Gde Sudibya
Denpasar, (Metrobali.com)-
Para politisi Senayan semestinya lebih paham arti dari politic: arts of possibility ( politik: seni mengelola kemungkinan ). Tetapi pembentukan UU Cipta Kerja, sangat tampak  kelompok kepentingan yang bermain dan apa target politiknya.
Hal itu dikatakan pengamat politik dan ekonomi Gde Sudibya, Rabu (28/10) di Denpasar
Gde Sudibya mencontohkan soal sisipan pasal tentang pajak yang muncul di injure time ( yang kemudian batal ), koreksi Sekneg tentang pasal yang berhubungan dengan pemungutan fee di industri migas, ( konon ) penghapusan royalti tambang untuk pertambangan batu bara dan sejumlah isu kontroversial lainnya. Sehingga menjadi sulit untuk bisa ditampik pendapat yang mengatakan pembuatan UU Cipta Kerja merupakan proses legislasi terburuk sejak Indonesia merdeka.
“Proses pembentukannya sepi perdebatan di antara anggota parlemen, sangat jauh dengan perdebatan keras bermutu di era demokrasi liberal  tahun 50’an,” kata Putra Tajun Buleleng ini.
Dikatakan, masih mending kalau “gerombolan” Orba, ideologinya masih ada: develomentalism ( paham pembangunan ). Kalau pengusaha ” hitam ” tidak lagi mengenal ideologi, hanya kepentingan kelompok kecil, cepat menghasilkan ( quick yielding ) dalam  jumlah besar dengan menguras sumber daya  nasional terutama sumber daya alam, dengan politik menghalalkan semua cara ( machiavelian ).
“Inilah waktunya ketangguhan, kecerdasan dan keberanian Jokowi sebagai Presiden terpilih dan Kepala Negara diuji. Pilpres masih empat tahun lagi, tetapi inner circle di seputar pusat kekuasaan pantas diduga bermain, dengan memanfaatkan seluruh celah yang ada, sekaligus memberikan penggambaran dari libido kekuasaan yang terlalu menggebu-gebu. Hasrat besar untuk menguasai tanah negara, dan harapan untuk memperoleh untung besar dalam pembangunan properti bagi orang asing,  pemutihan HGU dan HPL di hutan-hutan lindung, ekonomi rente dari liberalisasi perdagangan pangan, rebutan licensi fee untuk eksplorasi pertambangan, pembebasan royalty tambang,” kata Gde Sudibya.
Ia menegaskan, sekarang waktunya Presiden Jokowi yang oleh para pemilihnya diberikan label pejuang, politisi tangguh, untuk mengambil langkah berani, segera terhadap inner circle yang ternyata tidak setia, memancing di air keruh dan bahkan menggunting dalam lipatan.
“Sejarah mengajarkan ( rasanya Jokowi sangat memahami ), memimpin tidak cukup dengan itikad baik, diperlukan keberanian untuk melakukan negosiasi dengan aneka ragam kelompok kepentingan dan perkasa dalam pertarungan di “rimba raya”percaturan kekuasaan,” tandasnya.
Mantan Anggota DPD RI ini mengatakan, begitu vulgarnya vested interest ( kelompok kepentingan ) bermain dengan harapan akan memperoleh keuntungan besar, sehingga tidak sedikit para pengamat menghubungkan dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memenangkan Pilpres dan Pilkada.
“Agaknya kekuatan modal begitu penting dan bahkan perkasa dalam proses demokrasi prosedural kita.  Emil Salim menyebutnya dengan demokrasi para cukong, karena kuatnya kekuatan modal untuk memenangkan pertarungan politik,” katanya.
Di bagian akhir Gde Sudibya mengatakan, ada pengamat menyebutnya sebagai demokrasi komedi, karena sebelumnya kita sudah tahu siapa yang bakal menang: pemilik modal terkuat, yang kemudian menjadi kenyataan. Di tengah-tengah realitas sebagian  masyarakat yang begitu pragmatis, menyenangi money politic.
“Kisruh di seputar UU Cipta Kerja, bisa menjadi peringatan/wake up call, tentang bahayanya money politic dan konsekuensinya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya.
Editor : Sutiawan