Anggota DPR RI, Nyoman Dhamantra, saat melakukan Reses dan Sosialisasi Empat Pilar

Anggota DPR RI, Nyoman Dhamantra, saat melakukan Reses dan Sosialisasi Empat Pilar (Pancasila, UUD 1945,  NKRI, dan  Bhineka Tunggal Ika), Jumat, 26 Agustus 2016, di Desa Wangaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali/MB

Tabanan (Metrobali.com)-

Sebagai sebuah bangsa besar yang majemuk dan telah berdiri di usia 71 tahun, kita seperti kehilangan “nalar publik” untuk hidup bersama atas dasar semangat kesatuan dan persatuan nasional. Semua persoalan yang terjadi sesungguhnya sinyal “goyahnya Empat Pilar Bangsa”. Sejumlah variabel yang memengaruhi lemahnya pilar bangsa. Diantaranya, terkait dengan ”marjinalisasi”, atau peminggiran rakyat di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Demikian paparan narasumber, Ngurah Karyadi, saat mendampingi Anggota DPR RI, Nyoman Dhamantra, saat melakukan Reses dan Sosialisasi Empat Pilar (Pancasila, UUD 1945,  NKRI, dan  Bhineka Tunggal Ika), Jumat, 26 Agustus 2016, di Desa Wangaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali. Hadir dalam acara tersebut Anggota DPRD Kabupaten Tabanan, Nyoman Arnawa, Kepala Desa, Jero Bendesa, Kepala Dusun, Kelian Adat, serta tokoh dan anggota masyarakat.

Lebih lanjut dinyatakan, dari sisi sosial dan budaya, goyahnya kebudayaan nasional kita yang secara perlahan, tetapi pasti tergerus penetrasi budaya asing. Ini terjadi akibat, negara tidak lagi berpijak pada budaya dan jati diri masyarakat lokat/adat, seperti nampak dalam proyek reklamasi Benoa, Jakarta dan lain-lain. Lebih parah lagi, negara dan pemerintah gagap, atau bahkan gagal melaksanakan amanat konstitusi (UUD 1945).

“Belum lagi marjinalisasi di bidang politik, hukum, ekonomi dan ekologi, yang secara kausalitas mengakibatkan kaotik di bidang sosial budaya. Apa buktinya? Beramai-ramai masyarakat menghimpun diri dalam suatu paguyuban atau kelompok-kelompok kedaerahan atau bahkan keagamaan, yang sering menggunakan cara kekerasan dalam mencapai tujuan. Hal ini dalam keyakinan saya, berakar pada ketidakadilan”, tandas Ngurah Karyadi.

Sementara itu, dalam pandangan Nyoman Dhamantra, pemerintah hasil reformasi -yang kini katanya berevolusi mental- ternyata belum memiliki rencana besar yang aplikatif buat bangsa ini agar sampai pada cita-cita dasarnya. Dengan kata lain, pemerintah belum layak menyandang gelar pemerintahan yang reformis, apalagi pemerintahan yang menegakkan negara amanat dan cita-cita. Dimana, program Nawacita yang menjadi visi-dan misi pemerintahan Joko Widodo, saat ini tengah mendapat ujian serius, termasuk di Bali, terkait rencana Reklamasi Teluk Benoa.

“Apa sesungguhnya produk terbesar pemerintahan hari ini? Rasa terasing dan anti sosial (individualistis) warga negara! Mungkin jawaban ini terlalu berlebihan. Namun, faktanya, banyak laporan di media bahwa orang-orang mulai terasing dari lingkungan, sosial dan budayanya sendiri, akibat serbuan kapitalisme dan konsumerisme,” kata Dhamantra, meyakinkan.

Mereka terasing dari lingkungannya, dari nilai-nilai dasar kemanusiaannya, terasing dan tercerabut dari akar tradisi budayanya. Terasing karena ketidakhadiran pemerintah di tengah deru penderitaan rakyat yang tak kunjung berhenti. “Ini tak boleh dibiarkan, dan kasus Reklamasi Benoa dapat dijadikan sarana “peringatan” kepada negara dan pemerintah untuk kembali kepada amanat konstitusi, khususnya pasal 18 B jounte pasal 33 UUD 1945″, kata Dhamantra.

Dalam kesempatan tersebut, Dewa Sutarba, Staff Dhamatra Cetre, menyampaikan adanya perubahan Nomenklatur di Kementerian Perindustrian, yang semula Industri Kecil dan Menengah (IKM), kini menjadi terbagi 3 Direktorat, yakni :
1. Direktorat Pangan, Barang dari Kayu dan Furniture.
2. Direktorat Kimia, Sandang dan Aneka Kerajinan
3. Direktorat Logam, Mesin, Elektronika dan Alat Angkut.

Dihimbau kepada segenap hadirin yang hendak mengajukan hibah bantuan alat industri, kiranya dapat menyesuaikan dengan Nomenklatur baru tersebut. Sekaligus berkoordinasi dengan Sekretariat Dhamantra Centre, sehingga dapat direalisasikan. NK-MB