Tony Prasetiantono

Jakarta (Metrobali.com)-

Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menilai dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebesar Rp2.500 per liter terhadap likuiditas pasar keuangan tidak akan terlalu besar dan masih dapat dikendalikan.

Tony Prasetiantono dalam paparan Outlook Ekonomi 2015 Bank Permata di Jakarta, Rabu (12/11), mengatakan dengan besaran kenaikan Rp2.500, otoritas moneter atau Bank Indonesia masih akan mampu menjaga suku bunga acuan di 7,5 persen.

“Hal itu karena dengan besaran kenaikan Rp2.500, besaran inflasinya tidak akan lebih dari 8,0 persen,” kata Tony yang juga Komisaris Independen Bank Permata.

Selain itu, menurut Tony, dampak kenaikan harga BBM dengan besaran Rp2.500, tidak akan terlalu menggerus daya beli masyarakat. Tentu hal tersebut juga harus dibantu dengan efektivitas program kompensasi sosial dari pemerintah.

“Jika harga BBM naik Rp2.500 maka harga premium Rp9.000 per liter. Itu masih ‘affordable’ (terjangkau) buat masyarakat,” ujar ekonom UGM Yogyakarta ini.

Tony memperkirakan dengan besaran kenaikan Rp2.500 maka inflasi akan terdorong menjadi 7,0-7,5 persen. Skenario tersebut jika harga BBM dinaikkan sebelum 2015.

Seperti tren sebelumnya, menurut Tony, Indonesia sebenarnya memiliki keunggulan dibanding negara lain karena dampak inflasi bersifat sekali waktu dalam jangka waktu sementara atau “one shot inflation”. Dengan begitu, jika harga BBM dinaikkan sebelum 2015, laju inflasi pada 2015 hanya akan berkisar di lima persen.

Dengan beberapa asumsi seperti itu, Tony memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2015 dapat menyentuh 5,6 persen. Angka tersebut sebenarnya lebih rendah dari asumsi pemerintah di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 sebesar 5,8 persen.

“Mungkin tidak sampai target, tapi APBN akan lebih sehat,” kata dia.

Mengingat kenaikan harga BBM yang menjelang akhir tahun, Tony memprediksi dampak terhadap defisit neraca transaksi berjalan tidak akan signifikan. Dia memperkirakan defisit neraca transaksi berjalan hanya akan turun menjadi 25 miliar dolar AS, dari data sekarang 26 miliar dolar AS.

Untuk memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan, aspek yang paling mempengaruhi adalah konsumsi dan ketergantungan masyarakat terhadap BBM. Tony tidak menampik bahwa kenaikan harga BBM Rp2.500, tidak akan serta merta langsung signifikan mempengaruhi pola konsumsi BBM pada masyarakat.

Tony yakin penghematan belanja subsidi yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur akan turut membantu pertumbuhan ekonomi. Namun, Tony mengingatkan penghematan yang dia perkirakan sebesar Rp250 triliun, tidak boleh hanya dialokasikan ke belanja infrastruktur, tapi juga ke pos anggaran untuk perlindungan sosial.

“Nah, mekanisme penyaluran bantuan itu yang harus diawasi, tidak boleh digunakan untuk kebutuhan yang cenderung konsumtif,” ujar dia. AN-MB