lukat gni.6Klungkung (Metrobali.com)-

Warga Puri Satria Kawan, Desa Paksebali, Kecamatan Dawan kembali gelar tradisi lukat gni. Tradisi ini digelar di catus pata (perempatan) desa setempat pada Tilem Sasih Kasanga, Selasa (8/3) sebagai wujud pembersihan buana agung dan buana alit.

Lukat gni yang dilaksanakan setiap malam pengerupukan, menyambut pergantian tahun baru caka diikuti puluhan pemuda setempat. Lukat gni ini diartikan sebagai pembersihan atau melepaskan kotoran lahir/bathin dan menyeimbangkan alam semesta dengan menggunakan sarana api. Api yang digunakan ini berasal dari daun kelapa kering yang diikat, kemudian dibakar.

Tradisi lukat gni diawali dengan pembersihan diri disumber mata air yang disucikan dan melakukan persembahyangn bersama di Merajan (Pura) setempat. Diiringi tabuh Baleganjur dan obor sebanyak 33 buah, para peserta lukat gni selanjutnya menuju perempatan agung untuk memulai tradisi tersebut. Disini, puluhan pemuda yang ikut dalam tradisi lukat gni silih berganti memukul lawannya masing-masing menggunakan sarana api dari daun kelapa yang dibakar. Tak nampak dendam diantara para peserta.

Menurut penglingsir Puri Satria Kawan, A.A Gde Agung Rimawan, lukat gni merupakan tradisi yang ada di Puri Satria Kawan sejak dulu. Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun menyambut pergantian tahun baru caka. Tradisi ini sebagai bentuk penyucian buana agung dan buana alit. “Mudah-mudahan dengan lukat gni ini kita diberikan keselamatan, baik pada diri sendiri maupun lingkungan sekitar,” ujar Rimawan.

Dijelaskan, tradisi lukat gni ini menggunakan sarana api dari daun kelapa kering sebanyak 36 lembar yang diikat menjadi satu atau dijumlah sembilan (9) yang berada dalam sembilan penjuru mata angin atau Dewata Nawa Sanga. Selain itu, penggunaan obor sebanyak 33 buah bermakna memohon kekuatan 33 Dewa yang berkekuatan dilima tempat, yaitu Timur atau Putih sebanyak 5 buah, Selatan atau Merah sebanyak 9 buah, Barat atau Kuning sebanyak 7 buah, Utara atau Hitam sebanyak 4 buah dan Tengah atau serbar warna sebanyak 8 buah. “Semua ini bermakna mohon perlindungan atau keselamatan selama prosesi ritual berlangsung,” jelasnya.

Sementara itu, peserta lukat gni, A.A Gde Agung Aris Pratama menyatakan ikut lukat gni ini adalah untuk melestarikan seni dan budaya serta tradisi yang diwariskan para leluhur. “Melalui lukat gni ini kita redam amarah dalam diri,” ujar remaja yang rutin ikut tradisi ini setiap tahun.

Peserta lainnya, A.A Gde Bagus Alit Putra mengaku bangga bisa ikut melestarikan tradisi ini. Ia yang baru pertama kali ikut mengaku tidak merasakan panas saat dipukul lawannya menggunakan api dari daun kelapa ini. “Tidak ada rasa panas. Ini adalah untuk melestarikan tradisi dan budaya leluhur kami,” sebutnya. SUS-MB