Denpasar, (Metrobali.com)

Wayan Sarjana melakukan perlawanan atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar. Dimana tanah miliknya terancam akan menjadi milik orang lain, yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Persoalan ini terkait dengan adanya pembatalan sertifikat oleh PTUN Denpasar, yang diajukan oleh penggugat yakni Lenny Yuliana Tombokan di Jalan Pemelisan Agung Nomor 9, Banjar Gundul, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Badung.

Dalam Putusan Nomor. 17/G/2024/PTUN. DPS dan Putusan Nomor. 18/G/2024/PTUN. DPS, Majelis Hakim menyatakan sejumlah sertifikat itu batal.

Atas hal ini, Sarjana pun mengajukan banding melalui kuasa hukumnya, karena hak-hak bapaknya, I Nengah Karna sebagai pemilik tanah terancam dirampas. Tidak hanya satu, namun ada empat objek dari empat orang yang berbeda juga melakukan upaya banding tersebut:
“Saya meminta kepada Bapak Presiden saat ini dan presiden terpilih Prabowo Subianto serta Kapolri dan Panglima TNI untuk membantu menegakkan hukum,” ucapnya, Kamis (22/8/2024).

Menurut Sarjana, dirinya sudah berusaha keras untuk mempertahnkan tanah miliknya. Sebab tanah itu adalah tanah warisan, yang dimana tanah itu di PTUN kemudian dibatalkan. Dan saat ini, ketika dibatalkan besar ancaman akan dapat menjadi hak milik orang lain.
“Saya sudah melapor ke polisi ke pengadilan pun jadinya malah dibatalkan. Dan ketika dibatalkan maka ancaman besar itu bisa menjadi milik orang lain. Padahal itu tanah warisan saya yang dijaga,” ungkapnya.

Sementara itu, Kuasa Hukum I Nengah Karna, Mila Thayeb, menyatakan bahwa terkait dengan putusan PTUN itu sendiri pihaknya melakukan banding.

Semua pemilik tanah sudah mengajukan banding, dengan alasan saksi bertentangan satu sama lain.

Dengan adanya upaya banding ini, maka belum berkekuatan hukum tetap karena proses hukum masih terus berjalan.

Upaya banding ini dikarenakan Majelis Hakim tidak melihat secara luas dimana ada beberapa saksi yang diajukan, namun hanya keterangan satu saksi dari penggugat yang itu diamini.

Sedangkan saksi dari pihaknya tidak menjadi bahan pertimbangan dalam putusan tersebut.
“Ini menjadi posisi sangat sulit bagi klien kami.
Alangkah malunya orang bisa semena-mena menduduki dengan alasan cerita dan bukti yang indikasinya itu bukti tidak benar,” tegasnya.

Mila menegaskan, apabila ada dua salinan yakni draft akta dan akta yang asli yang menjadi kerancuhan dalam kasus ini. Salinan draft oleh penggugat diajukan ke PTUN dan itu dimenangkan hingga berujung putusan pembatalan. Padahal tidak ada tandatangan oleh kliennya dan notaris.

Draft akta itu dikeluarkan oleh notaris yang sama diklaim oleh penggugat. Kemudian, draft salinan akta tidak disetempel dan di tandatangani. Draft itu merupakan PPJB nomor 10 tahun 2004 antara I Nengah Karna dan penggugat tidak ada tanda tangan. Dan draft ini yang dikabulkan oleh Majelis Hakim PTUN Denpasar.

“Yang kedua akta jual beli antara Jefry (saudara penggugat) dan I Nengah Karna yang ditandatangani ada tandatangan stempel dan tandatangan notaris, malah bukan ini yang disahkan Majelis Hakim.
Putusan PTUN ini merendahkan posisi para notaris kita. Notaris punya akta dengan kekuatan hukum, kalah dengan draft PPJB,” bebernya. (RED-MB)