Denpasar, (Metrobali.com)

Walaupun Surat Edaran (SE) No. 04 Tahun 2023 tentang Tatanan Baru Wisatawan Mancanegara Selama Berada di Bali, tidak tertuang larangan mendaki dan menutup gunung seperti dilontarkan Gubernur Bali Wayan Koster, wacana lisan untuk melarang pendakian gunung di Bali, telah menimbulkan kegalauan di sektor kepariwisataan yang pekerjaannya berkait dengan pendakian gunung. Dalam pemberitaan media, Koster menegaskan melarang pendakian gunung untuk menjaga kesuciannya, dan disebutkan pelarangan akan diatur dalam Peraturan Daerah. Namun, berdasarkan informasi di lapangan, ‘’sunrise tracking’’ di Gunung Batur tetap berlangsung sampai 05 Juni kemarin, di tengah kecemasan para pemandu tracking yang akan kehilangan peluang pekerjaan, bila pelarangan benar-benar diterapkan penuh.

Niat untuk menjaga kesucian gunung dibalik wacana pelarangan mendaki gunung serta menutupnya secara penuh, dinilai mengandung niat baik dan positif. Idealnya memang, untuk menjaga sepenuh-penuhnya kesucian gunung, yang dibolehkan hanyalah pendakian yang berkaitan dengan ibadah, semisal kegiatan agama Hindu dalam konteks ‘’segara gunung’’. apalagi, dalam Bhisama Kesucian Pura PHDI No. 11/1994, gunung termasuk salah satu kawasan suci. Hal itu ditegaskan Ketua PHDI Bali, Nyoman Kenak, SH, didampingi Sekretaris PHDI Bali Putu Wirata Dwikora, Senin (5 Juni 2023). SE No. 4/2023 tersebut merujuk Bhisama, dan dalam Bhisama PHDI No. 11/1994 tentang Kawasan Suci, gunung termasuk kawasan suci gunung, selain danau, laut, sungai.

Namun, karena berbagai perkembangan termasuk kepariwisataan alam di gunung, kebijakan itu sebaiknya tetap dipertimbangkan dan dikaji secara komprehensif, agar selain terjaga kesucian dan kelestariannya, kegiatan ‘’tracking’’ yang menjadi salah satu daya tarik wisatawan yang berkunjung ke Bali. Sangat perlu dipertimbangkan untuk diatur dengan SOP (standar operation procedure), agar tidak menodai kesucian, tidak merusak kelestarian alam dan lingkungan di gunung.
Kenak menilai, wacana yang dilontarkan Gubernur tersebut positif dan perlu mendapat masukan dan pertimbangan dari berbagai kalangan. Ia mengajak masyarakat memberikan masukan dan pertimbangan, sebelum hal itu dijadikan keputusan, semisal Peraturan Daerah seperti dilontarkan Gubernur.

Sekretaris PHDI Putu Wirata Dwikora menambahkan,‘’Kalangan wisata memahami wacana Gubernur Bali itu sebagai niat untuk menjaga kesucian alam Bali dari berbagai ekses, yang belakangan ini marak oleh ekses negatif. Ada turis telanjang di lereng Gunung Batur, ada wisatawan memanjat Padmasana, ada yang duduk di Pelinggih, ada yang berfoto telanjang di Pohon Suci, dan lain sebagainya. Perilaku wisatawan yang mengganggu kenyamanan itu, wajar menimbulkan reaksi dan wacana seperti yang dilontarkan Gubernur Bali. Namun, berbagai pihak perlu memberikan masukan komprehensif, agar semuanya terlindungi, baik kesucian maupun masyarakat yang memanfaatkan wisata tracking itu sebagai rekreasi dan sumber ekonomi,’’ imbuh Putu Wirata Dwikora.

‘’Kami menyerap masukan dari berbagai pihak, termasuk sektor kepariwisataan, dan mereka merasa bahwa larangan dan penutupan sepenuhnya gunung-gunung dari pendakian sangat perlu dipertimbangkan,’’ imbuh Putu Wirata, sembari menguraikan bahwa ada gunung seperti Gunung Batur di Kabupaten Bangli, yang ‘’sunrise tracking’’-nya menjadi salah satu favorit wisatawan. Setiap bulannya ribuan wisatawan menikmati ‘’sunrise tracking’’ disana, dan menjadi sumber penghasilan dari ratusan sampai ribuan orang di sekitar. Ada yang bekerja sebagai pemandu tracking, pedagang minuman dan jasa lainnya. Dari puluhan agen jasa tracking, ada ratusan orang yang bekerja sebagai pemandu, dan bisa kehilangan pekerjaan, dan ratusan orang lagi kehilangan penghasilan dari jasa menjual minuman.

Kenak menegaskan, bisa dimengerti, pendakian oleh ratusan sampai ribuan orang yang bila tidak disiplin dalam berperilaku, bisa menimbulkan ekses negatif, seperti sampah yang merusak lingkungan dan kesucian, sampai potensi erosi. Apalagi, wisatawan tracking mobil di lereng bawah Gunung Batur, yang terlihat sangat banyak peminatnya. Belum lagi perilaku pemandu wisata yang tidak ‘’capable’’. Karenanya, PHDI memandang masukan-masukan sangat diperlukan, bagaimana menjaga kelestarian dan kesucian gunung dari aktivitas ‘’tracking’’, dengan mengendalikan kuantitas maupun kualitasnya. (RED-MB)