Yenny Wahid

Jakarta (Metrobali.com)-

Direktur Wahid Institute mengatakan pemerintah harus percaya diri mengelola air sendiri tanpa bantuan pihak swasta setelah Mahkamah Konstitusi mencabut UU No.7 tahun 2004 tenang Sumber Daya Air, “Pemerintah harus pede mengelola air sendiri. Dengan dibatalkannya UU tersebut maka akan kembali ke UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang isinya juga memperbolehkan ada sedikit keterlibatan swasta, namun pemerintah harus memininalisasi keterlibatan swasta,” kata Yenny di Jakarta, Kamis (9/4).

Yenny mengatakan dengan pencabutan UU No 7 Tahun 2004 dan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (24/3) menyatakan pembatalan kontrak pengelolaan air dengan swasta merupakan momentum bagi Indonesia untuk menata sistem perairan yang lebih manusiawi.

Menurut dia, pendapat yang mengatakan pengelolaan dipihak swasta akan lebih baik tidaklah benar, karena fakta di lapangan masih banyak masyarakat Jakarta yang tidak mendapatkan akses air bersih dan tarif air mahal.

“Sekitar 20 persen pelanggan tercatat dan dianggap sebagai kunci sukses mereka. Padahal pelanggan itu tidak mendapatkan pelayanan air. Masih banyak pelanggan air yang tidak mendapatkan air,” kata dia.

Dia perihatin terhadap kondisi air di Indonesia yang merupakan hak mendasar manusia tidak dapat terpenuhi.

“Sekitar 30 persen warga Indonesia tidak memilik akses air bersih, hal tersebut dapat berdampak ke mana-mana seperti kesehatan, sanitasi, gizi dan jauh kedepan adalah kehilangan generasi,” kata dia.

Masalah air di Indonesia terletak pada pengelolaannya dan transparansi harga.

Remunisipalisasi atau pengembalian pengelolaan kepada pemerintah sudah terjadi di banyak negara dan terbukti sukses untuk menghemat air.

“Pertama kali Paris melakukan remunisipalisasi, mereka dapat menghemat 35 juta euro, dan uang digunakan kembali membuat infrastruktur air baru,” kata Yenny.

Menurut data Amerta Institute for Water, jika seluruh air dikelola pemerintah akan ada efesiensi sebesar Rp750 miliar.

“Putusan MK tersebut adalah sesuatu yang harus dirayakan, untuk menunjukkan bahwa masalah privatisasi air ini adalah masalah nasional yang mendapat perhatian masyarakat dan dapat menguatkan pihak lainnya agar berpihak kepada masyarakat,” kata Yenny.

Sementara itu Menteri Perumahan Umum dan Pembangunan Rumah Rakyat Basuki Hadimuljono berjanji akan membuat rancangan Peraturan Pemerintah (PP) mengenai sumber daya air sebagai tindak lanjut dari keputusan Mahkamah Konstitusi atas pencabutan UU No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

“Bulan April ini, rancangan PP nya akan selesai, RPP ini akan jadi landasan Kementerian PU-Pera bekerja,” kata Menteri Basuki (8/4).

Ia mengatakan rancangan peraturan pemerintah ini akan merujuk kepada enam poin rekomendasi Mahkamah Konstitusi pada saat pencabutan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA) pada Februari 2015 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 .AN-MB