Seorang wisatawan membaca nama-nama korban kekejama n PKI di Monumen Kresek, Madiun. (Foto:VOA/ Nurhadi)

Partai Komunis Indonesia sudah lama mati. Namun isunya terus menggema. Presiden Jokowi selalu diserang dengan isu ini. Di sisi yang lain, buku-buku terkait PKI dan tokoh-tokohnya, sering disita aparat keamanan berbagai wilayah di Indonesia. Bagaimana sebenarnya isu ini?

 

“Dulu ada seorang guru yang juga ikut dibantai di sini, lalu dilempar ke jurang di belakang itu. Sebenarnya orang-orang bisa menolong, tetapi takut,” kata Parni.

Parni, pria berumur 51 tahun itu tinggal tidak jauh dari Monumen Kresek, Madiun, yang didirikan untuk mengingat kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam pemberontakan di kota itu pada 1948, ditemukan 17 jenazah di lokasi tempat monumen itu berdiri. Ada kyai, tentara, anggota DPRD, guru hingga wartawan yang menjad korban. Kepada VOA, Parni bercerita banyak mengenai pemberontakan PKI, yang sebelumnya dia dengar dari kakeknya. Cerita itu turun-temurun menjadi kisah yang diceritakan orang tua ke anaknya, terutama ketika mengaitkan Madiun dengan sejarah kelam PKI di Indonesia.

Patung yang menggambarkan Muso mengeksekusi Kyai Husen di Monumen Kresek, Madiun. (Foto:VOA/ Nurhadi)
Patung yang menggambarkan Muso mengeksekusi Kyai Husen di Monumen Kresek, Madiun. (Foto:VOA/ Nurhadi)

Sebuah patung besar berdiri di puncak kawasan monumen yang berupa bukit kecil. Seorang pria, digambarkan memegang pedang, adalah Muso sang pemimpin pemberontakan. Sedangkan satu pria lagi, yang pasrah bersimpuh di depannya, adalah tokoh masyarakat Madiun, Kyai Husen. Patung itu seolah memberi kesan betapa kejamnya PKI pada masanya, dan monumen di tepi jalan di Madiun itu menjadi pengingat agar kekejaman itu tidak pernah dilupakan.

Di Lubang Buaya, Jakarta dan Markas Batalyon 403 Yogyakarta, kita juga bisa menemukan monumen serupa. Bedanya, kedua monuman ini didirikan untuk mengenang kejinya pemberontakan PKI tahun 1965, yang menjadi awal rezim Orde Baru. Rezim inilah, yang kemudian menjadikan PKI sebagai hantu abadi, bahkan hingga ke segala sesuatu yang berbau komunisme.

Tradisi Perampasan Buku Kiri

Hari Sabtu malam (27/7) lalu, dua pemuda Probolinggo merasakan sendiri bagaimana “hantu abadi” itu singgah ke mereka. Sejumlah aparat polisi mendatangi mereka yang sedang berjaga di lapak buku milik Komunitas Vespa Literasi di kota Probolinggo, Jawa Timur. Muntasir Billah dan Saiful Anwar, dua pemuda itu, kemudian dibawa ke Kantor Polsek Kraksaan. Alasannya, di lapak buku yang menjadi perpustakaan keliling itu, ada empat buku yang dianggap terlarang.

Buku-buku itu berjudul Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara, Menempuh Djalan Rakjat, Sukarno, Marxisme & Leninisme, serta DN Aidit: Sebuah Biografi Ringkas. Buku-buku ini, kata polisi, termasuk buku terlarang karena berbau PKI.

Abdul Haq dari Komunitas Vespa Literasi kepada VOA bercerita, dua rekannya diperiksa sejak pukul 21.00 hingga hampir tengah malam.

Setiap akhir pekan lapal Komunitas Vespa Literasi ramai dikunjungi warga di alun-alun Probolinggo, Jawa Timur. (Foto courtesy: Abdul Haq)
Setiap akhir pekan lapal Komunitas Vespa Literasi ramai dikunjungi warga di alun-alun Probolinggo, Jawa Timur. (Foto courtesy: Abdul Haq)

“Memang jadwal melapak kita hari Sabtu dan Minggu. Sebelum ada polisi yang mengamankan buku itu, memang sudah ada polisi dari Polres, karena memang setiap malam minggu ada polisi yang mengamankan alun-alun. Setelah itu, polisi dari Polsek Kraksaan datang ke lapak, bilang kalau ini buku bermasalah, Mas. Saya bawa, sampeyan juga ikut untuk saya minta keterangan di kantor,” kata Abdul Haq menceritakan peristiwa Sabtu malam itu.

Komunitas Vespa Literasi, kata Abdul Haq, memiliki banyak koleksi buku. Setiap akhir pekan, mereka membuka lapak di alun-alun, untuk mengajak masyarakat membaca buku. Sebelum ini, petugas kepolisian pernah datang dan mengambil foto buku koleksi mereka. Namun, baru kali ini mereka mengambil buku yang disebut berbau PKI itu. Polisi ingin tahu, dari mana mereka memperoleh buku-buku tersebut.

“Pihak kepolisian tanya buku-buku ini dari mana. Memang teman saya dan saya tidak tahu buku itu dari mana. Buku kami datang dari donatur, dan kami tidak mendata siapa yang mendonasikan buku tersebut. Kami berharap buku yang diamankan kemarin kembali, karena itu merupakan aset dan cukup berharga untuk kami. Dan semoga ini kejadian yang terakhir kalinya di Indonesia,” tambah Abdul Haq.

Pacu Pikiran Kritis Anak Muda

Penyitaan buku berbau ideologi kiri sangat sering terjadi. Bulan Desember 2018 dan Januari 2019 lalu, aparat melakukan penyitaan di berbagai kota, termasuk Kediri di Jawa Timur dan Padang, Sumatera Barat, dan Tarakan, Kalimantan Utara.

Eko Prasetyo dari Social Movement Institute (SMI) menilai, isu PKI adalah alat efektif untuk memukul kekuatan kritis yang digerakkan oleh anak-anak muda. SMI adalah lembaga kajian dan penerbit buku-buku kritis yang sering dicap berideologi kiri, di Yogyakarta.

“Sebenarnya ada kekhawatiran munculnya anak-anak muda yang mengambil sikap kritis terhadap kekuasaan dan itu bisa ditandai oleh kasus-kasus agraria di beberapa tempat, yang selalu dimotori advokasinya oleh anak muda. Bahkan, kasus tanah yang melibatkan tentara, juga melibatkan banyak anak muda dalam advokasinya,” kata Eko.

Namun, ada unsur lain yang disebut Eko mendorong aparat saat ini lebih aktif melakukan penyitaan. Seperti diketahui, Presiden Jokowi sering sekali diserang dengan isu terkait PKI. Untuk memastikan bahwa rezim Jokowi bukan PKI sebagaimana dituduhkan, kata Eko, maka aparat melakukan tindakan tegas terhadap unsur sekecil apapun yang berbau PKI, misalnya penyitaan buku.

“Ini untuk menunjukkan bahwa Jokowi itu bukan PKI,” tandas Eko.

Eko mengaku, buku-buku kiri sebenarnya tidak memiliki pasar besar di Indonesia. Begitupun dengan buku yang diterbitkan oleh lembaganya. Ideologi kiri menjadi menarik bagi anak muda, tambah Eko, justru karena tekanan yang diberikan pemerintah, khususnya aparat keamanan. Ketika penyitaan buku dilakukan, keinginan anak muda untuk membaca buku tersebut justru semakin besar. Mereka didorong oleh rasa penasaran, seperti apa isinya sehingga pemerintah merasa perlu melarangnya. Eko menjamin, tidak akan pernah ada ide komunis yang ditegakkan anak muda dari pembacaan buku-buku itu.

Eko justru khawatir, aparat keamanan sebenarnya tidak memahami sendiri apa yang mereka lakukan. Buktinya, sejumlah buku yang sama sekali tidak berisi ideologi komunis, kadang ikut disita hanya karena ada kata PKI dalam judulnya. Apalagi, tidak jelas apa yang akan dilakukan aparat setelah menyita, karena tidak mungkin mereka menjadikan buku itu sebagai koleksi di perpustakaan markasnya.

Eko meminta semua pihak untuk peduli terhadap isu ini dan terlibat dalam perlawanan atas kebebasan akademik. Kaum intelektual, gerakan sosial dan perguruan tinggi yang merupakan kilang pengetahuan, kata Eko, harus berani memberikan penolakan.

Lalu, mengapa anak muda suka buku-buku kiri?

Lapak buku yang disediakan Komunitas Vespa Literasi, di alun-alun Probolinggo, Jawa Timur. (Foto:VOA/ Abdul Haq)
Lapak buku yang disediakan Komunitas Vespa Literasi, di alun-alun Probolinggo, Jawa Timur. (Foto:VOA/ Abdul Haq)

“Mereka punya harapan atas keadilan yang belum bisa ditunaikan sampai hari ini. Buku-buku ini memberikan gambaran tentang kenyataan Indonesia masa lalu yang penuh martabat, penuh cita-cita ideal, utopia yang hebat. Saya kira anak-anak muda merindukan suasana yang hari ini tidak ada, dan buku-buku kiri membawa semua itu. Ini seperti merawat mimpi yang hari ini hampir punah,” ujar Eko memberi jawaban.

Mahkamah Konstitusi (MK) sebenarnya telah menetapkan bahwa pengamanan barang-barang cetakan secara sepihak yang diatur dalam UU no. 4/PNPS/1963 bertentangan dengan UUD 1945. Keputusan MK pada 2010 itu, menyebut pelarangan atau penyitaan buku semestinya dilakukan setelah melalui proses peradilan.

Beberapa judul buku yang pernah dilarang dan sering menjadi obyek sitaan aparat adalah Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto. Ada pula Lekra Tak Membakar Buku, Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan, dan Benturan NU PKI 1948-1965. Kemudian buku mengenai Soekarno seperti Sukarno, Orang Kiri, Revolusi, dan G30S 1965 dan Mengincar Bung Besar. Serta berbagai buku terkait Aidit maupun PKI. [ns/uh] (VOA Indonesia)