2d64884f5cf8fc4800fa7a2fe1e345fd_L

Jakarta (Metrobali.com)-

Sektor transportasi yang terbengkalai di berbagai daerah dan moda transportasi telah mengakibatkan banyaknya kerugian, seperti tingginya beban logistik pengangkutan dan minimnya transportasi massal.

Untuk itu, berbagai perwakilan sektor swasta juga menginginkan agar sektor transportasi menjadi fokus pemerintahan mendatang hasil Pemilu 2014 agar sektor tersebut tidak lagi jalan di tempat alias tidak ada kemajuan yang berarti.

“Sampai hari ini kami masih belum melihat pemimpin-pemimpin yang berbicara tentang transportasi. Padahal, transportasi adalah urat nadi perekonomian suatu negara,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Logistik Carmelita Hartoto dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (31/3).

Menurut Carmelita yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Pemilik Kapal Nasional Indonesia (INSA), transportasi terutama di sektor laut seharusnya menjadi moda transportasi yang paling murah.

Namun pada kenyataannya, ujar dia, berbagai beban lain mengakibatkan moda transportasi laut menjadi mahal khususnya karena beragam tarif kepelabuhanan seperti bongkar muat yang dinilai membebani masyarakat.

Ia mengingatkan, selain transportasi laut, transportasi sektor darat juga memiliki banyak pembangunan yang belum memadai seperti monorel dan kereta api.

Sementara itu, Wakil Ketua INSA Asmari Herry menginginkan hasil Pemilu 2014 akan menghasilkan keberpihakan terhadap transportasi dan logistik agar harga bahan baku bisa murah dan merata di seluruh wilayah RI.

“Untuk peraturan yang ada sudah bagus tetapi yang kurang adalah konsistensi dalam implementasi,” ujarnya.

Asmari mengutarakan harapannya agar pemerintah benar-benar menunjukkan keberpihakan kepada kondisi transportasi dan logistik sehingga tidak ada distorsi dan kesenjangan harga yang besar antarwilayah.

Ia mengingatkan bahwa daya saing logistik nasional Indonesia masih berada pada urutan ke-59 dunia, jauh di bawah urutan Singapura, Malaysia Thailand dan Vietnam. “Dengan potensi sumber daya transportasi laut dan logistik yang besar, Indonesia bisa memperbaiki rankingnya di kawasan Asean,” katanya.

Baik Kadin maupun INSA berpendapat bahwa dengan potensi demografi dan geografis, seharusnya ranking Indonesia bisa diperbaiki menjadi urutan ke-15 dunia.

Untuk itu, Carmelita Hartoto mengharapkan pemerintah dapat memberdayakan UKM bidang pelayaran dalam rangka memajukan industri transportasi perhubungan laut nasional.

“Di luar negeri beban biaya logistik lebih murah karena mereka memberdayakan UKM di bidang perhubungan. Kita bisa mencontoh itu,” ujarnya sambil mengingatkan, beban biaya transportasi dan logistik masih mahal sehingga harga jeruk dari Tiongkok lebih murah daripada harga jeruk dari Medan karena inefisiensi logistik dan mahalnya biaya kepelabuhanan.

Ia mensyukuri bahwa di sektor angkutan laut, Indonesia selama sembilan tahun terakhir telah menerapkan kebijakan asas kabotase.

Sejak saat itu, lanjutnya, pertumbuhan armada niaga nasional kini telah melesat di kawasan ASEAN, bahkan posisi Indonesia telah meninggalkan Malaysia dan Filipina.

Penerapan asas kabotase membuat diutamakannya penggunaan kapal berbendera Indonesia di kawasan perairan NKRI dinilai membuat pengembangan pelayaran nasional lebih diberdayakan dan mandiri.

“Pelaksanaan asas kabotase putus ketergantungan Indonesia pada pelayaran asing,” kata Carmelita Hartoto.

Menurut dia, pelaksanaan asas kabotase selama sembilan tahun telah meningkatkan penggunaan kapal milik perusahaan pelayaran nasional di Indonesia.

Ia mengingatkan berdasarkan data Kementerian Perhubungan, pada tahun 2005 masih 44,53 persen muatan angkutan laut dalam negeri diangkut kapal asing milik perusahaan pelayaran luar negeri.

Saat ini, kata dia, sebanyak 99,65 persen muatan angkutan laut dalam negeri sudah diangkut dengan menggunakan kapal-kapal berbendera Merah Putih milik perusahaan pelayaran nasional.

“Ketergantungan Indonesia pada penggunaan kapal-kapal asing sangat dirasakan sebelum terbitnya Inpres No.5/2005 tentang Asas Kabotase,” kata Carmelita.

Kondisi itu, ujarnya, terjadi terutama sejak diberlakukannya kebijakan “scrapping” atas kapal-kapal berusia di atas 25 tahun pada era 1980-an sehingga kapal milik perusahaan luar negeri banyak yang melaksanakan kegiatan pengangkutan dalam negeri.

Bahkan pada 1995, katanya, jumlah armada berbendera asing yang beroperasi mengangkut muatan di perairan domestik lebih mendominasi daripada kapal nasional.

“Tercatat, kapal nasional hanya 5.050 unit, atau defisit atas kapal asing yang tercatat 6.397 unit,” katanya.

Kini, kata Ketua INSA, dengan jumlah kapal mencapai 12.326 unit dengan kapasitas terpasang tercatat 19,3 juta GT (gross tonnage), Indonesia sudah tidak melepaskan diri dari ketergantungan pada penggunaan kapal dari luar negeri pada kegiatan angkutan laut dalam negeri.

Percepat pengalihan Sedangkan di sektor transportasi darat, pemerintah juga bakal membuat kebijakan yang mendorong percepatan penerapan pengalihan dari kendaraan pribadi ke moda transportasi massal, antara lain dengan mengembangkan bus “rapit transit” di berbagai kota.

“Percepat penerapan atau pengalihan kendaraan pribadi ke sistem transportasi massal, baik transportasi perkotaan maupun antarkota yang efisien,” kata Menteri Perhubungan Evert Erenst Mangindaan.

Menurut Mangindaan guna merealisasikan hal tersebut, pemerintah melalui Dewan Energi Nasional (DEN) juga telah membentuk kelompok kerja tersebut.

Pembentukan pokja itu, ujar dia, adalah guna membentuk sejumlah solusi jitu yang diharapkan dapat mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi terkait penghematan energi.

Sebelumnya, Kementerian Perhubungan menyatakan sebanyak Rp382 miliar dianggarkan untuk pengembangan “Bus Rapid Transit” (BRT) atau transportasi bus massal di enam kota aglomerasi di Indonesia.

“Di tahun 2014 ini diturunkan anggaran sebesar Rp382 miliar yang diperuntukkan bagi enam kota aglomerasi,” kata Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan Kementerian Perhubungan Joko Sasono.

Berdasarkan ensiklopedia Wikipedia, aglomerasi adalah kawasan sebuah kota yang diperluas dan terdiri atas daerah sentral dan berbagai daerah suburban yang mengelilinginya, contohnya Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi).

Djoko memaparkan, keenam kota aglomerasi itu antara lain Mebidangro (Medan, Binjai, Deli Serdang, Karo), Jabodetabek, dan Kawasan Metropolitan Bandung (Bandung, Cimahi, Sumedang).

Kota aglomerasi lainnya adalah Kawasan Metropolitan Surabaya (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan), Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan), dan Mamminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa, Takalar).

Menurut dia pengembangan angkutan umum massal pada 6 perkotaan aglomerasi merupakan penerapan salah satu pilar dalam menuju terwujudnya transportasi perkotaan yang berkelanjutan. AN-MB