Ngurah Karyadi/facebook
Sepertinya, klaim dan deklarasi kubu 02 Probowo Subianto memenangkan pilpres 2019 merupakan bagian dari strategi propaganda politik.
—————————————————
Mengulang Michael Bakunin, anakhis Rusia, dalam prase-nya: “..Propaganda by dead…”, provokasi lewat kematian. Strategi tersebut dilakukan agar publik tidak terfokus pada hasil hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survei yang seluruhnya menyatakan capres-cawapres 01 Jokowi-Ma’ruf unggul perolehan suara.
Deklarasi kemenangan Prabowo bukan keputusan personal, tentu bagian dari strategi propaganda politik demi “menangguhkan” kepercayaan publik pada hasil hitung cepat. Setidaknya, BPN sebagai tim sukses berupaya meredam amarah sang Jendral pecatan yang juga pelarian di masa awal reformasi. Ada isyarat ke-awas tamak-an, terlebih dengan adanya ajakan turun kejalan (people power) dari Amin Rais, Egi Sujana dan tokoh yang sekelas lainnya.
Klaim dan deklarasi memenangkan pilpres sebelum ada keputusan dari pihak penyelenggara bukan hanya di Indonesia, namun juga di beberapa negara. Ada dua mengapa muncul klaim dan melakukan deklarasi memenangkan pilpres sebelum ada keputusan yang sah.
Pertama, deklarasi atau klaim kemenangan tersebut untuk mengacaukan konsentrasi publik dan memberikan pesan kepada pemilih, khususnya pendukungnya bahwa pertarungan belum selesai dan semua kubu masih memiliki kans untuk menang.
Kedua, klaim ini sebagai konter hegemoni, dari dominannya pemberitaan yang nyatakan petahana lebih unggul.‎
Memang klaim dan deklarasi kemenangan kubu Prabowo tersebut sebagai propaganda politik yang sah-sah saja, seperti di layar TV, Ponsel, sampai di kelir wayang Ceng-blong. Namun disayangkan karena hal tersebut juga berdampak buruk bagi publik. Selain membingungkan publik terhadap hasil Pilpres, klaim sepihak tersebut juga mengarah pada delegitimasi hasil pemilu. Jika kedua hal tersebut terjadi, maka akan banyak yang menjadi korban.
Strategi dan propaganda ini mengingatkan kita pada kisah wayang, II Aswatama. Sebagai anak Resi Drona, kesaktian dan kegagahan Aswatama tak mudah dikalahkan lawan. Bersama ayahnya ia bergabung dengan Kurawa hingga tatkala pecah perang Barata ia membantu Kurawa melawan Pandawa.
Suatu waktu terjadi insiden dimana antara dia dengan Prabu Salya raja Mandaraka. Aswatama menuduh Salya telah curang ketika menjadi kusir kereta perang Adipati Karna ketika perang dengan Arjuna. Setiap Karna melepas senjata, Salya selalu mencambuk kudanya hingga kereta bergoyang dan arah panah pun berbelok tidak mengenai sasaran. Tuduhan itu membuat Salya murka dan hampir terjadi baku hantam. Duryudana melerai dan menyalahkan Aswatama hingga si anak resi itu pun ditundung dan angkat kaki, tak pernah muncul kembali di Kurusetra.
Ia baru muncul setelah mengetahui Kurawa telah hampir ludas dan Duryudana sedang sekarat menghadapi ajal. Lebih-lebih setelah mengetahui bahwa ayahnya telah di-curang-i dengan mengabarkan kematian (kuda) Aswatama, dan akhirnya ajal di tangan Drestajumena. Timbul niatnya membalas atas kekalahan akibat apa yang disebutnya: terstruktur, sistematis dan massif.
Tapi untuk secara terang-terangan berhadapan dengan pandawa ia merasa tak mampu. Jalan satu-satunya mengadakan gerakan di bawah tanah, membuat terowongan yang arahnya menuju ke Pesanggrahan Pandawa dan harus dikerjakan di malam hari untuk tidak diketahui pihak Pandawa. Tapi waktu itu bulan sedang gelap.
Tiba-tiba ia teringat ibunya, Krepi, atau Dewi Wilutama yang seorang bidadari dari khayangan, untuk dimintai tolong memberi penerangan selama ia bekerja. Dipanggilnya melalui semadi dan seketika itu sang ibu telah berada di hadapannya seraya berkata: “Anakku, ibu mengerti engkau kesulitan membuat jalan di bawah tanah. Tetapi perang telah berakhir lebih baik engkau menyerah supaya engkau selamat,” pintanya.
“Menyerah? Oh tidak. hamba tidak akan menyerah sebelum dapat membalas kematian ayahnda, resi Drona dan raja hamba Duryudana yang sedang sekarat menghadapi ajal,” tolaknya tegas.
“Baiklah jika itu pilihanmu. Ibu akan menerangi dengan cahaya yang terang benderang selama engkau bekerja jangan sekali-kali menoleh ke belakang. Jika kau langgar, selain cahaya akan lenyap seketika, kau pun akan tercatat sebagai anak durhaka dan akan menerima hukuman yang amat berat,” Aswatama menyanggupi karena pikirnya, apa susahnya tidak menoleh ke belakang.
Maka seketika menggebyarlah cahaya yang amat terang benderang di sekitar itu dan Aswatama pun mulai bekerja membuat lubang. lalu dari mana datangnya cahaya itu? Ternyata cahaya yang terang benderang itu datangnya dari tubuh sang bidadari setelah menanggalkan seluruh busananya kecuali penutup aurat.
Itulah sebabnya Aswatama dilarang menoleh kebelakang. Mula-mula ia bekerja seperti biasa. Tapi lama-lama badan dan kepalanya merasa pegal karena tak bergerak bebas. Di samping itu timbul keingintahuan cahaya dari mana yang diberikan ibunya. Cahaya dari swarga atau lampu dunia. Maka seketika itu ia nekad menoleh ke belakang dan… terdengar suara jerit sang bidadari seiring dengan itu keadaan menjadi gelap gulita. Sang Dewi terbang kembali ke khayangan seraya berkata: “Kau anak durhaka Aswatama.”
Apapun, makna cahaya yang keluar dari tubuh Krepi, atau Wilutama adalah lambang cinta kasih seorang ibu kepada anaknya. Sejak bayi lahir dari kandungannya, si ibu telah memberi sinar menerangi perjalanan hidup anaknya melalui air susunya. Karena itu anak wajib menghormati orang tuanya.
Tapi Aswatama tidak menyesal dengan kejadian itu, karena jarak menuju pesanggrahan Pandawa sudah amat dekat dan dalam tempo yang tidak lama, ia telah muncul di permukaan pesanggrahan Pandawa.
Waktu itu para satria sedang tidur lelap tak seorang pun yang terjaga. Maka dengan tenang si anak resi itu membunuh satu persatu para satria Pandawa seperti Drestajumena, Pancawala, Srikandi dan lain-lain. Ketika melangkah ke sebuah kamar launya, dilihatnya seorang anak bayi yang tak lain Parikesit anak Abimanyu, generasi penerus keturunan Pandawa yang harus segera di lenyapkan.
Aswatama tidak melihat bahwa di dekat kaki bayi ada senjata Cakrawahyu/Cakrawyuha, atau ‘wahyu kuasa’ warisan dari bapaknya (Abimayu) yang sengaja ditaruh di situ, sebagai penjaga. Maka begitu Aswatama mengayunkan senjatanya ke tubuh si bayi, mendadak si bayi terbangun dan seperti ada kekuatan yang luar biasa, kakinya menendang Cakrawahyu hingga terpental menembus dada Aswatama. Maka selamatlah si bayi, yang kelak akan meneruskan tahta kerajaan Astinapura.
Si pembunuh bertangan dingin itu langsung kabur, dengan luka di dada. Sebelum masuk ke hutan ia sempat memberitahu Duryudana yang sedang sekarat, bahwa sakit hati atas kecurangan telah terbalas, dan raja Astina merasa puas kemudian menghembuskan nafasnya
Aswatama telah terluka wahyu, karsa, atau keinginan untuk berkuasa. Sewaktu sukma Aswatama akan berpisah dari raganya, kutuk Kresna bekerja, hingga sukmanya amblas ke dasar bumi bersatu dengan binatang-binatang kotor merana salam tiga ribu tahun lamanya. Kini seakan bangkit kembali.
Untuk itu, publik perlu waspada: Awas Tamak!  Sekaligus, para elit politik baik dari kubu 01 dan 02, berikut para pendukungnya, agar sama-sama menahan diri hingga ada keputusan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) soal siapa yang menjadi pemenang dan memimpin Indonesia untuk 5 tahun ke depan.
Sekali lagi, baiknya tentu kedua kubu menahan diri, dengan memberi ruang seluasnya untuk KPU bekerja tanpa intervensi. Jangan terhasut propaganda politik beraroma ‘kematian’, seperti disampaikan mantan anggota DPR, dari PAN, Djoko Edhi dalam sebuah diskusi: “…kematian 100-200 orang pasti, yang penting tujuan tercapai…”
*Ngurah Karyadi