asrul saniJakarta  (Metrobali.com)-

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menyayangkan diselenggarakannya pengadilan peristiwa 1965 di Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015 karena dinilai tidak bijak dalam menyikapi masalah tersebut.

“Saya menilai kawan-kawan elemen masyarakat sipil yang mengajukan soal ekses G30S ke pengadilan rakyat internasional tidak bijak dalam menyikapi persoalan yang sensitif,” katanya di Jakarta, Rabu (11/11).

Dia mengatakan, jika forum pengadilan tersebut mengandung hal-hal yang menyalahkan pemerintah atau kelompok tertentu maka berpotensi memecah belah elemen bangsa.

Politikus PPP itu menyarankan agar penyelenggaraan pengadilan rakyat dipertimbangkan antara manfaat dan kerugiannya sebelum membawa persoalan tersebut ke panggung internasional.

“Saya menilai pemerintah tidak perlu meng-entertain terhadap upaya di pengadilan rakyat internasional Den Haag,” ujarnya.

Menurut dia, apabila ada putusan yang menghendaki pemerintah meminta maaf, namun mayoritas masyarakat menolak maka pemerintah tidak akan memenuhi putusan forum informal tersebut.

Di sisi lain, ujar dia, pemerintah perlu lebih fokus dan menunjukkan keseriusan lebih dalam terkait penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu.

“Saya menilai apabila muncul sorotan dari dunia internasional, pemerintah perlu menjelaskan bahwa peristiwa yang terjadi setelah G30S adalah rangkaian sebab akibat dan bahkan bisa ditarik ke belakang pada peristiwa pemberontakan PKI di Madiun,” katanya.

Sebelumnya, pengadilan rakyat atau “International Peoples Tribunal” kejahatan kemanusiaan di Indonesia pada 1965 akan digelar di Den Haag, Belanda dari Selasa-Jumat (10-13 November 2015).

Anggota panitia pengadilan rakyat, Reza Muharam, mengatakan pengadilan itu digelar untuk membuktikan terjadinya genosida selama periode 1965 hingga 1966 yang selama ini tidak pernah diakui negara.

Menurut dia, persidangan akan diikuti tujuh hakim berlatar kalangan akademisi, pegiat hak asasi manusia, dan praktisi hukum, termasuk mantan hakim mahkamah kriminal internasional untuk Yugoslavia.

Para hakim itu, menurut dia, akan menguji alat bukti yang memuat keterangan 16 saksi peristiwa 1965 sekaligus data-data yang disusun sejumlah peneliti Indonesia maupun mancanegara.

Terdapat sembilan dakwaan yang akan diuji panel hakim dalam sidang tersebut antara lain pembunuhan massal, penghilangan paksa, penyiksaan, dan kekerasan seksual pasca meletusnya peristiwa 30 September 1965.

Reza mengatakan pengadilan itu tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, dan yang digugat adalah tanggug jawab negara serta tidak ada gugatan terhadap individu maupun organisasi tertentu.  (www.antaranews.com)