mudik

Begitu Ramadhan tiba, lompatan pikiran banyak kaum perkotaan adalah kembali ke kampung halaman. Mudik adalah bagian integral dari warga kota yang hendak menuntaskan momen suci selama sebulan berpuasa.

Itu sebabnya, banyak sisi irasionalitas dalam prosesi mudik, yang kontradiktif dengan naluri rasional dan material yang kecenderungannya kini kian menguat di kalangan kaum urban.

Dua dekade silam, ketika pulang kampung di saat mendekati Lebaran adalah perjuangan berat bagi kelompok masyarakat pas-pasan secara ekonomis, prosesi mudik justru mendapatkan nilai tersendiri.

Apalagi saat itu ponsel belum menjadi instrumen keseharian yang dimiliki semua lapisan masyarkat. Mencium tangan para tetua di kampung halaman adalah ritus yang tak tergantikan dengan cara lain apapun.

Betapapun melelahkannya perjalanan panjang yang harus ditempuh, bahkan tak jarang menyengsarakan karena semua harga tiket transportasi pastilah meningkat mendekati dua kali lipat, risiko kecopetan uang atau hilangnya barang bawaan karena kemungkinan terkena hipnotis, para pemudik tak mengecilkan niatnya untuk kembali ke rumah asal.

Sebagai kebutuhan yang tak tergantikan oleh sesuatu yang lain, mudik tampaknya semakin mendapatkan justifikasinya selama sepuluh tahun terakhir saat pemerintah mengeluarkan kebijakan libur panjang di seputar hari-hari besar nasional yang jatuh pada menjelang atau setelah dua hari lipur di akhir pekan.

Yang menarik adalah fenomena berikut bagi mereka yang tak lagi punya keluarga di kampung, taruhlah pada mereka yang lahir dan besar di Jakarta: orang-orang ini meninggalkan ibu kota Jakarta atau daerah sekitarnya untuk bepergian ke Bandung atau Yogyakarta atau Bali selama beberapa hari dengan menginap di hotel.

Mereka menjadikan Lebaran sebagai saat melancong sebab Jakarta di kala Lebaran ibarat kota yang ditinggalkan penghuninya, meskipun tempat-tempat hiburan seperti Taman Mini Indonesia Indah dan Taman Impian Jaya Ancol tetap jadi alternatif tempat hiburan.

Bagi orang-orang ini, Jakarta bukanlah tempat yang afdol untuk menghirup udara Lebaran. Bagi orang-orang kelas sosial bawah seperti para pekerja bangunan dan keluarganya, supir dan keluarganya atau para pembantu rumah tangga, mudik adalah kemestian yang tak bisa dihindari.

Orang-orang ini tak tergiur oleh pelipatan pendapatan jika itu harus dibayar dengan tetap bekerja di Jakarta pada saat Lebaran tiba. Lebaran juga berfungsi sebagai intermezo ruhaniah setelah setahun hidup dengan pekerjaan yang berat dan membosankan dengan pendapatan yang pas-pasan.

Ada kegairahan untuk meninggalkan rutinitas yang membosankan yang telah dilakukan selama setahun penuh. Mudik atau katup pengaman bagi jiwa yang didera kegersangan makna. Apalagi jika mudik berarti pertemuan dengan orang-orang yang dirindukan setelah setahun tak berjumpa.

Bagi mereka yang hidup dalam strata kelas sosial menengah ke atas, yang secara material bisa dibilang berhasil, mudik bisa dimaknai sebagai rasa syukur untuk berbagai matari dengan sanak keluarga di kampung halaman. Mereka ini tak pernah lupa untuk meninggalkan ibu kota dengan membekali diri segepok lembaran uang pecahan seribuan, dua ribuan, atau lima ribuan untuk dibagi-bagikan pada sanak keluarga di kampung halaman.

Karena nilai riil mata uang semakin menyusut, mungkin tahun ini dan yang akan datang, membawa pecahan seribuan atau dua ribuan sudah tak dilakukan lagi. Mereka hanya perlu uang pecahan lima ribu atau sepuluh ribu untuk dibagi-bagikan pada anak-anak atau keponakan di desa.

Seturut dengan semakin banyaknya generasi kelahiran daerah yang meninggal dan semakin banyaknya generasi yang dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta, konstelasi data pemudik mungkin suatu saat akan berubah. Keluarga-keluarga dari pasangan suami istri muda yang tak punya ikatan dengan kampung halaman tentu tak punya alasan untuk pulang mudik saat Lebaran.

Sesungguhnya ditinjau secara religius, prosesi mudik, yang pasti dilakukan pada saat orang masih dalam suasana puasa, tidak bisa dibilang afdol. Apalagi bagi mereka yang harus melakukan perjalanan lebih dari delapan jam perjalanan darat, yang pasti menguras tenaga dan mendatangkan dahaga bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa.

Namun, argumen ini semakin hilang kedalamannya karena perjalanan kereta api sejak Ignatius Jonan mengelola PT Kereta Api Indonesia tak semenjengkelkan di era sebelumnya.

Jalan darat nonkereta api juga semakin nyaman dengan pertambahan jalan-jalan tol yang berakibat semakin pendeknya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kampung halaman di Pulau Jawa.

Program Kementerian Perhubungan yang menyediakan pulang kampung gratis bagi pengendara motor juga menjadikan prosesi mudik menjadi tak sedramatis tahun-tahun mengerikan sebelumnya, saat banyak pengendara motor memboncengkan istri dan dua anak balita mereka menempuh perjalanan panjang mudik Lebaran.

Program mudik Lebaran pun dimanfaatkan oleh kalangan pebisnis untuk menebar semangat karitas sekaligus beriklan seperti pebinis industri jamu, perbankan dan pasar swalayan modern.

Kapitalisme pun tak ketinggalan merasuk ke dalam tradisi mudik yang sarat nilai kultural dan spiritual. Sang kapitalis mereguk keuntungan dan para pemudik pun meraih kenyamanan pulang kampung. Ada simbiose mutualisme dalam berlangsungnya pemenuhan kebutuhan eksistensial para pemudik. AN-MB