Denpasar (Metrobali.com) 

 

Menonton Film adalah hak kelompok disabilitas di Indonesia. Semangat inilah yang disuarakan oleh Yayasan Matahatiku Berdaya Mandiri dengan menggelar nonton bareng (nobar) film horror terlaris sepanjang masa, KKN Di Desa Penari pada Sabtu (28/5) di One Belpark XXI, Jakarta. Gelaran yang dihadiri oleh kelompok disabilitas ini mendapat dukungan penuh dari MD Pictures selaku Production House yang memproduksi film tersebut.

Bukan sekedar nobar, Yayasan Matahatiku mempersiapkan acara ini seinklusif mungkin bagi semua kelompok disabilitas yang hadir. Setidaknya ada 4 kelompok disabilitas yang hadir yaitu disabilitas tuna netra, tuna rungu, tuna daksa dan mental. Acara ini juga dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan isu disabilitas baik dari pemerintah, korporasi dan kelompok masyarakat sipil lainnya. Sebelum menonton, acara diawali dengan diskusi film dan situasi terkini isu disabilitas di Indonesia.

Yayasan Matahatiku sendiri memiliki visi mengembangkan potensi dan mendukung kebebasan berekspresi kelompok disabilitas agar lebih mandiri dan berdaya, baik secara mental maupun ekonomi, melalui pengembangan program-program ‘civic education’ yang berdampak dan berkelanjutan. Kehadiran Yayasan Matahatiku akan memperkuat upaya pemberdayaan dan pendampingan kelompok disabilitas yang dirasakan masih perlu ditingkatkan.

“Salah satu program yang kami usung yaitu mengkampanyekan kebebasan berekspresi kelompok disabiltas melalui aksesibilitas menonton film. Sama dengan kelompok non disabilitas, mereka juga sangat ingin menonton film nasional karya sineas anak bangsa. Sehingga penting bagi pelaku perfilman, baik sineas maupun eksibitor, menyediakan film yang aksesibel bagi teman-teman yang istimewa ini,” jelas Amin Shabana selaku Ketua Yayasan Matahatiku.

Ada pemandangan istimewa pada nobar yang dilakukan. Selama pemutaran film berlangsung terdapat 30 relawan disabilitas hadir di dalam studio. Relawan yang berperan sebagai pembisik bagi disabilitas tuna Netra dan juru bahasa isyarat bagi disabilitas tuna rungu. Mereka inilah yang menjadi jalan dalam membantu menjelaskan adegan film yang sulit dipahami kelompok disabilitas.

Kelompok disabilitas yang hadir merupakan jaringan disabilitas yang didampingi oleh Yayasan Matahatiku. “Kelompok disabilitas sangat antusias pada setiap gelaran bioskop dan film inklusi dilakukan. Kami berharap bisa menggelar program ini di berbagai kota lainnya sehingga ada keadlilan yang sama dalam mengakses karya sineas nasional bagi kelompok disabilitas di luar Jakarta,” papar Ketua Bidang Program Yayasan Matahatiku, Hikmah Almassawa.

Secara teknis bioskop Inklusi bukanlah perkara yang sulit untuk dipenuhi pelaku perfilman nasional agar karya mereka juga dapat dinikmati kelompok disabilitas. Bagi eksibitor, sangat penting memikirkan bagaimana menyediakan studio sinema yang ramah bagi disabilitas. Bioskop yang ramah ini dimulai sejak kelompok disabilitas mencapainya hingga berada di dalam dan sekitar studio. Sementara bagi sineas dengan memproduksi versi inklusi pada setiap karya yang diproduki. Elemen inklusi misalnya bisa berapa menambahkan audio description pada versi film ramah disabilitas.

Teknis bioskop inklusi juga bisa dilakukan dengan memberikan sesi pemutaran khusus bagi kelompok disabilitas saat film diputar di bioskop. Pada sesi pemutaran khusus ini yang perlu disiapkan yaitu relawan pendamping yang dibutuhkan. “Kebebasan berekspresi dalam mengakses karya film juga dimandatkan oleh Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas Pasal 5. Sehingga semua tinggal bagaimana kita mendorong ini terwujud”, ungkap Fajri Hidayatulah aktivis Himpunan Disabilitas Muhammadiyah yang juga hadir.

Merujuk pada Undang-undang Dasar 1945, hak dan kewajiban yang sama bagi setiap warga negara juga dinyatakan dengan tegas. Salah satunya dalam Pasal 28 C ayat (1), dinyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mengembangkan diri melaluipemenuhan kebutuhan dasar, setiap orang juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan serta memperoleh manfaat dari iptek, seni dan budaya dalam rangka meningkatkan kualitas hidup serta meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

Pada konteks global, data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2021 mengungkapkan terdapat 15 persen kelompok disabilitas dari 7 miliar penduduk dunia di tahun 2021. Dari sejumlah 15 persen itu, 80 persennya tinggal di negara berkembang.

Sementara itu berdasarkan data Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) 2019, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebesar 9,7 persen dari jumlah penduduk, atau sekitar 26 juta orang.

Sayangnya dengan angka yang besar tersebut, berbagai permasalahan masih menyelimuti kelompok disabilitas tanah air. Sehingga perlu adanya kerja kolaborasi dari
semua pemangku kepentingan dalam memenuhi hak penyandang disabilitas. “Kami
berharap perlahan namun pasti tidak ada lagi diskriminasi bagi kelompok disabilitas dalam melakukan kebebasan berekspresi, termasuk menonton film-film nasional yang kita banggakan”, pungkas Amin Shabana yang juga dosen di Universitas Muhammadiyah Jakarta. (Sut)