Opini masyarakat soal Taman Hutan Raya (Tahura) mencuat kembali. Hal itu disebabkan karena Pemprov Bali mengabulkan permohonan ijin pengusahaan pariwisata alam (PPA) oleh PT Tirta Rahmat Bahari (PT TRB) dan sengketa informasi antara Walhi Bali dengan Pemprov Bali yang diback up pemberitaan khusus oleh kelompok media Bali Post. Bagaimana sesungguhnya kronologi Gubernur Bali Made Mangku Pastika hingga mengeluarkan ijin pengusahaan pariwisata alam (PPA) kepada PT. TRB?  Benarkah PT. TRB akan menguasai lahan Tahura sehingga dapat mengkavling-kavling seperti diberitakan media? Apakah benar PT. TRB akan mengeruk hutan mangrove di areal Tahura seperti ilustrasi karikatur di halaman pertama Bali Post?

Ada dua substansi opini yang sering diangkat dalam pemberitaan Bali Post, yakni perubahan peruntukan dan fungsi hutan dan penguasaan lahan Tahura. Dalam pemberitaannya itu terkesan bahwa ada perubahan peruntukan dan fungsi Tahura, serta ada perubahan penguasaan lahan. Disebutkan antara lain dalam berita itu bahwa investor dapat mengkavling lahan Tahura.

Kedua isu tersebut sesungguhnya sudah terjawab dengan tegas dalam SK Gubernur Bali Made Mangku Pastika Nomor 523.33/873/Dishut-4 tertanggal 29 Juli 2011 tentang pemberian ijin kepada PT TRB. Dalam diktum kelima SK tersebut dikatakan bahwa pemberian ijin PPA di areal Tahura tidak merubah peruntukan dan fungsi kawasan pelestarian alam Tahura yang bersangkutan. Penguasaan lahan Tahura juga tidak beralih ke tangan PT TRB. Penguasaan lahan Tahura masih tetap berada pada Pemerintah Provinsi Bali. Oleh karena itu, dasar hukum yang diacu berkenaan dengan pemberian ijin PPA Tahura Ngurah Rai Denpasar bukan PP 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, melainkan PP 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Marga Satwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.

Dalam ketentuan Pasal 4 PP 10 Tahun 2010 – dimana PP ini mengacu pada UU 41 Tahun 2009 tentang Kehutanan — ditegaskan bahwa seperti halnya Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru, Tahura juga termasuk kawasan hutan konservasi yang tidak boleh diubah peruntukan dan fungsinya. Hal yang sama berlaku untuk kawasan Cagar Alam dan Suaka Marga Satwa. Namun, PP Nomor 36 tahun 2010 – PP ini mengacu pada UU 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya – menyebutkan bahwa pengusahaan pariwisata alam (PPA) tetap diijinkan di kawasan Tahura, Suaka Marga Satwa, Taman Nasional, dan Taman Wisata Alam. Dengan demikian, menjadi sangat menarik untuk didiskusikan bahwa Gubernur Bali dituntut penjara hingga tiga tahun penjara sebagaimana diberitakan salah satu media di Bali.

Kronologi Ijin

Terlepas dari polemik tersebut, kronologi keluarnya ijin PPA untuk PT TRB tidak berjalan lancar dan mudah begitu saja. Permohonan ijin diajukan oleh PT TRB pada 27 April tahun 2011. Permohonan tersebut ditujukan kepada Gubernur Bali. Menindaklanjuti permohonan PT TRB tersebut, telah diadakan rapat dengan instansi terkait untuk membahas permohonan itu. Mengacu pada ketentuan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Marga Satwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, serta ketentuan Pasal 24 Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Marga Satwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, maka rapat menyimpulkan bahwa pada prinsipnya, permohonan PT TRB dapat disetujui. Pasal 8 PP 36 2010 pada intinya menyebutkan bahwa ijin PPA di Tahura diberikan oleh Gubernur. Kemudian Pasal 24 Permenhut P.48 2010 pada intinya menyebutkan bahwa permohonan ijin IUPSW di Tahuta diajukan kepada Gubernur.

Selanjutnya tiga instansi teknis yakni Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali, UPT Tahura Ngurah Rai dan Dinas Pariwisata Provinsi Bali mengeluarkan rekomendasi  yang pada intinya juga menyetujui permohonan PT TRB. Persetujuan tersebut hanya diberikan pada blok pemanfaatan Tahura Ngurah Rai. Luas areal yang diijinkan total 102, 22 Ha (seratus dua koma dua puluh dua hektar).  Gubernur Bali kemudian mengeluarkan surat Nomor 523.33/873/Dishut-4 tertanggal 29 Juli 2011 yang pada intinya memberikan ijin prinsip PPA di Kawasan blok pemanfaatan Tahura Ngurah Rai seluas 102,22 ha tersebut.

Sebagai tindak lanjut atas telah dikeluarkannya ijin prinsip PPA, PT TRB diwajibkan untuk membuat peta area rencana kegiatan usaha yang disahkan oleh Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), membuat rencana usaha pengusahaan pariwisata alam, melakukan pemberian tanda batas pada areal yang dimohon, dan menyusun Upaya Pengelolaan Lingkungan (UPL) dan Upaya  Pemantauan Lingkungan (UPL). Semua kewajiban telah dipenuhi PT TRB sehingga perusahaan itu mengajukan permohonan Pengesahan Rencana Pengusahaan Pariwisata Alam di Blok Pemanfaatan Tahura Ngurah Rai Bali kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Permohonan itu disetujui Dirjen PHKA dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Dirjen PHKA Kemenhut Nomor : sK.77/IV-SET/2012 tertanggal 9 Mei 2012. Pada diktum kesatu SK Dirjen PHKA Kemenhut tersebut disebutkan bahwa Dirjen PHKA Kemenhut mengesahkan Rencana Pengusahaan Pariwisata Alam (RPPA) PT. Tirta Rahmat Bahari di Blok Pemanfaatan Tahura Ngurah Rai Bali untuk jangka waktu tahun 2012 s/d 2067 (55 tahun).

Oleh karena RPPA PT TRB telah mendapat pengesahan dari Dirjen PHKA, maka sesuai amanat Undang-undang, Gubernur Bali Made Mangku Pastika memproses perijinan itu dengan mengeluarkan SK Gubernur Bali Nomor 1.051/03-L/HK/2012 tertanggal 27 Juni 2012 yang pada intinya memberikan ijin PPA kepada PT. TRB pada blok pemanfaatan Tahura Ngurah Rai seluas 102,22 ha. Pemanfaatan blok pemanfaatan itu harus memperhatikan azas konservasi, azas kelestarian, dan azas pemanfaatan sumber daya alam dan ekosistemnya. Dalam SK tersebut, Gubernur Made Mangku Pastika mewajibkan PT. TRB memenuhi 15 kewajiban, dan melarang dua larangan.

Beberapa kewajiban yang dibebankan adalah merehabilitasi kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan usahanya dan areal dari kawasan yang perlu direhabilitasi; bertanggungjawab terhadap upaya konservasi, perlindungan dan keamanan hutan yang menjadi areal kerja dan sekitarnya serta menjaga keamanan dan ketertiban pengunjung, kebersihan dan sanitasi lingkungan sesuai dengan jenis usahanya; melaksanakan pengelolaan lingkungan sesuai dengan UKL dan UPL termasuk pengelolaan limbah; menyisihkan dana minimal 5% dari keuntungan setiap tahun untuk pembinaan dan pengembangan pendidikan lingkungan, agama dan budaya kepada Pemprov Bali; dan membantu kelancaran petugas terkait dalam melakukan pembinaan maupun pemeriksaan sewaktu-waktu terhadap kinerja pariwisata alam.

Sedangkan larangan yang diberlakukan adalah memindahtangankan izin PPA kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari Gubernur Bali, dan menyelenggarakan kegiatan PPA yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi, nilai-nilai agama, budaya bangsa, kesusilaan dan/atau ketertiban umum.

Ditulis oleh : I D.P.G. Rai Anom, S.TP (staf Biro Humas Setda Provinsi Bali)