peraturan terus dibiarkan longgar dan terkesan tidak tegas, tentu bakal berakibat fatal dan memberi contoh tidak benar bagi pengguna jalan lainnya,” tulis Bambang Susantono. AN-MB