satu stand pameran kain di PKB Taman Budaya

Salah satu stand pameran kain di Pesta Kesenian Bali

TANPA terasa ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-39 tahun ini yang berlangsung di UPT Taman Budaya (arts centre) Bali telah usai dan telah ditutup secara resmi oleh Wakil Gubernur Bali, Ketut Sudikerta mewakili Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, Sabtu (8/7).

PKB Dimulai sejak 10 Juni – 8 Juli 2017 dengan mengusung tema Ulun Danu, yang dimaknai sebagai upaya melestarikan air sumber kehidupan. Di mana Ulun Danu merupakan kearifan lokal tentang pengetahuan memelihara, memuliakan, dan memelihara air sebagai sumber kehidupan, penghidupan, dan peradaban.

Dalam konteks ini, Ulun Danu menjadi dasar pijakan para seniman dalam mengembangkan daya kreasi dan kreativitas berkesenian yang akan disajikan selama pelaksanaan PKB tahun ini. Di mana, tema ini mengejawantahkan ataupun mentrasformasikan konsep filosofi dan nilai-nilai kearifan lokal yang terformat dalam program PKB, seperti pawai, pagelaran, parade dan lomba, workshop kewanitaan, lokakarya dan serasehan, pameran, serta dokumentasi dan publikasi.

Tak kurang dari 17 ribu seniman dari 230 kelompok/sanggar seni dengan ragam kesenian unggulan kabupaten/kota se-Bali, serta didukung partisipasi kesenian dari luar daerah (nasional) dan luar negeri (internasional) telah mengisi program PKB tahun ini. Begitu pula apresiasi publik (masyarakat) pun terasa semakin menggeliat. Kesemarakan masyarakat memang terkesan masih mendominasi ruang pameran kerajinan. Tapi, sajian pertunjukan seni budaya yang menjadi agenda utama PKB tetap punya apresiasi tersendiri, khususnya di antara kalangan seniman.

Secara global, agenda utama PKB memang telah berjalan lancar dengan beragam catatan tentunya sesuai konsep rancangan awalnnya atau perencanaan. Di mana kemajuan kinerja panitia penyelenggara PKB dalam hal ini Dinas Kebudayaan (Disbud) Bali terkesan semakin baik, tapi ironisnya selalu tersandera persoalan tahunan yang telah berlangsung secara masif, terstruktur dan sistemik. Sehingga, dicap publik kemegahan dari kesejukan tema PKB tahun ini, seakan sebagai Ulun Danu dalam Senyum Dipaksa.

Dalam evaluasi Pengawas Independen PKB 2017 yang terangkum dalam rapat akhir di ruang Kepala UPT. Taman Budaya (arts centre) Bali, Jumat (7/7) terdapat sejumlah catatan bersifat khusus maupun rutin tahunan terkait kemajuan sekaligus kemunduran dari kinerja kepanitian PKB tahun ini.

Rapat ini dihadiri anggota Pengawas Independen PKB 2017, di antaranya Prof. Dr. I Made Bandem, MA (Ketua), I Nyoman Wija, SE, Ak. M.Si (Sekretaris), Ida Rsi Agung Wayabya Suprabhu Sogata Karang, dan Drs. I Gusti Putu Rai Andayana (anggota), kecuali Prof. Dr. IBG Yudha Triguna, MS (anggota) berhalangan karena sedang bertugas di luar Kota.

Masalah keamanan dan kenyamanan baik seniman maupun penonton masih menjadi catatan khusus karena termasuk terjadi praktik pembiaran yang bersifat masif, terstruktur dan sistemik. Di antaranya maraknya pedagong asongan di stan kuliner maupun sejumlah panggung pementasan. Begitu juga, masih kuatnya ego sektoral dari aksi persekusi atau premanisme berbasis desa adat/pakraman berupa praktik pungutan liar (pungli) dengan parkir komersial di ruang publik baik di bahu jalan/trotoar maupun kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.

Aksi melanggar hukum yang terjadi setiap tahun ini sesungguhnya tak perlu terjadi pembiaran bilamana tim keamanan PKB punya komitmen bersama dalam menjalankan tugas utamanya menjaga, melestarikan dan mengembangkan nilai adiluhung kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali secara global demi pariwisata bangsa berbasis budaya yang telah dikonstruksi dalam ajang PKB sejak tahun 1979 silam oleh Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, Gubernur Bali periode 1978-1988.

Terlebih lagi, kehidupan masyarakat Bali sangat tergantung dengan pariwisata budaya dan bukan dari hasil pertambangan sumber daya alam. Bahkan, Gubernur Bali, Made Mangku Pastika mengatakan bahwa DNA masyarakat Bali adalah sumber daya manusia dengan seni budaya. Hal ini, tentunya sekaligus juga menegaskan pernyataan Presiden, Joko Widodo dalam sebuah kesempatan rapat pemerintahan. Di mana saat beliau mengawali sambutannya sempat mengatakan bahwa Bali merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang mampu menghidupi masyarakatnya melalui sektor jasa dari pariwisata budaya dan bukan hasil pertambangan sumber daya alam.

Jika aksi melanggar hukum ini sampai terus menerus terjadi dalam PKB tahun depan tanpa ada perubahan signifikan  berarti sudah dapat dipastikan bahwa negara telah gagal dan tidak pernah hadir sehingga disebut juga aparat negara telah kalah dipukul KO. Artinya, juga pemimpin Bali pun dapat disebut telah kehilangan legitimasi kebijakan dan wibawa dalam pemerintahan.

Kemudian, meski sudah menjadi rahasia publik, pertanyaan besarnya, siapa sesungguhnya oknum pejabat negara yang terlibat membekingi atau berada dibalik kekuatan besar dari aksi persekusi atau premanisme tersebut sehingga sangat berani dan gagahnya seakan menegaskan dirinya kebal hukum alias tak tersentuh hukum negara.

Implikasinya, kepentingan publik dalam arti luas telah terabaikan. Pelayanan publik prima yang berkualitas dari pemerintahan pun tak akan pernah tercapai. Kemacetan tahunan tak pernah dapat dituntaskan. Bahkan,  terkesan di tengah negara merdeka sejak tahun 1945 telah terjadi penjajahan kemanusiaan atas hak paling hakiki dari kehidupan ini, yakni hilangnya rasa aman dan nyaman dalam berbangsa, dan bernegara serta bermasyarakat. Ini sesungguhnya termasuk tindakan pelanggaran HAM berat.

Lebih ironis lagi, proses belajar mengajar di kampus ISI Denpasar menjadi terganggung. Bahkan, sejumlah dosen dan mahasiswa mengusulkan agar selama PKB berlangsung proses belajar mengajar dihentikan dan kampus ISI Denpasar ditutup total saja. Karena, merasa tidak aman dan nyaman. Terlebih lagi, Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.Skar, M.Hum, selaku Rektor ISI Denpasar sudah lempar handuk alias tak berdaya seakan tak bisa berbuat apapun karena berada dalam ancaman. Di mana kampus sebagai rumah kedua mereka sudah bukan miliknya lagi, tapi sudah dikuasai oleh pihak lain secara paksa disertai ancaman.

Demi layanan publik yang prima harus disiapkan pengganti shuttle bus dengan memanfaatkan transportasi publik seperti angkutan trayek pengumpan (feeder) sarbagita dengan memakai lahan parkir di GOR Ngurah Rai, Denpasar dan Lapangan Timur Puputan Renon, Denpasar, serta kantor pemerintahan di sekitarnya.

Hal ini tentunya harus dibarengi upaya bersama untuk membersihkan bahu jalan/trotoar yang menjadi aksesbilitas utama selama pelaksanaan PKB berlangsung dari ego sektoral dengan aksi persekusi atau premanisme berupa praktik pungli parkir komersial berbasis desa Adat/Pakraman. Artinya, harus ada langkah konkrit dalam penegakan supremasi hukum secara berkeadilan.

Sedangkan, Rektor ISI Denpasar dituntut punya kewajiban moral untuk melapor ke Mabes Polri termasuk Presiden bilamana memang merasakan adanya aksi pembiaran karena terkesan Polda Bali dan jajarannya tidak sanggup menuntaskan aksi melanggar hukum yang selalu terjadi di kampus setiap tahun saat pelaksanaan PKB berlangsung.

Selain hal tersebut, juga tercatat bahwa belum adanya pembenahan atas kesemrawutan atau kroditnya parkir seniman di sebelah timur maupun di sebelah selatan panggung terbuka Ardha Candra UPT Taman Budaya (arts centre) Bali karena tidak adanya garis petunjuk parkir. Bahkan, pintu gapura sebelah utara panggung terbuka Ardha Candra UPT Taman Budaya (arts centre) Bali masih tertutup dan tidak dijaga seperti pintu utama yang di sebelah selatan.

Padahal, semestinya kedua pintu tersebut harus selalu terbuka dan dijaga petugas keamanan secara optimal sebagai pintu masuk maupun keluar, termasuk sebagai areal parkir seniman, panitia dan undangan pejabat terutama di sebelah utara panggung terbuka Ardha Candra UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, sehingga tidak terkesan kumuh sebagai tempat sampah.

Dari ragam sajian seni pertunjukan unggulan kabupaten/kota memang sebagian besar masih belum memenuhi tema PKB tahun ini dan mengabaikan batasan waktu yang telah ditetapkan berkisar satu – dua jam. Padahal semestinya untuk seni pertunjukan yang bersifat pengembangan haruslah sesuai tema, sedangkan bersifat pelestarian tidak terikat dengan tema. Ini artinya perlu adanya sosialisasi tema lebih intensif ataupun ada kesan seniman kurang kreatif dan kurang komunikatif dalam merealisasikan tema dalam karya seninya. Belum lagi, sajian pertunjukan seni masih ada yang lebih mengutamakan kemeriahan properti dan tata busana (penampilan) daripada kualitas musikalitas karya seninya.

Sedangkan, dari sajian pameran seni rupa terkesan kurang greget dan tidak ada karya master peace setiap kabupaten/kota. Semestinya seniman seni rupa dapat mengekspresikan karya seninya dengan memanfaatkan areal UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, serta aksesbilitas publik di sepanjang jalan Nusa Indah dari ujung sebelah selatan hingga utara dengan karya kreatif seperti instalasi atau mural di atas kanvas dan sebagainya. Sehingga, gema PKB mampu memberikan pencitraan seni budaya yang berkeadaban dan bukan sebaliknya seperti selama ini terkesan kurang ramah serta identik dengan kemacetan tahunan dan budaya salah kaprah yang melanggar hukum negara.

Begitu juga, dengan sajian pameran kerajinan yang memang lebih tertata rapi dan semakin baik dari tahun sebelumnya, tapi belum ada karya yang mencerminkan tema PKB tahun ini. Bahkan, mulai muncul keluhan pengerajin terutama stan pameran di bawah panggung terbuka Ardha Candra (arts centre) Bali, yang merasa terlalu sempit. Di samping itu, dari estetika kurang baik, terkesan kumuh karena jendela kaca ditutup dengan spanduk seadanya. Padahal, akan lebih baik kalau jendela kaca dibiar terbuka.

Sementara itu, dari sarana prasarana panggung berupa sound system dan ligthing memang sudah ada pembenahan tanpa adanya pemindahan alias tetap di setiap panggung, tapi masih ada seniman dari kabupaten/kota yang terpaksa membawa sendiri. Demi sajian terbaiknya memang tidak masalah, tapi akan lebih bijak jika sound system dan ligthing sepenuhnya disediakan oleh pihak penyelenggara dalam hal ini Disbud Bali dan UPT Taman Budaya (arts centre) Bali sebagai lokasi pelaksanaan PKB setiap tahun.

Kalau dari program pawai perlu adanya pemindahan lokasi panggung kehormatan dan materi pawai setiap kabupaten/kota haruslah berbeda dengan menampilkan kekhasan unggulannya sesuai tema PKB. Hal ini dalam upaya menepis kesan monotun. Selain itu, masih banyak catatan dari hasil evaluasi PKB 2017 selama sebulan yang patut nantinya mendapatkan perhatian serius dari pihak penyelenggara PKB ke depan sebagai acuan untuk melakukan perubahan ke arah lebih baik tentunya.

Prof. Dr. I Made Bandem, MA, Ketua Pengawas Independen PKB 2017 menegaskan bahwa hasil evaluasi ini diharapkan nantinya dapat menjadi acuan utama dalam menyusun konsep pelaksanaan PKB di masa mendatang. Sehingga, segala persoalan yang terjadi selama ini baik bersifat internal maupun eksternal dapat dituntaskan secara cepat, tepat dan aktual yang berkeadilan dengan mengutamakan kepentingan publik dalam arti luas. “Tidak boleh lagi ada pembiaran yang bersifat masif, terstruktur, dan sistemik dalam pelaksanaan PKB ke depan,” tegasnya, yang diamini anggota Pengawas Independen lainnya.

Lebih jauh, I Nyoman Wija, SE, Ak. M.Si, Sekretaris Pengawas Independen PKB 2017, menambahkan bahwa sesungguhnya apapun persoalan yang telah terjadi dalam pelaksanaan PKB selama ini dapat dituntaskan bilamana pemangku kebijakan punya komitmen bersama melaksanakan dengan sungguh-sungguh perintah undang-undang dengan segala aturan dan ketentuan hukum yang berlaku sesuai program Nawa Cita dari presiden Joko Widodo.

“Perlu adanya penegakan hukum berkeadilan, agar tidak terkesan lembaga desa Adat/Pakraman dicap publik sebagai “sarang premanisme” dan “rakus” akan kebutuhan ekonomi sesaat atas praktik pungli dengan aji mumpung yang mengabaikan kepentingan publik dalam arti luas hanya demi memenuhi hasrat kepentingan pribadi maupun kelompok/golongan tertentu saja,” tandasnya, yang juga diamini anggota Pengawas Independen lainnya.

Bahkan, Drs. I Gusti Putu Rai Andayana, selaku anggota Pengawas Independen PKB 2017, yang sudah malang melintang dalam dunia birokrasi pemerintahan mengakui bahwa tanpa adanya ketegasan dan sikap berani dari pemimpin untuk berbenah rasanya sulit untuk melakukan perubahan ke arah lebih baik. Makanya, PKB tidak salah dicap publik selalu monotun. Karena kesan pertama saat memasuki areal UPT Taman Budaya (arts centre) Bali dari tahun ke tahun tak pernah berubah.

“Praktik pungli dengan ego sektoral yang kebablasan dan etika sopan santun yang tidak mencerminkan budaya berkeadaban. Inilah pencitraan PKB setiap tahun,” sesalnya sembari berharap pemangku kebijakan dalam PKB ke depan dapat segera berbenah diri.(wb)