Oleh: Ngurah Karyadi‎

“The highest activity a human being can attain is learning for understanding, because to understand is to be free.” (Baruch Spinoza)

Kutipan Baruch Spinoza (Benedick, kemudian)  kita gunakan dalam mencermati posisi pemikiran kiri dalam kaitannya dengan Pandemi Covid 19 hari ini, Penulis mengulas fenomena kaum rakyat jelata (clasless) yang seolah dibisukan dan dilupakan NEGERI. Termasuk Marx dan penerusnya, yang terkesan NGERI dan menafikan kaum ini dalam bangunan pemikiran dan strategi gerakan. Sampai akhirnya, NEGRI (dan Hardt) yang melalui konsep Multitude-nya Spinoza, menyediakan pisau refleksi yang relevan mengenai bagaimana rakyat jelata, yang bukan buruh ini dapat menkgonsolidasikan diri, dan melakukan perlawanan tentunya. Sehingga, ada beberapa hal yang perlu ditilik lebih dalam, sebelum KE-NGERI-AN mendominasi.

Pasar bebas, atau kapitalisme global adalah sistem yang diuniversalisasi, dan sebaliknya, sosialisme adalah kritik universal yang harus bergerak sembunyi-sembunyi. Sehingga, berempati dan membela kaum rakyat jelata/tanpa kelas dengan bagi sembako tentu sebuah sikap yang baik, namun lebih dari itu diperlukan pemikiran dan strategi gerakan yang kalkulatif dan dipandu nalar yang sehat, dan bukan ngeri-ngeri sedap. Bukan pula masuk ke dalam proses penguatan institusi politik negeri, atau oposisi imanen, yang sering lupa kritik-diri. Namun anarkhi, atau emoh negara bila perlu -dengan stigma dan sikap awas aparatur!‎

Jika tidak, maka apa yang tampak baik yang dilakukan negara, dan/atau para penentang, yang bombastis itu hanya akan menjadi gincu bagi panggung politik pencitraan. Kolektivitas yang didamba menjadi agen perubahan itu sekali lagi akan menjadi vulgus (virus), bukan multitude (antibodi). Mengulang Spinoza, kita perlu (kembali) memasang pamflet bertuliskan “ultimi barbarorum”, seperti saat peristiwa 19 Agustus 1672, ketika massa beringas, menebar teror dan kekerasan.

Tulisan ringkas ini tidak hanya berfokus pada pemikiran Marx mengenai kaum rakyat jelata, atau lumpen proletariat. Namun di ikuti konsep Multitude, yang dikembangkan Negri dan Hardt. Sekaligus, Spinoza dalam memikirkan ulang pemikiran dan strategi gerakan kaum rakyat jelata di tengah pandemi, yang kini bergerak diantara dua kapal besar, kapitalisme pasar vs kapitalisme negara.

Tidak benar Marx abai terhadap kaum tanpa kelas yang bukan buruh. Hemat saya, terjadi campur aduk antara pemikiran Marx dan Marxisme. Marxisme boleh jadi terkesan mengabaikan kaum tanpa kelas, non buruh karena lebih berfokus kepada analisis struktural bagaimana antagonisme buruh dan majikan terjadi dan diatasi dalam sistem kapitalis. Namun apabila kita sudi membaca lebih dalam apa yang dipikirkan Marx sendiri, di artikel berjudul Proceeding of the Sixth Rhine Assembly. Debates on the Law on Theft of Wood (Collected Works, Vol. 1:1975 ) telah mengatakan sebaliknya, seperti yang menjadi keprihatinan kital.

Titik tolak Marx adalah pandangan Hegel mengenai kaum tanpa kelas (die Standeslosen), yakni mereka yang tidak memiliki tanah dan tidak tergabung dalam korporasi. Mereka ini bukan anggota civil society maupun korporasi. Hegel menyebutnya Pöbel (rakyat jelata). Menjadi kaum tanpa kelas adalah sebuah ketidak-beruntungan, karena hanya dengan menjadi anggota civil society dan korporasi individu dapat universalitas. Di sini, Marx bertolak dan sekaligus melampaui Hegel.

Dalam perdebatan untuk menjawab pertanyaan apakah rakyat jelata, yang mengambil ranting kering yang jatuh dari pepohonan yang dimiliki secara pribadi, atau pun abai protokol kesehatan di masa pandemi ini, dapat dipersalahkan dan dihukum, Marx memberi jawaban positif. Rakyat jelata adalah elemental class of human society – demikian Marx menyebut. Fakta bahwa mereka tidak memiliki status hukum dan eksistensinya tidak diakui adalah kritik imanen terhadap tatanan yang ada.

Bagi Marx, aktivitas rakyat jelata ini secara fundamental benar dan rasional, karena secara ontologis merefleksikan adanya objek kepemilikan yang secara kodrati tidak dapat memperoleh status ‘privat’. Kemudian Marx membuat sebuah analogi brilian, bahwa posisi rakyat jelata di dalam civil society sama halnya dengan ranting kering yang jatuh dari pohon itu. Relasi itu sama artinya dengan hubungan antara kemakmuran vs kemelaratan dalam isue kesehatan di masa pandemi hari ini.

Bagi Marx, rakyat jelata adalah mereka yang hanya memiliki dirinya namun berlimpah dalam hal kepemilikan hal-hal universal: kehidupan, kebebasan, kemanusiaan, dan etos kewargaan. Marx menyebut ini sebagai cara pandang objektif/ontologis, berkebalikan dengan cara pandang subjektif/psikologis yang merujuk pada hak kepemilikan pribadi atas materi. Kemalangan yang diderita bukanlah andil rakyat jelata, melainkan dari praktik pengejaran self-interest dalam civil society yang bertumpu pada kepemilikan pribadi. Maka yang timbul dalam civil society ini tidak sekedar objektif – yakni kemiskinan yang akut- tetapi sekaligus subjektif karena terkait dengan relasi-relasi sosial termasuk struktur kesadaran. Di sini Marx menunjukkan keuntungan sebagai bukan anggota civil society dan korporasi.

Hal ini terkait persoalan agensi yang dipikirkan Marx. Di satu sisi, status ontologis rakyat jelata – yang kemudian disebut proletar – tetap dipertahankan, dan transformasi sosial mungkin di sisi lain (Sherover:1979). Mengatasi tegangan ini hanya dapat dilakukan dengan menjadikan kaum rakyat jelata sebagai subjek revolusioner melalui pendidikan dan emansipasi kesadaran. Sederhananya, rakyat jelata atau proletar dalam era kapitalisme manufaktur abad ke-19 di masa Marx hidup adalah kaum buruh, dan merekalah yang dapat menjadi agen transformasi itu. Mungkin sedikit berbeda hari ini, terlebih ditengah pandemi covid 19.‎

Kita coba mengikuti Negri dan Hardt, yang mengambil konsep Multitude dari filsuf Belanda, Benedict de Spinoza ( 1632-1677). Mereka menuangkannya dalam empat karya masyhur, mulai dari Empire (2000), Multitude (2004), Commonwealth (2009), sampai Asembly (2017). Dengan mengandaikan bahwa kapitalisme telah melewati fase imperialis dan kini disebut sebagai “empire” dan dicirikan dengan globalisasi dan perubahan corak kapitalisme, bukan industrial melainkan kognitif. Dalam logika mobilitas dalam globalisasi,

Hardt dan Negri menilai bahwa konsepsi jamak Marxisme tentang buruh sebagai subjek revolusioner harus dipikir ulang. Kini bukan buruh melainkan rakyat jelata, atau mereka yang berserak, sangat cair dalam pergerakan, dan ini tercermin misalnya dalam fenomena aksi BlackMatter. Gejala cair, berserak, sekaligus kerumuman ini disebut Multitude. Pilihan terhadap multitude adalah karena bersifat singular yang mengatasi dualisme oposisi biner aku/liyan yang dapat merengkuh seluruh manusia. Hardt dan Negri menyebut mereka ini digerakkan oleh biopower dari empire, namun selalu dapat berjarak. Kepada merekalah panji-panji transformasi dipercayakan.

Lebih jauh, kita lalu berpaling ke Spinoza. Dalam karyanya A Theologico-Political Treatise ia memberikan pembatasan tegas. Gerombolan orang itu dapat disebut Multitudo jika mendasarkan tindakannya pada rasionalitas dan tujuannya melakukan pembebasan, dan disebut Vulgus apabila hanya digerakkan rasa takut dan tindakannya menebar teror dan kekerasan. Ada dua hal pokok sebagai kritik terhadap Hardt dan Negri ( Havercroft:2010 ). Pertama, singularitas. Meski singular, multitude digerakkan faktor eksternal yakni rasa takut akan kematian dan dua sumber yang disebutnya “musuh alamiah” yaitu Yang Berdaulat, dan ancaman dari bangsa lain. Di sini mengandaikan oposisi biner yang berlawanan dengan tujuan Hardt dan Negri.
Kedua, kekuasaan konstituen (constituent power).

Jika Hardt dan Negri menyebut kapasitas entitas politik untuk mengkonstitusi diri bersifat agonistik, Spinoza sebaliknya membedakan kekuasaan menjadi dua, Potestas yaitu otoritas, kontrol, atau kedaulatan, dan Potentia yaitu kekuasaan, kekuatan, dan kemujaraban. Keduanya adalah dua bentuk pengorganisasian politik yang berbeda dari satu subjek. Yang membedakan adalah persoalan hak individul pasca transfer hak dan kekuasaan kepada kedaulatan. Yang terjadi pada potestas adalah alienasi dan ini terjadi dalam konsep kontrak sosial Hobbes, sedangkan dalam potentia, transfer hak dan kekuasaan individual yang membuahkan kebebasan terjadi dalam demokrasi.

Hardt dan Negri mengambil ide potentia/potestas ini tetapi memberi arti yang berbeda. Potestas bercorak terpusat, dimediasi, dan merupakan daya transendental dari perintah/Negara, sedangkan potentia bersifat lokal, langsung, dan merupakan daya aktual yang konstitutif. Hardt dan Negri mengandaikan multitude dapat menjadi subjek transformasi yang bersifat langsung tanpa mediasi, sehingga tidak membutuhkan negara. Sebaliknya bagi Spinoza, negara demokratis dibutuhkan sebagai mediator bagi multitude untuk melakukan proses deliberasi yang rasional. Maka antagonisme dalam politik agonistik Hardt dan Negri adalah multitude vs negara, sedangkan bagi Spinoza, demokrasi deliberatif justru menjadi sebuah keharusan bagi multitude agar potentia dapat diaktualisasikan menuju kebebasan yang semakin penuh.

Dari dua hal mendasar yang berbeda antara Hardt-Negri dan Spinoza, kita dapat menguji apakah ekspektasi pada multitude sebagai agen/subjek transformasi memadai. Pertama, corak agonistik Hardt-Negri yang selalu mengandaikan liyan pada akhirnya sulit menjelaskan bagaimana membuang negara, jika sebagai musuh ia secara ontologis harus tetap diasumsikan terus ada. Di sini konsep Spinoza tentang penguatan kapasitas lembaga-lembaga negara agar semakin menjamin deliberasi multitude lebih rasional. Kedua, kapitalisme global dalam wajah empire dan perang/oposisinya tak cukup menjadi daya pendorong bagi terciptanya kolektivitas bernama multitude.

Terbukti hadirnya fear semisal bahaya nuklir, kerusakan ekologi, global warming, dan sebagainya belum cukup mampu menggerakkan global multitude. Di sini muncul pertanyaan teknis, bagaimana multitude mengkonstitusi dirinya? Mungkin pandemi covid 19 di tahun 2020 ini secara biopower akan menjadi multitude, sebagaiman Black Death abad ke 14, yang meruntuhkan feodalisme, dan diikuti revolusi petani di Eropa.‎

Tulisan ini diakhiri dengan beberapa buah catatan. Pertama, alih-alih menafikan posisi dan peran rakyat jelata, Karl Marx justru memberikan status ontologis dan menjadikannya sebagai titik tolak perumusan teori dan praksis selanjutnya. Rasanya Marx tetap relevan sebagai rujukan dalam advokasi rakyat jelata, dengan rasa NGERI Sedap tentunya. Kedua, meski Hardt dan NEGRI memulai sebuah terobosan yang cukup unik, namun masih terdapat beberapa kelemahan mendasar untuk dapat dijadikan alternatif sebagaimana ditunjukkan oleh Spinoza sendiri. Ketiga, pembacaan terhadap Spinoza masih menyisakan hal-hal yang relevan bahwa dimasa pandemi di NEGERI ini berkembang aneka gagasan brilian mengenai transformasi sosial dan segala kemungkinannya. Pertanyaannya tetaplah sama, manakah agen yang paling memungkinkan -tidak mudah menjawabnya. Satu hal yang pasti, seperti ungkapan Spinoza, “…belajar untuk memahami, karena paham adalah pembebasan.”

*Penulis lepas, dan tidak punya kerja tetap tapi tetap bekerja untuk pembebasan‎