Denpasar (Metrobali.com)-

Akademisi dari Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana, Artawan menegaskan jika ia bersama sejumlah akademisi, tokoh masyarakat, aktivis antirokok, mahasiswa dan sejumlah elemen lainnya menolak rencana pertemuan World Tobacco Asia 2014 yang digelar di Bali. Tak hanya di Bali, Artawan menyebut jika penolakan itu akan dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. “Kami menolak pertemuan di Bali itu dan pertemuan di manapun di Indonesia,” kata Artawan saat memberi keterangan resmi susai seminar internasional “Social Determinants of Health: MDGs and Beyond, Sabtu 31 Agustus 2013.

Penolakan itu bukan tanpa alasan. Indonesia, kata dia, adalah satu-satunya negara di ASEAN yang belum meratifikasi Framework Convention for Tobacco Control (FCTC). Indonesia juga, kata dia, tergabung dalam negara-negara G20. “Negara yang tergabung dalam G20 adalah negara besar dan kuat. Tapi hanya Indonesia yang belum meratifikasi FCTC,” sambung Artawan.

Menurut dia, penolakan terhadap pertemuan itu sudah digalang secara luas. Pada seminar yang dihadiri peserta dari beberapa negara itu, penolakan itu pun dilakukan. “Peserta seminar ada dari India, Belanda, Australia dan beberapa negara lain. Peserta seminar yang berjumlah 186 menandatangani petisi penolakan itu,” imbuhnya.

Selanjutnya, bersama jaringan antirokok di Indonesia, Artawan akan terus melebarkan dukungan penolakan. “Kami akan kirim petisi ini kepada Pemda Bali, Kementerian Kesehatan dan Presiden,” imbuhnya.

Ia juga sudah berkomunikasi dengan jaringan antirokok nasional. “Teman-teman nanti akan menggalang kekuatan di daerah masing-masing,” jelas Artawan. Ia menjelaskan, prinsip kontrol tembakau itu bukan berarti melarang orang untuk merokok. Merokok, kata dia, juga bagian dari hak orang lain, meski bukan hak asasi. “Tapi kami hanya ingin menghirup udara yang bersih. Dan, hak atas udara bersih itu adalah hak asasi manusia,” tegas dia.

Rokok, kata Artawan, merupakan penyebab utama penyakit. Rokok berkaitan erat dengan derajat kesehatan lingkungan dan capaian MDGs pada 2015 depan. “Setelah itu, apa yang mau difokuskan di Indonesia,” terang dia.

Apalagi, kata dia, strategi Indonesia untuk mencapai target MDGs di Indonesia terbilang telat. WHO sejak tahun 2000 menjalankan hal itu, sementara Indonesia baru tahun 2005.

“Merokok itu salah satu faktor utama penyebab penyakit tak menular. Kematian terbesar salah satunya karena rokok. Untuk itu, komitmen kita terhadap tobacco control sangat penting,” tegas Artawan. “Kami mendesak agar pemerintah segera meratifikasi Konvensi FCTC secepatnya,” imbuh Artawan. CKL-MB