Bangli (Metrobali.com)-
            Dalam rangkain perayaan HUT Kota Bangli ke-809 dan untuk tetap menjaga etika berbusana adat ke Pura di tengah perkembangan jaman dan persaingan design (mode) busana, maka pemerintah Kabupaten Bangli melalui panitia permanen HUT Kota Bangli yang bekerja sama dengan PKK Kab. Bangli Sabtu (1/6)  menggelar Work Shop tentang bagaimana tata cara dan etika berbusana adat ke Pura.
            Acara tersebut dihadiri oleh Ketua Penggerak PKK Kab Bangli, Nyonya Erik Gianyar, diikuti oleh kurang lebih 80 peserta yang berasal dari anak-anak sekolah, karang taruna, Ibu PKK kecamatan dan kelurahan se-Kabupaten Bangli yang dibuka langsung oleh Bupati Bangli dengan dua narasumber, dari WHDI Ibu Agung Ardani dan dari Kementerian Agama Kab. Bangli I Wayan Gunarta.
            Ketua panitia yang sekaligus ketua Penggerak PKK Kab Bangli Nyonya Erik Gianyar melaporkan kegiatan work Shop tentang tatacara berpakaian adat kepura dirasa perlu diadakan sebagai upaya untuk tetap menjaga etika dan tatacara berbusana adat ditengah derasnya pengaruh budaya asing dan maraknya perkembangan design (mode) pakean yang terkadang tidak sesuai dengan etika. Selain untuk tetap melestarikan nilai budaya, kegiatan ini juga bertujuan untuk meluruskan kembali paradigma dikalangan generasi muda bahwa tata cara berpakaian dalam berbusana adat ke Pura perlu di beri pemahaman baik dari segi etika dan filosofi yang terkandung didalamnya sehingga kedepan generasi sebagai penerus tradisi senibudaya bisa tetap melestarikan dan tidak semata mata mengikuti tren yag ada tanpa menghiraukan makna filosofi yang terkandung didalamnya.
            Bupati Bangli saat membuka acara menyampaikan apresiasi atas kegiatan ini dimana gencarnya pengaruh budaya asing sudah tidak bisa kita hindari, sehingga satu-satunya upaya yang dapat dilakukan adalah uapaya bagaimana untuk dapat melestarikan nilai budaya dengan tetap memegang teguh kaidah-kaidah dan etika berbusana terutama pada anak remaja yang biasanya sangat cepat dapat mengetahui perkembangan jaman dengan kemampuan teknologi dimasa sekarang ini. Tren bukan berarti tidak kita ikuti akan tetapi bagaimana dalam tren tersebut tetap terkandung makna filosofi dan etika berpakaian terlebih pakaian adat ke Pura. “Saya yakin generasi muda akan mampu tetap menjaga nilai budaya yang menjadi warisan leluhur yang langkah awalnya dengan tetap mengisi diri dengan hal-hal yang positif, belajar dengan baik dan meningkatkan prestasi” imbuhnya.
Saya bangga kepada siswa yang pada saat ujian kemarin berhasil mendapatkan nilai sepuluh diantaranya 12 orang dari tingkat SMA dan 3 orang dari tingkat SMP. Kegiatan ini juga merupakan salah satu pendidikan non forma kaitannya dengan budaya. “Kepada peserta work shop yang hadir hari ini diharapkan nantinya dapat mengetuk tularkan kepada teman-teman agar apa yang di sampaikan pada kesempatan ini bisa juga di ketahui oleh teman dan rekan di lingkungan sekitar” harapnya.
            Sedangan narasumber dari Kementerian Agama Kab. Bangli I Wayan Gunarta Menyampaikan sampai saat ini belum diketemukan referensi yang menyatakan bagaimana sebenarnya pakaian seragam umat hindu, karena dalam ajaran Hindu lebih bersifat fleksibel dan penerapannya menyesuaikan dengan budaya adat daerah setempat. Dalam berbusana lebih ditekankan pada bagaiman berbusana adat sesuai dengan etika, pakaian yang dikenakan harus rapi dan bersih.
            Utuk kaum pria sudah barangtentu dalam mengenakan kain yang di sebut kamben harus berkancut yang menyentuh tanah (nyapu jagat) sebagai simbol purusa (pria) di atas kain kamben di isi kain saput sebagai simbol pengendalian diri dan mengenakan udeng pada bagian kanan menjulang keatas dengan posisi lebih tinggi secara filosofi menandakan hubungannya ke atas dengan Sang Pencipta. Tidak ada dijelskan juga aturan resmi kaitannya dengan warna pakean “hal itu hanya di sebabkan kesepakatan dari daerah setempat” imbuhnya. Pada hakekatnya dalam bersembayang yang menjadi acuan adalah bagaimana proses bersembahyang hendaknya didasari oleh tiga hal yaitu: “Pikiran yang Suci, Ucapan kata-kata yang suci dan Ambek atau sikap yang suci” tegasnya.
            Sedangkan Ibu Agung Ardani dari WHDI Kab Bangli lebih menekankan pada etika berpakaian adat bagi kaum wanita mulai dari etika memakai kain dan baju kebaya yang sesuai standar etika busana kepura meliputi: Ujung kain tidak boleh tinggi sampai kelutut, harus menutupi mata kaki, selendang harus diikat di bagian samping kiri dan yang lebih penting adalah pada bagian rambut harus disanggul atau di ikat rapi untuk menghindari rambut jatuh di areal pura karena akan dapat mencemari pura (leteh). Ditambahkan lagi dalam berbusana adat kepura juga ada tingkatan yaitu adat madya dan adat lengkap. “Khusus untuk para wanita di tekan kan apabila sudah memakai kain (kamben) sudah pasti harus mengenakan baju kebaya sebagi simbol kewanitaan” tandasnya.
            Selain pemaparan tentang bagaimana seharusnya berpakain adat juga di hadirkan beberapa peraga cara berpakean yang ideal sesuai dengan standar etika berpakean adat ke Pura.WAN-MB