nyoman-dhamantra

Jembrana (Metrobali.com)-

Sejak menduduki posisi sebagai wakil rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dari Komisi X terus ke Komisi VI dan Badan anggaran (Banggar) di DPR RI, Nyoman Dhamantra  mengusulkan perlunya pemberian Dana Bagi Hasil (DBH) untuk kegiatan pelestarian budaya masyarakat Bali. “Hal ini didasari pemikiran bahwa, Bali tidak punya sumber daya alam (SDA), namun punya sumberdaya budaya yang menjadi penyangga pertumbuhan sektor pariwisata,” kata Nyoman Dhamantra saat Simakrama di Desa Mendoyo Dauh Tukad, Kab. Jembrana, Jum’at, 31/1 2012.

Pertemuan dihadiri sejumlah tokoh mamasyarakat, pemucuk dadia dan sekehe teruna teruni, yang difasilitasi Bendesa Adat,  Gusti Ngurah Kade Sunarta dan didampingi IB. Putu Purna, selaku kepala desa. Simakrama tersebut dilakukan sebagai bentuk pertanggung-jawaban selaku wakil rakyat di pusat, dan sekaligus

“Berdasarkan data hasil penelusuran Tim Dhamantra Centre di tahun 2012 terungkap bahwa, setidak-tidaknya 50 persen dari $ 9 miliar dolar AS devisa negara dari sektor pariwisata  yang mengalir ke Indonesia, disumbangkan dari Bali, namun kontribusi untuk pelestarian budaya Bali sangat kecil, tidak lebih dari Rp. 400 miliar,  sehingga perlu perjuangan untuk itu. Namun, perjuangan itu harus melibatkan publik, atau krama Bali”, katanya lebih lanjut.

Perlu diketahui, seharusnya dalam format dana bagi hasil pemerintah pusat itu tidak hanya memberikan perimbangan keuangan pada daerah-daerah penghasil sumber daya mineral. Daerah yang mempunyai potensi sumber daya budaya atau dari kegiatan eksplorasi budaya pun, lanjut dia, juga berhak menerima DBH.

“Mau tidak mau harus dilakukan karena pariwisata hidup dari budaya. Jika tidak ada keunikan budaya yang ditawarkan Bali, tentunya wisatawan mancanegara tidak akan datang jauh-jauh ke sini,” kata Nyoman Dhamantra, dalam kesempatan tersebut.

Selama ini, ungkap dia, beban pelestarian budaya tersebut ditanggung masyarakat Bali. Mereka memperbaiki berbagai bangunan dan melaksanakan kegiatan seni, budaya dan adat  secara swadaya, namun hasil pelestarian itu dinikmati secara luas oleh dunia pariwisata tanpa ada imbal balik yang seimbang. “Seyogyanya ‘domain privat’ pelestarian budaya ini diubah menjadi ‘domain publik’ yang ditanggung pemerintah dan masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya lagi,” katanya mengingatkan.

Dengan demikian, lanjut dia, kesejahteraan masyarakat Bali dapat meningkat seiring dengan perkembangan pariwisata. Bukan malah masyarakat Bali menjadi korban industri pariwisata. Sejauh ini Pulau Dewata hanya mendapat DBH dari pendapatan pajak bumi dan bangunan serta pajak perseorangan, sedangkan perolehan dari pajak perusahaan yang beroperasi di Bali, namun berkator pusat di Jakarta  itu nihil. Hanya dalam format bantuan, atau kepedulian sosial negara (Bansos) dan Perusahaan (CSR), yang jumlahnya sangat terbatas.

Keadaan inilah yang mendasari kenapa dia, dengan mendapat dukungan segenap Bendesa Majelis Madya Desa Pekraman dan kalangan LSM  mengiinisiasi Forum Perjuangan Hak Bali (FPHB), yang di deklarasikan, Minggu, 12/2/2012 di Museum Bali. Suatu langkah politis dalam mewujudkan janji kampanye lalu, khususnya dalam mengurangi, atau bahkan meniadakan beban krama dalam pelestarian adat dan budaya Bali, penguatan ekonomi rakyat dan lembaga keuangan desa adat (LPD).

“Alasan pemerintah karena perusahaan hotel-hotel di Bali neracanya terkonsolidasi di Jakarta dan NPWP-nya juga di Jakarta. Dengan sistem pemerintahan yang otonom, seharusnya hal itu tidak didaftarkan semuanya terkonsolidasi di pusat. Terlebih dengan adanya mafia pajak ala Gayus, dan sejenisnya, jelas sangat berbahaya. Sehingga, sudah saatnya didorong adanya desentralisasi fiskal” katanya retorik.

Dalam kesempatan tersebut, disebutkan, seharusnya sistem keuangan juga mengikuti sistem politik. Pajak dipungut sesuai dengan tempat investasi itu berada.
“Itu sudah kami bahas dalam rapat kerja dengan menteri keuangan dan sudah dimasukkan dalam rencana kerja program pemerintah. Celakanya, walaupun telah masuk namun tidak diinformasikan dari Menkeu ke Menbudpar,” ujarnya.

Akibatnya, kata dia, hingga saat ini baru mendapatkan respons, dengan dimasukkan dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH) pelestarian budaya Bali dan Rencana Kerja Pemerintah 2014-2019.

“Untuk optimalitas pembiayaan pelestarian budaya juga diperlukan tekanan publik, baik dalam bentuk ‘menimbang kembali’ usulan Otonomi khusus Bali, atau Usulan Daerah Istimewa Bali, dan setidaknya adanya  revisi atas UU No. 64/1958 tentang Provinsi Bali. Dimana dalam usulan-usualan tersebut memasukkan klausul pelestarian adat dan budaya, yang kemudian dituangkan dalam UU tentang Kebudayaan yang saat ini sedang dibahas di DPR,” jelasnya, seraya memaparkan tentang skenario perjuangan. Diakhiri dengan harapan mendapat dukungan dalam Pileg 9 April 2014, sehingga dapat meneruskan perjuangan tersebut. RED-MB