IGde Sudibya
Dihimbau berbagai pihak untuk bisa menahan diri berkomentar di medsos, sehingga tercipta suasana kondusif untuk menciptakan rekonsiliasi. Berikan kesempatan dengan hati lapang ke PHDI untuk melakukan Paruman dan kita bisa menerima hasilnya dengan besar hati.
Di era sekarang dimana politik menjadi panglima, semestinya diwaspadai dan tidak memberikan kesempatan kepada infiltrasi kepentingan politik, atau dipersepsikan demikian, yang membuat persoalannya menjadi semakin keruh dan pencarian solusinya menjadi semakin sukar.
Dalam situasi konflik sampradaya HK dengan sejumlah masyarakat Hindu dan Majelis Desa Adat (MDA) ini diperlukan kecerdasan, kerendah-hatian dan bahkan  kebijaksanaan dalam melakukan dialog. Bukan pendekatan menang-menangan, dan tidak perlu mengundang intervensi negara, untuk menunjukkan bahwa kita sudah dewasa dalam mengelola perbedaan.
Bagi politisi yang berupaya untuk merawat konstituennya, mempertahankan political equity brand, disarankan untuk tidak melakukan monuver politik, yang membuat suasana menjadi semakin kisruh, di tengah masyarakat menghadapi risiko pandemi dan tekanan ekonomi yang luar biasa berat.
Tidak pantas membawa nama pemimpin negara lain untuk tujuan promosi politik, tidak elok dalam hubungan diplomatik antar negara. Risikonya, bisa terjadi persepsi publik yang negatif  terjadap negara yang bersangkutan sesuatu yang sangat tidak perlu. Hubungan Indonesia India berjalan baik dan intim sejak awal kemerdekaan  dan nyaris tanpa riak, sampai hari ini.
Relasi perdagangan Indonesia India terus bertumbuh, ekspor minyak kelapa sawit  ke India meningkat. Bahan baku industri pharmasi kita nyaris tergantung pada 2 negara Tiongkok dan India, demikian juga kerjasama IT dimana India adalah jagonya. Manufer politik picisan yang bisa mengganggu hubungan intim kedua negara semestinya dihentikan.
Bagi para bhakta HK di Bali yang umumnya orang Bali, dihimbau untuk menghormati tradisi adat dan budaya Bali dimana mereka menjadi bagian dari budaya Bali. Penyelenggaraan doa dan ritual, sebaiknya dilakukan di rumah dan di  ashram masing-masing, tanpa mengganggu ketenangan dan ketentraman krama Bali lainnya.
Kebenaran Bhagawad Gita yang diyakini, tekuni di kelompik internal saja. Dalam rentangan sejarah sebagian Krama Bali sudah sejak lama menekuni Bhagavad Gita terjemahan dan tafsir dari Pandit Sastri, Nym.S Pendit, IB.Mantra, Cri Aurobindo, Anand Krsihna yang menurut pengakuan beliau sudah sampai ke tafsir ke 28. Semestinya perbedaan tafsir Githa ini, sebagai wahana untuk memperkaya pengetahuan holistik rohani dari Githa itu sendiri.
MDA sebagai garda terdepan pelestarian adat dan budaya Bali, semestinya juga punya program revitalisasi adat dan budaya, sehingga menjadi adaptif dan kenyal menghadapi arus perubahan zaman.
Di masa krama Bali menghadapi pandemi Covid-19, masa paceklik industri pariwisata yang sulit diperkirakan kapan berakhirnya, ada sejumlah agenda yang sangat mendesak krama Bali dimana MDA bisa berkontribusi.
Pertama, pemberian kepastian terhadap status hukum pelaba pura, kawasan hutan penyangga kesucian dan kawasan hutan lindung di masing-masing Desa Adat.
Kedua, kapitalisasi aset Desa Adat untuk berkontribusi bagi kesejahteraan krama yang ekonominya terlemah. Meminjam perumpamaan Gus Dur dalam sebuah acara santai di Gandhi Ashram sekarang Gedong Gandhi Ashram Canti Dasa, Candi Dasa di awal tahun 90’an: kalau mayoritas orang Indonesia miskin, ya orang NU. Kalau mayoritas krama Bali sulit kehidupannya ya krama Desa Adat Bali.
Ketiga, jujur harus diakui ada beban berat yang ditanggung oleh krama adat dalam penyelenggaraan adat dan budayanya, dan bisa jadi pemicu migrasi agama. Pekerjaan rumah (PR) yang juga harus dipikirkan oleh MDA.
Keempat, Bali dikenal sebagai pulau sorga yang damai, kita bangga terhadapnya, tetapi prilalu judi, minuman keras dan prilaku moral menyimpang lainnya, tampaknya tidak kunjung surut. Tantangan masing-masing Desa Adat untuk menanggulanginya.
Kelima, di awal reformasi lahir gerakan pemberdayaan Desa Pakraman,untuk membuat Desa Pakraman mandiri, terutama dari intervensi politik dan kekuasaan negara. Adagium pada waktu semangat reformasi itu, sejak era Mpu Kuturan dengan konsepsi Kahyangan Tiganya di awal abad ke 11, pemerintahan datang silih berganti, sampai Proklamasi 17/8/1945 dan sampai sekarang ( maksudnya awal tahun 90’an ), Desa Pakraman / Desa Adat tetap ajeg.
Tantangannya sekarang bagi MDA adalah menjaga pemberdayaan yang bersangkutan dalam bentuk kemandirian dan bebas dari intervensi, vested interest politik praktis.
Pilihan ini akan membuat  kebijakan MDA menjadi “MEMANIK dan TAKSU BALI ” terjaga.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, Ketua FPD ( Forum Penyadaran Dharma ) Denpasar.