Foto: Suasana tidak kondusif di Banjar Sental Kangin, Nusa Penida, Klungkung akibat ulah warga yang terkena sanksi kesepekang dan kanorayang yang memicu keributan.

Klungkung (Metrobali.com)-

Satu hari setelah hari raya Nyepi atau Ngembak Geni pada Minggu 30 Maret 2025 suasana di Banjar Sental Kangin, Nusa Penida, Klungkung terlihat mencekam tidak seperti biasanya. Hal itu akibat keributan yang memantik suara kentongan atau yang di Bali kerap di sebut “kulkul bulus” yang diakibatkan ulah salah satu dari sejumlah warga yang terkena sanksi kesepekang dan kanorayang di wilayah tersebut.

Sanksi kesepekang dan kanorayang yang diberikan kepada 7 KK warga Banjar Sental Kangin karena mereka dinilai tidak mematuhi paruman desa adat dimana tidak mematuhi kesepakatan pembagian lahan yang telah disepakati dalam paruman adat sebelumnya. Sebelum kasus ini mencuat, sekitar 20 tahun lalu, banyak warga Banjar Sental Kangin yang menjadi petani rumput laut dan mendirikan gubuk-gubuk di tepi pantai atas izin dari banjar adat.

Seiring perkembangan zaman, banyak warga yang beralih profesi ke pariwisata dan meninggalkan aktivitas bertani rumput laut. Melihat potensi wisata yang besar, Banjar Adat Sental Kangin berencana menata kawasan pantai yang merupakan tanah negara.

Pada November 2022 telah diadakan paruman adat dengan seluruh warga untuk membahas masalah penataan kawasan pantai. Dalam paruman tersebut, disepakati untuk melebur kawasan tersebut menjadi kawasan wisata yang bisa menghasilkan pendapatan bagi banjar adat maupun warga.

Sanksi adat berupa kesepekang dan kanorayang sendiri merupakan sanksi hukum adat Bali bagi warga yang melanggar hukum atau keputusan adat. Sanksi ini biasanya berupa dikeluarkan dari anggota adat dan dilarang menggunakan fasilitas adat serta warga lainnya dilarang berkomunikasi ataupun bersilaturahmi kerumah warga yang dikenai sanksi kesepekang dan kanorayang.

Keputusan untuk menjatuhkan sanksi kesepekang dan kanorayang terhadap mereka yang melanggar bukan hanya sebagai hukuman sosial, tetapi juga sebagai bentuk perlindungan terhadap nilai-nilai adat yang telah diwariskan turun-temurun.

Kelian Desa Adat Sental Kangin, Nyoman Supaya dalam keterangan kepada media menjelaskan keributan yang terjadi dipicu salah satu warga berinisial KP yang terkena sanksi kesepekang dan kanorayang melintas dengan sepeda motor di depan posko siskamling sambil menaikan kaki di setang dan mengegas sepeda motornya dengan keras di depan warga yang tengah berkumpul di posko.

Warga yang tidak terima akhirnya meneriakinya dan tidak berselang lama, KP kembali ke posko bersama anaknya KS,M yang seorang anggota TNI. KS tidak terima ayahnya diteriaki dan menantang warga sehingga terjadi dorong-dorongan yang hampir berujung bentrokan.

“Saya peringatkan dia sebagai aparat (TNI, red) jangan memprovokasi warga bisa marah. Saya suruh dia pulang, tapi dia tidak mau malah mencak-mencak. Kami sudah bersabar, tapi ulah mereka semakin menjadi-jadi. Warga hanya ingin hidup damai malah diprovokasi. Aparat keamanan akhirnya turun tangan untuk meredam situasi dan mengevakuasi pihak yang terlibat agar ketegangan tidak berkembang menjadi konflik fisik yang lebih besar,” jelas Nyoman Supaya kepada wartawan, Selasa (01/04/2025).

Lebih jauh Nyoman Supaya mengatakan tidak berselang lama kembali datang kelompoknya tiga orang mendatangi lokasi tempat warga berkumpul. Hal itu tentu saja memantik kemarahan warga dan membuat situasi semakin memanas sehingga warga setempat akhirnya membunyikan “kulkul bulus” atau kentongan alat tradisional Bali sebagai peringatan tanda ada bahaya sehingga warga setempat dengan raut wajah emosi mereka semakin banyak berkumpul.

“Mereka ini dianggap menentang, dipukul lah kentongan secara kencang atau kulkul bulus, dan warga turun semua. Untung ada saya di sana bisa meredam, kalau tidak ada saya bisa beda ceritanya. Saya suruh mereka pulang, karena warga sudah emosi. Bahkan warga ada yang mau mendatangi rumahnya, tapi saya cegah,” jelas Nyoman Supaya.

Keributan ini pun akhirnya diketahui petugas Kepolisian Sektor (Polsek) Nusa Penida dan Komando Rayon Militer (Koramil) setempat bersama jajarannya untuk datang mengamankan yang bersangkutan. Warga yang kesepekang dan kanorayang yang melontarkan kata-kata yang memprovokasi krama warga Banjar Sental Kangin dan memicu kericuhan akhirnya diamankan ke Mapolsek Nusa Penida.

“Saya sampaikan kepada Kapolsek agar orang-orang ini diamankan sebelum malam tiba, akhirnya petugas Polsek mengamankan mereka, sedangkan anggota tentara diamankan oleh petugas Koramil,” terangnya.

Keputusan untuk mengenakan sanksi kesepekang hingga kanorayang terhadap kelompok ini diambil, kata Nyoman Supaya setelah berbagai upaya penyelesaian secara adat menemui jalan buntu. Nyoman Supaya menjelaskan, keputusan mengenakan sanksi kasepekang hingga kanorayang terhadap 7 kepala keluarga (KK) warga Banjar Adat Sental Kangin, Desa Adat Ped, Nusa Penida ini terpaksa dilakukan lantaran yang bersangkutan tidak mematuhi bahkan menentang keputusan banjar. Menurutnya, sanksi kesepekang hingga kanorayang tersebut telah melalui proses paruman dan kepada yang bersangkutan telah diberi kesempatan memperbaiki diri.

Kami sudah memberikan kesempatan bagi mereka untuk kembali ke jalan adat, tetapi mereka justru semakin menantang keputusan banjar. Tidak ada pilihan lain bagi warga adat selain mengenakan sanksi sesuai awig-awig yang berlaku,” tuturnya.

Sanksi kesepekang dan kanorayang ini bermula dari perubahan ekonomi akibat menurunnya industri rumput laut di kawasan pesisir Banjar Sental Kangin membuka peluang baru dalam sektor pariwisata. Untuk memanfaatkan peluang ini, ada tokoh bernama Ketut Leo berinisiatif membantu membersihkan pantai dan menata kembali kawasan tersebut agar bisa dikembangkan oleh Banjar Adat Sental Kangin sehingga dilakukanlah penataan dan pembangunan senderan penahan abrasi pantai oleh Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali Penida.

“Kami ingin membagi lahan ini secara adil agar semua warga desa adat mendapatkan manfaat, tapi mereka justru menguasai bagian terbesar tanpa mau berbagi. Mereka terus menantang keputusan adat hingga akhirnya dikenai sanksi kanorayang, bentuk hukuman adat yang lebih berat bagi mereka yang dianggap telah mencederai kesepakatan sosial dalam masyarakat adat. Kami berharap ini menjadi pelajaran bagi semuanya, awig-awig bukan hanya sekadar aturan, tapi juga identitas dan kehormatan desa adat kami,” tegas Nyoman Supaya mengakhiri. (dan)