praperadilan engeline

Denpasar (Metrobali.com)-

Hakim tunggal Achmad Petensili menolak seluruhnya gugatan praperadilan yang dilayangkan oleh ibu angkat Engeline, Margriet Christina Megawe. Hakim Achmad memiliki pertimbangan tersendiri menolak gugatan praperadilan Margriet.

“Menimbang, berdasarkan alat bukti sebagaimana dimaksud pasal 184 KUHAP ayat 1 junto pasal 1 angka 26 tentang saksi junto pasal 1 angka 27 tentang alat bukti saksi junto pasal 1 angka 28 tentang alat bukti keterangan ahli, dan tentang alat bukti surat, maka tindakan penyidikan hanya mampu membuktikan keterangan saksi, ahli dan surat,” kata Ahcmad di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Rabu 29 Juli 2015.

Dari dalil pemohon, Achmad menilai muncul pertanyaan mendasar tentang hal tersebut. “Menimbang, muncul pertanyaan di sini, atas dasar apakah pemohon berkesimpulan bahwa alat bukti yang dapat diperoleh di tingkat penyidikan hanya keterangan saksi, ahli dan surat, yang dengan demikian mengesampingkan dua alat bukti lainnya sebagaimana digariskan pasal 184 KUHAP bahwa alat bukti sah adalah terdiri dari lima alat bukti,” kata Achmad.

Ia melanjutkan, apakah ketentuan seperti itu didasarkan atas satu pemikiran bahwa alat bukti keterangan terdakwa hanya diperoleh di persidangan. Dan, alat bukti petunjuk diperoleh dari rangkaian keterangan saksi dan keterangan terdakwa yang hanya dapat diperoleh di persidangan.

Kika pemikiran pemohon tersebut diikuti, kata Achmad, maka sebagai wujud konsistensi berfikir seharusnya pemohon juga berkesimpulan bahwa alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli juga tidak dapat diperoleh di tingkat penyidikan. “Karena alat bukti saksi berdasarkan pasal 185 KUHAP adalah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Dan, alat bukti ahli berdasarkan 186 KUHAP apa yang dinyatakan ahli di sidang pengadilan,” papar Achmad.

Menurutnya, bukankah dengan konsistensi berfikir demikian pemohon berkesimpulan bahwa alat bukti yang dapat diperoleh di tingkat penyidikan adalah alat bukti surat. “Karena ia tidak dijelaskan dalam satu pasal pun di KUHAP sebagai alat bukti surat yang dihadirkan di persidangan,” jelasnya.

Apabila pemohon konsisten, Achmad melanjutkan, maka pemohon juga tidak mendaftarkan pemohonannya berdasarkan putusan MK 21/PUU-XII/2014, tetapi menolak putusan tersebut. “Bukankah putusan tersebut pada intinya menyatakan bahwa menetapkan seseorang sebagai tersangka minimal dua alat bukti tanpa mengeliminir bukti lainnya,” katanya.

“Jika mengacu pada pemikiran itu, maka bukan saja putusan MK menjadi tidak penting lagi, melainkan dapat meruntuhkan seluruh sistem bangunan hukum pidana, di mana setiap kejahatan selalu berawal dari tingkat penyidikan. Dampak lebih serius lagi bukan tidak mungkin penyidik kesulitan menyidik dan menentukan tersangka,” tambah Achmad.

Selanjutnya, hakim menilai alat bukti dapat diperoleh di tingkat penyidikan. Keterangan terdakwa haruslah ditafsirkan juga sebagai keterangan tersangka. “Berdasarkan uraian di atas, maka pendapat pemohon adalah keliru dan harus dikesampingkan,” tegas Achmad. Dalil pemohon juga menyebut ditetapkannya pemohon sebagai tersangka tanpa produk hukum oleh termohon merupakan pelanggaran terhadap angka 173 dan 174 amar putusan MK. Yang dimaksud adalah tidak adanya penetapan yang dikeluarkan oleh termohon ketika pemohon ditetapkan sebagai tersangka, melainkan hanya melalui Sprindik.

“Menimbang, mengingat ada atau tidaknya suatu produk hukum berbentuk penetapan, hakim memandang pemahaman itu suatu hal yang keliru. Di dalam KUHAP tidak didapati ketentuan satu pun penetapan tersangka harus berbentuk produk hukum,” beber Achmad. Selain itu, ada banyak pertimbangan lainnya yang membuat Achmad yakin menolak seluruhnya gugatan praperadilan Margriet. JAK-MB