Jalan desa Yehembang dipagar

Jalan desa Yehembang dipagar oknum warga Yehembang, Mendoyo, Jembrana, Jumat (29/4).

Jembrana (Metrobali.com)-
Lantaran jalan di depan Pasar Yehembang menuju pantai Yehembang sering macet, Perbekel (Kepala) Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, Bali, kemudian membuat jalan alternatif.

Namun belakangan jalan yang sudah dibangun beberapa bulan ini menimbulkan masalah dan mandek. Pasalnya, jalan yang dibangun di pinggir Sungai Yehembang ini tiba-tiba dipagar kawat berduri oleh salah satu warga setempat.

Dari informasi, tanah seluas 20 are itu dipagari oleh I Gede Surya Hermawan (35) dan mengklaim tanah tersebut miliknya, warisan dari kakeknya.

Mendapati tanah yang akan dibangun jalan itu dipagar kawat, Perbekel (Kepala) Desa Yehembang I Made Semadi kemudian menggelar rapat dengan melibatkan BPD, bendesa. prajuru adat dan tokoh masyarakat.

Hasilnya, pihak desa diminta untuk segera melakukan mediasi dengan warga yang melakukan pemagaran tersebut. Dan pada Jumat (29/4) dilaksanakan mediasi di Kantor Desa setempat.

Dari pihak warga yang memagari hadir I Ketut Siandana dan Wayan Susrama dan Nyoman Sila Parwata. Hingga pukul 13.30 Wita, mediasi belum menemukan titik temu. Pasalnya kedua pihak kekeh pada pendiriannya masing-masing.

Perbekel Desa Yehembang Made Semadi sangat menyayangkan ulah salah satu warganya itu. Menurutnya tanah yang dipakai jalan itu berada dipinggir sungai yang merupakan sepadan sungai.

“Ini melecehkan kami selaku aparat desa. Jalan itu untuk kepentingan masyarakat. Kami sudah laporkan ke Pemkab Jembrana” ujarnya, Jumat (29/4).

Menurutnya, berdasarkan pipil, tanah yang dipagari Gede Surya Hermawan merupakan tanah milik I Ketut Menu yang tinggal di Denpasar. Antara pemilik tanah dengan pelaku pemagaran diakuinya masih ada hubungan kekeluargaan.

Sementara Ketut Siandana, salah satu ahli waris mengakui jika yang melakukan pemagaran adalah Gede Surya Hermawan, ponakannya sendiri. Namun menurutnya atas perintah dari pemilik tanah I Ketut Menu.

“Saya tidak berhak memutuskan, karena tanah itu milik paman saya” ujarnya.

Namun pendapat Siandana dibantah oleh kakak kandungnya sendiri, Wayan Susrama.

Menurutnya, berdasarkan akte jual beli nomer 152 tahun 1963 adalah milik bapak kandungnya, yakni Kayan Tusan (almarhum).

“Karena ada aturan warga yang sudah memiliki banyak tanah tidak lagi boleh memiliki tanah, maka tanah itu diatasnamakan kepada Ketut Menu, adik kandung bapak saya” ujarnya.

Ketut Menu menurut Susrama tidak tahu apa-apa. Ia juga tidak berhak atas tanah itu karena yang membayar pajak adalah dirinya. MT-MB