Gubernur Bali Nonton Bareng Drama Gong

 

DENPASAR (Metrobali.com) 

Pementasan seni pertunjukan drama gong persembahan Sanggar Puspa Kencana Bon Bali, Denpasar di Kalangan Ayodya, (arts centre) Bali, Denpasar, Kamis (31/7) malam seakan terasa tampil beda dai biasanya dan terkesan sangat istimewa. Pasalnya, drama gong yang mengangkat lakon Ni Luh Sleneg ini menghadirkan pemain lintas generasi, mulai kalangan anak-anak, remaja dan dewasa hingga pinisepuh (lanjut usia). Bahkan, durasi waktu penampilan terpaksa harus mengalami perubahan secara spontanitas, karena tuntutan kepentingan tertentu sekaligus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di lapangan.

Adapun para pemain lintas generasi tersebut, di antaranya pelawak cilik Komang Septa dan Yogi, pemain remaja, yakni I Gede Tilem Pastika Cs, pemain dewasa, seperti Pekak Botak Cs, pemain lawas, yaitu I Wayan Sugita, I Nyoman Luwes, Sang Ayu Tirta, dan Dewa Ayu Oka Yuniari, serta lainnya, termasuk pemain pinisepuh (lanjut usia), I Nyoman Pidada (Dadap).

Di samping itu, seni pertunjukan drama gong pimpinan I Wayan Sugita ini juga secara spesial disaksikan oleh gubernur Bali, Made Mangku Pastika bersama istrinya Ayu Pastika, serta didampingi sejumlah staf dan jajarannya. Menariknya, sajian seni pertunjukan dramatik iringan gamelan gong kebyar ini merupakan tontonan perdana bagi gubernur Bali dan istrinya. Tak pelak, beliau pun seakan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk menyaksikan pementasan drama gong tersebut hingga tuntas.

“Ini kali pertama saya nonton drama gong. Karena cukup lama berada di luar Bali. Ternyata, sangat bagus dan menghibur serta dapat menyegarkan pikiran. Sepertinya, sajian seperti ini patut untuk terus dipentaskan setiap tahun,” seloroh Pastika kepada koran ini ketika mendampingi beliau menyaksikan pementasan seni pertunjukan drama gong tersebut hingga tiga jam lamanya.

Lebih jauh, Pastika mengakui seni pertunjukan drama gong telah mampu mengikuti perkembangan zaman baik dari segi durasi waktu penampilan maupun lakon yang diusungnya. Karena, tanpa adanya adaptasi sesuai konteks zaman tentunya seni pertunjukan drama gong akan ditinggal oleh penonton. Memang sudah semestinya para seniman senantiasa mengembangkan potensi dan kreativitas kreatifnya tanpa henti sesuai dengan tuntutan dari perubahan zaman itu sendiri. “Demi pelestarian dan pengembangan kebudayaan bangsa khususnya seni budaya Bali,” tandasnya.

Sementara itu, I Wayan Sugita, selaku pimpinan Sanggar Puspa Kencana Bon Bali, Denpasar mengakui memang sajian drama gong kali ini terkesan berbeda dan istimewa. Kenapa?  Karena, para pemain yang dilibatkan dari lintas generasi, mulai kalangan anak-anak, remaja dan dewasa termasuk para pinisepuh (lanjut usia). Bahkan, salah satu tokoh pemeran permaisuri mendadak harus berperan sebagai liku, yakni Dewa Ayu Oka Yuniari. “Sehingga, mampu memberikan warna berbeda dan betul-betul merupakan kejutan yang spesial dan istimewa tentunya,” ungkapnya.

Lebih jauh, seniman multitalenta di bidang seni peran (akting) ini, menegaskan bahwa lakon yang diangkat dalam sajian drama gong di ajang peragaan dan pementasan seni budaya, Bali Mandara Mahalango ini merupakan lakon yang cukup lama dan bahkan pembuatnya pun sudah lupa akan alur ceritanya. Syukurnya dari berbagai penggalian dari pemainnya lakon ini dapat dipentaskan kembali. “Ya, sebagai ajang nostalogia, sekaligus mengangkat kembali ruh dan taksu drama gong tentunya,” katanya.

Menurutnya, pementasan seni pertunjukan drama gong ini semestinya bisa sampai empat jam lamanya. Tapi, karena gubernur Bali yang menonton terpaksa ceritanya dipangkas, sehingga hanya tiga jam saja. Ini tentunya untuk menghargai beliau. Selain itu, penonton juga terlihat sudah mulai beranjak dari tempat duduknya. “Semoga saja, sajian ini mampu menjadi media edukasi publik yang mencerahkan bagi upaya meningkatkan pelestarian dan pengembangan seni budaya Bali ke depannya,” tandasnya, demi penguatan ruh dan taksu kebudayaan bangsa tentunya.

Dalam aksinya, lakon cerita drama gong ini berkisah tentang kejahatan di sebuah kerajaan Kahuripan, yang melibatkan Patih Agung dan Putrinya, Ni Luh Sleneg. Di mana, raja Raden Jaya Winangun yang baru saja memiliki permaisuri, Dyah Perbawasari harus berpisah. Ini, karena putri dari Patih Agung ingin menjadi permaisuri raja. Makanya, dengan niat jahatnya permaisuri Dyah Perbawasari di buang ke hutan.

Singkat cerita, berkat anugrah Ida Sang Hyang Widhi, permaisuri Perbawasari dapat kembali ke kerajaan Kahuripan dengan diantarkan oleh Ki Dukuh bersama keluarga. Klimaksnya, kehidupan Raden Jaya Winangun dan permaisurinya, Dyah Perbawasari pun berakhir bahagia. Menariknya, sajian drama gong ini terkesan tidak terlalu serius, melainkan sangat kocak dan penuh canda tawa. Bahkan penonton pun tak henti-hentinya tertawa terbahak-bahak termasuk gubernur Bali beserta istri dan jajarannya ketika setiap tokoh sesuai perannya melontarkan ungkap lucu (banyolan).

 Secara ringkas, seni pertunjukan drama gong ini mengungkap tentang perilaku kejahatan tidak dapat disembunyikan dan kebenaran senantiasa pasti akan terungkap pada akhirnya. Hal ini tentunya sejalan dengan sejumlah dagelan dan dialog yang disampaikan setiap tokoh dalam perannya selama pementasan berlangsung yang senantiasa menyentil tindakan korupsi, pencitraan publik, dan manipulasi kekuasaan di kalangan para elite politik penguasa pemangku kebijakan pemerintahan selama ini.WB-MB