Warga Pasuruan, Jawa Timur menolak pembangunan oleh TNI AL pada 2018 di lahan yang diklaim kedua belah pihak. (Foto: Forum Komunikasi Tani Sumberanyar (FKTS) Pasuruan)

Ketegangan terjadi antara TNI AL dan warga di Pasuruan, Jawa Timur, setelah militer berencana memperluas bangunan di lahan yang diperebutkan selama puluhan tahun. Komnas HAM meminta militer menahan diri sebelum jatuh korban.

 

Suasana tegang di Desa Sumberanyar, Kecamatan Nguling, Kabupaten Pasuruan terjadi setelah TNI AL memasang kawat berduri pada Selasa, 6 Agustus, di atas lahan sengketa yang diratakan dengan buldozer.

Ketua Forum Komunikasi Tani Sumberanyar (FKTS) Pasuruan, Lasminto, mengatakan aksi TNI itu ditolak warga dan berakhir ricuh. “Di lapangan, sudah sekira 10 hari lebih situasinya memanas,” jelasnya kepada VOA.

Warga protes karena, ujar Lasminto, area itu merupakan akses jalan yang vital. “Ada jalan yang dibuntu. Sehingga anak-anak sekolah, orang-orang merumput, dan sebagainya, itu nggak bisa. Harus memutar,” terangnya lagi.

Protes dari warga direspon dengan pengerahan 20 orang personil untuk berjaga di lokasi tersebut. TNI juga memasang garis polisi sehingga warga tidak bisa lewat.

Warga juga melaporkan adanya korban peluru nyasar dari latihan perang yang dilakukan di Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) Grati. Salah seorang warga, Solihah, dari Kecamatan Lekok, terluka di pelipis kirinya pada Juli lalu. Kasus ini berakhir lewat perundingan meski warga mengaku di bawah tekanan.

“Perundingannya dilakukan tengah malam, dari jam 9-2 malam, sehingga banyak korban nggak tahu harus berkata apa selain berkata iya,” jelasnya.

Komnas HAM Minta TNI Menahan Diri

Melihat situasi yang memanas, Komnas HAM meminta TNI menghindari “penggunaan kekuatan berlebih dan tindakan kekerasan” guna mencegah jatuhnya korban dari pihak warga. Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, meminta seluruh pihak menciptakan rasa aman.

Surat pengaduan warga Pasuruan ke Komnas HAM pada Agustus 2019. Komnas sudah meluncurkan laporan pada 2007. (Foto: VOA/Rio Tuasikal)
Surat pengaduan warga Pasuruan ke Komnas HAM pada Agustus 2019. Komnas sudah meluncurkan laporan pada 2007. (Foto: VOA/Rio Tuasikal)

“Mohon untuk ada langkah yang lebih konkret untuk menghentikan semua ini, menghentikan dulu segala penyalahgunaan kewenangan yang ada, untuk memberikan rasa damai kepada masyarakat. Yang lebih penting, menyelesaikan konflik agraria secara lebih komprehensif,” ujarnya dalam konferensi pers di kantornya, Selasa (13/8) sore.

Komnas HAM sudah menerbitkan Laporan Tim Pemantauan Kasus Penembakan di Alas Tlogo pada 2007. Dalam laporan itu disebutkan, rebutan lahan ini sudah terjadi sejak 1960-an, di mana warga mengatakan lahannya diklaim oleh TNI “di bawah todongan senjata”. TNI mengklaim wilayah seluas 3.569 hektar yang mencakup 11 desa di tiga kecamatan itu. Sengketa ini terus bergulir sampai terjadi penembakan dari TNI terhadap warga pada 2007 yang menewaskan empat petani dan melukai belasan lainnya.

Dalam catatan Komnas HAM, warga memiliki letter C sementara TNI AL memiliki hak guna pakai. Sandra meminta pemerintah setempat menelusuri kenapa kepemilikannya bisa tumpang tindih.

“Bagaimana kita menerbitkan sertifikat hak pakai di atas tanah-tanah yang masih ada letter C? Kan nggak bisa. Atau mungkin ada informasi lain? Nah ini yang seharusnya dibenahi,” pungkasnya.

Pada 2018, Komnas HAM ini kembali terjun ke lapangan. Dalam lokakarya penyelesaian kasus-kasus agraria di Jawa Timur, Komnas HAM menagih komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk menyelesaikan kasus ini.

“Yang paling tahu jalan keluarnya adalah pemerintah Jawa Timur. Komnas dalam hal itu memberikan masukan dan pendampingan bagaimana jalan keluar itu memenuhi standar hak asasi manusia,” tegas Komisioner Komnas HAM, Amiruddin, dalam kesempatan yang sama.

Lika Liku Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia

Setiap tahunnya, Komnas mencatat, terdapat 700-800 konflik agraria yang diadukan ke lembaga tersebut. Rata-rata kasusnya antara petani dan perkebunan. Dari jumlah itu antara 200-300 kasus bisa diselesaikan.

Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Sandrayati Moniaga berbicara kepada wartawan usai konferensi pers di kantornya, Selasa, 13 Agustus 2019 sore. (Foto:VOA/Rio Tuasikal)
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Sandrayati Moniaga berbicara kepada wartawan usai konferensi pers di kantornya, Selasa, 13 Agustus 2019 sore. (Foto:VOA/Rio Tuasikal)

Pada 2018, warga petani di Jambi bersengketa dengan PT Wira Karya Sakti (WKS). Sementara pada 2019, warga di Riau berkonflik dengan perusahaan sawit PT SBAL.

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden no.86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Di dalamnya, ada pasal penyelesaian konflik yang menekankan keterlibatan pemprov. Perpres ini masih terkendala oleh belum terbitnya petunjuk teknis.

Pemerintah juga telah meluncurkan kebijakan satu peta nasional untuk menghindari tumpang tindih status lahan. Kebijakan ini digulirkan Presiden SBY dan dilanjutkan pemerintahan Joko Widodo. Namun, Komnas HAM memandang langkah itu kurang komprehensif untuk menghapus konflik lahan.

“Apakah parsel parsel dari tanah girik, tanah adat, semuanya masuk? Jadi one map policy itu policy yang niatnya baik. Tetapi harus dipastikan bahwa unsur peta yang masuk itu betul-betul lengkap, komprehensif, dan apabila ada tumpang tindih harus dicari solusi yang adil,” tukas Sandra lagi. [rt/lt] (VOA)