Wacana Pilkada Asimetris Harus Dikaji Mendalam
Seorang petugas TPS memberikan surat suara di TPS di Kuta, Bali, saat pelaksanaan pilkada, 9 Desember 2015. (Foto: AFP)
Perludem menilai gagasan Mendagri Tito Karnavian tentang penyelenggaraan pilkada asimetris, dinilai harus benar-benar dikaji secara mendalam, komprehensif dan partisipatif, agar tidak dipandang sebagai kebijakan yang diskriminatif.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sedang mengkaji opsi atas evaluasi pemilihan kepala daerah atau pilkada langsung. Opsi-opsi tersebut antara lain adalah tetap dilakukan pilkada langsung dengan meminimalisasi efek negatifnya dan pilkada kembali ke DPRD atau pilkada asimetris.
Pilkada asimetris yang dimaksud adalah sistemyang memungkinkan adanya perbedaan pelaksanaan mekanisme pilkada antar daerah. Perbedaan tersebut bisa muncul dikarenakan suatu daerah memiliki karakteristik tertentu, seperti kekhususan dalam aspek administrasi, budaya ataupun aspek strategis lainnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan gagasan Mendagri Tito Karnavian tersebut harus benar-benar dikaji secara mendalam, komprehensif dan juga partisipatif. Jangan sampai, tambah Titi, justru kebijakan menggunakan sistem asimetris itu akhirnya memperlakukan daerah-daerah secara tidak setara dan kemudian dipandang sebuah kebijakan yang diskriminatif terkait dengan proses demokrasi.
Pilkada Asimetris Sudah Diberlakukan di Sebagian Daerah
Sebenarnya pilkada asimetris selama ini sudah diberlakukan di Aceh, Yogyakarta, Jakarta dan Papua. Di Aceh misalnya, kata Titi, keberadaan partai politik lokal bisa mencalonkan kepala dan wakil kepala daerah di pilkada. Di DKI Jakarta hanya ada pemilihan gubernur sementara untuk kabupaten kota tidak ada pilkadanya.
Jika melihat keempat daerah tersebut, tambah Titi, pengaturan yang khusus itu merupakan bagian dari sebuah keistimewaan karena mempertimbangkan asal usul. Kekhususan suata daerah dan kesemuanya itu diatur dalam undang-undang tersendiri.
Menurutnya Perludem pada dasarnya setuju adanya evaluasi terhadap pilkada langsung tetapi pendekatan evaluasinya jangan bias. Salah satu dasar adanya evaluasi pilkada langsung diantaranya karena biaya politik yang tinggi dan maraknya politik uang.
“Kalau untuk menjawab kelemahan-kelemahan pilkada berarti kan identifikasi kelemahannya harus utuh dilakukan. Kalau problemnya ternyata ada di kualitas demokrasi parpol kita maka yang harus kita benahi sungguh-sunggu adalah bagaimana kita memastikan demokrasi di parpol kita , aturan main atau kerangka hukum yang betul2 menjamin proses kontestasi yang demokrasi sehingga tidak memberi celah terjadinya implimentasi kompetisi yang membuka celah pada pelanggaran,” jelas Titi.
Di Indonesia ada 542 pilkada, yang dilangsungkan di 34 provinsi, 99 kota dan selebihnya kebupaten. Dan tidak seluruhnya kecamatan, desanya maju.
Menurutnya ada daerah yang cukup baik melaksanakan pilkada langsung, tetapi ada banyak juga daerah yang tidak pas diterapkan pilkada langsung sehingga tidak menutup kemungkinan bisa diterapkan model asimetris untuk pilkada di daerah yang dinilai tidak pas itu.
“Artinya ada daerah yang bisa melaksanakan pilkada langsung, ada daerah yang untuk beberapa alasan dilaksanakanlah pilkada melalui DPRD. Tapi tentu melalui DPRD bukan tanpa persyaratan tambahan. Menurut saya daerah-daerah tertentu tidak bisa diseragamkanbegitu saja dengan pilkada langsung,” papar Siti Zuhro
Pilkada langsung, lanjutnya, lebih tepat untuk daerah yang masyarakat pendidikan dan ekonominya baik, atau minimal pelayanan dasarnya sudah baik.
Menurutnya, masalah utama di Indonesia adlaah bagaimana partai politik melakukan reformasi secara serius di lingkungan internal sehingga menjadikan partainya sebagai partai kader.
“Dampak negatif positif pilkada langsung adalah kalau dianggap positif, fine. Tapi bagaimana mengurangi dampak negatifnya, politik biaya tinggi, potensi konflik, dan korupsi. Bagaimana solusi untuk mengurangi dampak negatifnya supaya tidak terjadi korupsi, kalau nggak terjadi OTT lagi. Tinggal pilih saja kok kepala daerah yang mau di OTT,” ujar Tito. [fw/em] (VOA)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.