MIRIS jika negara agraris yang mengandalkan pertanian menjadi pengimpor pangan yang cukup besar. Karenanya, dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2012, ketahanan pangan masuk sebagai salah satu prioritas pemerintah. Hal ini perlu untuk menjaga stabilitas harga pangan domestik yang dapat berkorelasi positif dengan inflasi jika tidak terkendali. Menyikapi rencana tersebut, Dewan Ketahanan Pangan (DKP) Kabupaten Badung melaksanakan rapat kerja, di Puspem Badung, Senin (30/1) lalu.
            Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya.
Permasalahan yang menghambat pencapaian ketahanan pangan dan mendekatkan  masyarakat dari keadaan rawan pangan adalah konversi lahan pertanian menjadi daerah industri, sebagaimana kondisi Kabupaten Badung saat ini. Ditunjang oleh jumlah manusia yang meningkat secara eksponensial, sedangkan usaha pertambahan persediaan pangan hanya dapat meningkat secara aritmatika. Penghambat lainnya adalah pengaruh perubahan iklim. Sektor pangan berkontribusi besar pada pendapatan sektor pertanian. Penyakit tanaman pertanian muncul akibat kondisi ekstrem, efek fenomena pemanasan global.
Bupati Badung A.A Gde Agung, saat membuka rapat kerja DKP menjelaskan beberapa upaya mengatasi permasalahan yang ada. Pemerintah bertekad mencapai ketahanan pangan dengan peningkatan produksi pangan melalui optimalisasi lahan, intensifikasi, penyediaan sarana pertanian, dan peningkatan kualitas pasca panen. Arah kebijakan lain dengan peningkatan akses pangan masyarakat melalui divesifikasi konsumsi dan stabilitas harga pangan.
Satu poin penting yang disampaikan Gde Agung dalam sambutannya yakni bahwa masyarakat Bali sejak dulu memiliki sistem penanggalan khusus (dewasa ayu), perhitungan iklim tradisional (sasih), juga metode distribusi air sawah tradisional (subak). “Metode ini menjadi acuan dalam menentukan waktu yang tepat untuk melakukan aktivitas pertanian mulai dari pembibitan, menanam bibit, pemeliharaan, hingga musim panen. Secara spiritual, metode ini juga diyakini sebagai hari baik,” kata bupati. Substansi inilah yang diduga kuat mampu mengantarkan Badung pada kondisi surplus beras antara 7.876 ton sampai 11.869 ton per tahun dalam 3 tahun terakhir ini.
Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Bali menargetkan tingkat produksi beras di Bali pada tahun ini mencapai 500.000 ton. Optimisme pencapaian target produksi tersebut dapat terealisasi, sebab disamping upaya teknis yang maksimal, para petani Bali masih tetap menggunakan metode niskala tersebut. Meski pada tahun lalu lebih dari 1.300 hektar persawahan di Bali mengalami gagal panen, namun Bali tetap berswasembada beras.
Diprediksi tahun ini luasan persawahan yang mengalami gagal panen lebih sedikit, karena berdasarkan ramalan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), curah hujan di Bali terjadi hingga akhir Februari mendatang.

Sementara itu Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Badung, I.G.A Ketut Sudaratmaja menegaskan salah satu dimensi ketahanan pangan adalah rawan pangan, yang berkaitan dengan kebencanaan, utamanya akibat perubahan iklim. Sistem pertanian modern yang tetap mengadopsi budaya pertanian lokal Bali inilah yang kelak diharapkan mampu menjawab permasalahan tersebut. “Kami bersyukur Badung bisa surplus beras,” pungkasnya.  MB1-metrobali.com