Jakarta (Metrobali.com)-

Elit politik tengah dilanda demam konvensi dan penjajakan atas peluang mereka untuk menjadi calon presiden dalam Pemilu 2014.

Lembaga survei ramai-ramai mengumumkan hasil penelitiannya mengenai popularitas dan elektabilitas sejumlah tokoh, berbagai organisasi mendeklarasikan dukungan bagi jagoan mereka, partai-partai politik menggosok andalan mereka agar semakin diterima rakyat, dan sejumlah elit menyatakan kesiapan diri menjadi pemimpin seolah menjadi figur yang paling mampu menakhodai bangsa besar ini.

Pertanyaan besar atas dinamika politik kontemporer di Tanah Air dewasa ini apakah telah melibatkan sebesar-besarnya partisipasi rakyat yang berdaulat dan bukan sekadar tontonan bagi rakyat.

Sejatinya, dalam demokrasi selalu menyertakan keikutsertaan rakyat dan mencerminkan kedaulatan rakyat yang sebenarnya, bukan diambil alih oleh segelintir elit yang mempengaruhi rakyat, apalagi mengarahkan dan mendikte rakyat agar menerima kepentingan elit.

Filsuf modern AS Sidney Hook (1902-1989) yang banyak mengajarkan teori politik, etika, dan sejarah menyimpulkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak, didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.

Rakyat dewasa adalah rakyat yang matang, memiliki hak pilih, dan cerdas memutuskan atas berbagai alternatif yang tumbuh di masyarakat, bukan yang terombang-ambing oleh berbagai tawaran dari elit politik. Kebebasan yang dimiliki rakyat adalah kedaulatan yang tidak bisa dipaksakan oleh siapapun.

Dari dua pilihan, demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan, Indonesia dengan bentangan wilayah yang sangat luas dan jumlah penduduk terbesar keempat setelah China, India, dan AS, menerapkan demokrasi perwakilan, di mana seluruh rakyat memilih perwakilan melalui pemilihan umum untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan bagi mereka.

Indonesia pun kaya dengan soko guru dan prinsip demokrasi yakni kedaulatan rakyat, pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah, kekuasaan mayoritas, hak-hak minoritas, jaminan hak asasi manusia, pemilihan yang bebas, adil dan jujur, persamaan di depan hukum, proses hukum yang wajar, pembatasan pemerintah secara konstitusional, pluralisme sosial, ekonomi, dan politik, nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

Ciri-ciri demokrasi pun lekat dalam bangsa Indonesia seperti adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan), adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara), adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang, adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum.

Selain itu, adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara, adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah, adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat, adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat, dan adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, ras, dan antargolongan).

Namun, orkestra demokrasi di Indonesia belum sepenuhnya sejalan selaras dalam harmoni, terasa gaduh dengan berbagai kepentingan yang tak jarang saling berbenturan.

Saat memberikan sambutan pada acara buka puasa bersama forum koordinasi pimpinan daerah, alim ulama, dan tokoh masyarakat Jawa Timur di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Kamis (1/8), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono antara lain mengatakan demokrasi di Indonesia menghadapi tiga tantangan yang membutuhkan optimisme, sehingga dapat mewujudkan bangsa yang sejahtera, adil, dan maju.

Pertama, demokrasi atau politik yang baru menuju ke tingkat kematangannya. Belum matang sebenarnya sehingga wajar kalau masih ada konflik, pertentangan, dan sebagainya.

Tantangan kedua, demokrasi yang multipartai yang rentan dengan instabilitas. Dulu pada masa Presiden Soeharto, partai hanya tiga. Sekarang banyak. Banyak parpol, banyak kepentingan, banyak dinamika. “Pasti di sana-sini timbul ketegangan instabilitas,” katanya.

Tantangan ketiga, demokrasi multibudaya sebagai implikasi masyarakat Indonesia yang majemuk dengan berbagai suku, ras, dan agama. Untuk itu, dalam masyarakat majemuk harus dipupuk dan dikembangkan sikap saling menghormati, menghargai, toleransi dan saling mengasihi.

Presiden optimistis, bila tiga hal tersebut dapat dikelola dan diantisipasi, Indonesia pada 32 tahun mendatang (momentum 100 tahun Republik Indonesia) dapat menjadi negara maju yang adil dan sejahtera.

Transformasi Bila diamati secara seksama, demokrasi di Indonesia sedang terus bertransformasi. Demokrasi di Indonesia tetap merupakan satu proses berkelanjutan.

Pada awal transisi 15 tahun yang lalu, Indonesia mengalami krisis multidimensi akibat keruntuhan ekonomi, ketidakstabilan politik, kerusuhan sosial, separatisme, konflik komunal, kekerasan antaretnis, dan terorisme. Situasi sedemikian parahnya sehingga Indonesia diprediksi akan menjadi Balkan yang baru, hancur berkeping-keping.

Namun, bangsa Indonesia dengan gigih menantang skenario kehancuran tersebut dengan menyelesaikan permasalahan satu per satu seperti menyelesaikan konflik separatisme di Aceh yang telah berlangsung selama 30 tahun, mengembalikan stabilitas politik dan ekonomi, menegakkan hukum, memperkuat institusi demokrasi dan mewujudkan masyarakat madani, memperbaiki citra bangsa di luar negeri dengan politik bebas aktif, serta mengatasi diskriminasi.

Dalam praktik politik, Indonesia dalam satu dasawarsa ini melakukan inovasi dengan memberlakukan konvensi. Dimulai oleh Partai Golkar menjelang Pemilu 2004 dengan melakukan konvensi internal yang memilih Wiranto sebagai calon presiden dari partai berlambang beringin itu.

Kini konvensi calon presiden dipersiapkan untuk digelar oleh Partai Demokrat melalui mekanisme yang melibatkan eksternal, tak hanya internal partai berlambang bintang mercy itu.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI, memang tidak mudah bagi partai politik untuk mencari calon presiden sesuai kehendak rakyat. Belum tentu semua partai politik peserta pemilu bisa memiliki dan mengajukan calon presiden kepada rakyat pemilih.

Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menyebutkan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam UU itu menyebutkan bahwa penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan dengan tujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden yang memperoleh dukungan kuat dari rakyat, sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Di samping itu, pengaturan terhadap pemilu presiden dan wakil presiden dalam UU ini juga dimaksudkan untuk menegaskan sistem presidensiil yang kuat dan efektif. Presiden dan wakil presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat, tetapi dalam rangka mewujudkan efektivitas pemerintahan juga diperlukan basis dukungan dari DPR.

Undang-Undang itu mengatur mekanisme pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden untuk menghasilkan presiden dan wakil presiden yang memiliki integritas tinggi, menjunjung tinggi etika, dan moral serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik.

Presiden dan wakil presiden Republik Indonesia terpilih adalah pemimpin bangsa, bukan hanya pemimpin golongan atau kelompok tertentu. Untuk itu, dalam rangka membangun etika pemerintahan terdapat semangat bahwa presiden atau wakil presiden terpilih tidak merangkap jabatan sebagai pimpinan partai politik yang pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing parpol.

Proses pencalonan presiden dan wakil presiden dilakukan melalui kesepakatan tertulis partai politik atau gabungan partai politik dalam pengusulan pasangan calon yang memiliki nuansa terwujudnya koalisi permanen guna mendukung terciptanya efektivitas pemerintahan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta para tokoh yang akan maju dalam Pemilu Presiden 2014 agar dapat memahami kondisi bangsa sehingga realistis dan tidak selalu populis dalam menyampaikan janji kampanye.

“Tentu, para calon presiden, saatnya sekarang menyiapkan diri dan terus berikhtiar, sehingga pada saatnya nanti rakyat memilih. Kalau terpilih sampaikan apa yang ingin dilakukan, bagaimana mengatasi masalah bangsa yang rumit, makin gamblang dan logis, maka rakyat tidak sulit memilih siapa yang cocok berkompetisi di tahun mendatang,” kata Presiden Yudhoyono dalam acara buka puasa bersama di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Sabtu (3/8).

Program yang disampaikan kepada masyarakat hendaknya dapat benar-benar diwujudkan. Presiden menggarisbawahi pemimpin mendatang hendaknya bisa mengenali kondisi bangsa dan juga kondisi global serta capaian pembangunan selama ini.

Indonesia tak bisa lepas dari jati diri bangsanya yang memiliki kekhasan bila dibandingkan banyak negara lain di dunia. Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup sekaligus cita-cita bangsa Indonesia, yang berfungsi mengokohkan berdirinya negara Indonesia, dan penunjuk arah tujuan bangsa Indonesia, serta diterimanya Pancasila sebagai dasar negara yang mengatur ketatanegaraan bangsa Indonesia.

Di dalam Pancasila sudah terkandung demokrasinya bangsa Indonesia yaitu “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Sila keempat inilah yang menjadi demokrasi bangsa indonesia, berbeda dengan demokrasi yang berpedoman pada dunia barat, yang menghendaki pemilihan kepemimpinan dari kaum mayoritas.

Di dalam tujuan demokrasi harus mencerminkan Pancasila sila ke-5 yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”, dan untuk mewujudkanya, maka haruslah menjalankan amanat dari sila ke-2 sampai sila ke-3, dengan berlandaskan pada sila ke-1 yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Begitulah seharusnya setiap kesepakatan dihasilkan, berdasarkan demokrasi yang sehat, beretika, berpagarkan aturan hukum (rule of law), sesuai jati diri bangsa, bukan demokrasi menang-menangan. Budi Setiawanto/Ant