SALAH satu “tweet” yang dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada awal Juni 2013 adalah pesan yang mengingatkan bahwa “Indonesia adalah negara majemuk yang berketuhanan”.

Karena itu, lanjut pesan yang terpampang dalam akun Twitter @SBYudhoyono pada Jumat (7/6) adalah agar masyarakat terus memperkuat toleransi dan kerukunan umat beragama.

Presiden Yudhoyono yang tahun 2013 ini juga meraih “World Statesman Award” di New York, Amerika Serikat, barangkali mengirimkan pesan tersebut karena adanya rasa cemas terhadap meluasnya intoleransi.

Padahal, intoleransi bisa berdampak kepada penutupan tempat ibadah atau pengusiran sekelompok warga hanya karena mereka dinilai memiliki keimanan yang “salah” sehingga harus disingkirkan agar tidak bisa mencemarkan yang “benar”.

Salah satu penyebab dari intoleransi adalah adanya kebencian, yang sebenarnya memiliki banyak bahayanya bila hal tersebut disebarluaskan.

Peringatan akan bahayanya menyebar kebencian terjabarkan secara lugas oleh sosiolog Amerika Serikat, Richard G Dumont, dalam karyanya “When Hate Happens” (2013).

Dalam buku “When Hate Happens”, Dumont yang telah melakukan penelitian mengenai subyek kebencian sejak tahun 2007 itu berkolaborasi dengan sejumlah lembaga seperti Southern Poverty Law Center (SPLC) yang menyebarkan paham untuk menghormati keragaman, mengajarkan toleransi, dan memberantas kebencian.

Dalam bagian awal buku setebal 137 halaman tersebut, Dumont memaparkan sejumlah kasus kejahatan di AS dan Eropa yang dilakukan atas dasar kebencian.

Beragam pelaku yang dicontohkan oleh Dumont adalah Timothy McVeigh, Jared Lee Loughner, Anders Behring Breivik, dan Wade Michael Page.

Timothy McVeight adalah pelaku pengeboman gedung Alfred P Murrah Building pada 19 April 1995 yang menewaskan 168 orang dan melukai lebih dari 800 warga lainnya.

Dumont menulis, McVeight melakukan hal itu didasari oleh kebencian terhadap pemerintah yang digerakkan oleh pergerakan yang diikutinya yang juga terinspirasi oleh rasisme (kebencian terhadap ras tertentu).

Kemudian, Jared Lee Loughner menembak secara serampangan dalam pertemuan Anggota DPR Gabrielle Giffords dengan konstituen dan pendukungnya yang digelar di Tuscan, Arizona, 8 Januari 2011, yang mengakibatkan 6 orang tewas, termasuk anak perempuan berusia 9 tahun.

Kekejian tersebut terjadi karena Loughner memiliki kebencian terhadap wanita, pemerintah, dan berbagai agama. Giffords sendiri beragama Yahudi.

Selanjutnya, Anders Breivik memberondong senapan miliknya di pertemuan Liga Pemuda Pekerja, Norwegia 2011, yang mengakhiri 69 nyawa, kebanyakan remaja.

Alasan Breivik melakukan itu karena kebenciannya terhadap pergerakan multikulturalisme yang berkembang di Eropa dan dunia Barat.

Breivik, dengan didasari rasa kebenciannya, juga telah menulis manifesto setebal 1.500 halaman yang mengajak berbagai pihak untuk mengangkat senjata melawan gerakan multikulturalis yang dinilai akan menghancurkan peradaban Barat.

Terakhir, Wade Michael Page dengan membawa senapan semi-otomatis 9 mm membantai sebanyak 5 lelaki dan 1 perempuan di Kuil Sikh di daerah Oak Creek, Wisconsin, 5 Agustus 2012.

Page, berdasarkan data dari SLPC, ternyata telah bertahun-tahun mengikuti gerakan Neo-Nazi dan aktif dalam jaringan sosial supremasi kulit putih.

Page juga diketahui menjadi anggota grup musik yang dinamakan “Definite Hate and End Apathy” (Kebencian Mutlak dan Akhiri Apati).

Dumont menyatakan rasa syoknya dan merasakan kekecewaan yang mendalam karena masih ada manusia yang melakukan tindakan kekejaman seperti itu hanya karena didorong kebencian terhadap kelompok yang berbeda, baik secara jender, ras, dan agama.

“Kami” vs “Mereka” Kebencian, analisis dia, terpicu oleh karena masih adanya perbedaan yang mengakibatkan anggota masyarakat secara sukarela membagi diri mereka antara “in-groups” dan “out-groups”, atau secara lebih lugas, antara “kami” dan “mereka”.

Ia memaparkan juga tentang berbagai penelitian awal seperti yang dilakukan oleh Else Frenkel-Brunswick, Daniel Levinson, Nevitt Sanford, dan Theodor Adorno yang menulis tentang kepribadian Otoritarian.

Banyak dari kelompok fundamentalis yang menyebarkan kebencian adalah mereka yang dapat digolongkan sebagai “pengikut Otoritarian”, yang bisa dimanipulasi atau ditanamkan rasa benci oleh para ideolog kelompok atau para pemimpin mereka.

Beragam ciri khas dari para pengikut tersebut antara lain adalah mereka merasa yang paling benar dan memiliki kebencian terhadap beragam kelompok lainnya, memiliki loyalitas atau kesetiaan yang tinggi, cenderung berpikir ala “hitam-putih”, kerap menerapkan standar ganda, dan berperilaku berbeda-beda antarwaktu.

Salah satu penyebab munculnya kelompok yang menyebarkan rasa benci, salah satunya adalah karena kesenjangan ekonomi di dalam masyarakat.

Dumont juga memperkenalkan perhitungan yang disebut sebagai State Hate Index (SHI), yang menjabarkan tentang tingkat kebencian antarnegara bagian dan ibukota negara adidaya tersebut, Washington D.C., di Amerika Serikat.

SHI dihitung berdasarkan jumlah kelompok penyebar kebencian dari data SLPC, yang terdiri atas kategori seperti Ku Klux Klan (186 kelompok), Neo-Nazi (196), Separatis Kulit Hitam (113), dan Nasionalis Kulit Putih (111).

Secara total, jumlah kelompok penyebar kebencian yang ditemukan SLPC pada 2010 adalah sebesar 932 kelompok, atau meningkat enam kelompok dibanding tahun sebelumnya.

SHI dapat ditentukan berdasarkan jumlah kelompok penyebar kebencian yang terdapat di satu negara bagian, dengan jumlah populasi yang terdapat di negara bagian tersebut.

Akhirnya, diperoleh data bahwa SHI tertinggi terdapat di Washington D.C., Montana, South Carolina, dan Missisippi. Sedangkan nilai SHI terendah adalah terletak di negara bagian Hawaii, Alaska, New Mexio, dan Maine.

Dumont kemudian membandingkan SHI dengan sebanyak 22 indikator kesejahteraan sosial dan ekonomi yang dinilai mengakibatkan ketidakamanan eksistensial.

Kesenjangan Ekonomi = Kebencian? Hasil penelitian itu menunjukkan sejumlah hal menarik, antara lain adalah semakin tinggi ketimpangan atau kesenjagan ekonomi, maka akan semakin tinggi SHI atau indeks kebencian. Hal yang sama juga mengarah bahwa semakin tinggi kemiskinan, penghasilan rumah tangga, semakin tinggi indeks kebencian.

Di lihat dari indikator pendidikan ditemukan bahwa semakin banyak jumlah warga yang lulus SMA maka akan semakin rendah indeks kebencian yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan merupakan hal yang penting dalam mengatasi kebencian.

Uniknya, terdapat juga tingkat signifikansi yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kehamilan remaja ternyata berimbas positif dengan meningkatnya indeks kebencian. Sedangkan semakin tinggi tingkat kesehatan, semakin rendah SHI.

Dari sisi kriminologi, secara jelas juga terlihat bahwa semakin tinggi tingkat kejahatan dengan kekerasan atau tindak pidana pembunuhan, maka akan semakin besar pula indeks kebencian di daerah tersebut dibanding daerah lainnya.

Begitu pula dengan pengukuran terhadap tingkat pemahaman keagamaan yang ekstrim juga berdasarkan hasil penelitian Dumont, akan mengakibatkan tingkat kebencian yang juga ekstrim.

Sedangkan pada bagian akhirnya, Dumont mengajak kepada kita semua untuk turut serta memerangi kebencian, antara lain dengan menyatakan ketidaksetujuan bila ada seseorang yang mengucapkan atau bertindak sesuatu yang bersifat rasis atau kebencian terhadap kelompok masyarakat tertentu.

Selain itu, ia juga mengajak agar warga yang tidak setuju kepada penyebar kebencian agar mendukung berbagai organisasi dan lembaga yang berdedikasi dalam mempromosikan keragaman, mengajarkan toleransi, dan melawan kebencian yang termanifestasikan dengan keji terhadap kelompok tertentu.

Di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam penutupan Forum Pemimpin Redaksi se-Indonesia di Nusa Dua, Bali, Jumat (14/6) mengakui jika masalah persatuan, kerukunan dan toleransi masih menjadi “pekerjaan rumah” di Indonesia.

Untuk itu, Presiden Yudhoyono menggarisbawahi pentingnya kerukunan di antara seluruih rakyat Indonesia yang terdiri atas berbagai identitas baik agama, etnis, suku, dan perbedaan identitas yang lainnya.

“Hadirnya demokrasi dan kebebasan itu adalah amanah reformasi tapi tidak boleh hadirnya demokrasi, hak dan kebebasan ini membuat persoalan bagi kerukunan di antara kita semua,” kata Presiden. Muhammad Razi Rahman/Antara