Wacana Moratorium di Bali Selatan, Demer Ungkap Kesuksesan Moratorium Hotel dan Restoran di Era Orde Baru, Pemerataan Pariwisata Bali Harga Mati!
Foto: Anggota Komisi VI DPR RI Dapil Bali Gde Sumarjaya Linggih yang akrab disapa Demer.
Denpasar (Metrobali.com)-
Di tengah tahun politik jelang Pilkada Serentak 2-24, wacana moratorium pembangunan akomodasi pariwisata di Bali Selatan kembali bergulir. Pemerintah Provinsi Bali mengusulkan moratorium atau penghentian pembangunan hotel dan villa di Bali Selatan sebagai upaya mencegah laju alih fungsi lahan pertanian yang terus berlangsung dan menggerus lahan di Pulau Dewata.
PJ Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya menjelaskan sudah mengirim surat usulan moratorium ke pemerintah pusat. Dalam usulannya, Pemprov Bali meminta moratorium dilakukan di empat Kabupaten Kota yakni Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan atau lazim disebut kawasan Sarbagita. Sebanyak empat kabupaten/kota tersebut memang menjadi pusat pembangunan villa yang sudah masuk ke lahan – lahan produktif. Padahal sebagian daerah tersebut seperti Gianyar dan Tabanan merupakan kawasan pertanian.
Gde Sumarjaya Linggih, anggota DPR RI dari Fraksi Golkar Dapil Bali yang akrab disapa Demer, merespon soal wacana moratorium pembangunan akomodasi pariwisata di kawasan Sarbagita. Pada intinya Demer menegaskan pentingnya pemerataan kue pariwisata di Bali dan percepatan pembangunan infrastruktur pariwisata. Pemerataan dan pembangunan infrastruktur pariwisata Bali sangat penting dan ibarat menjadi harga mati untuk pariwisata Bali yang berkelanjutan.
Anggota Komisi VI DPR RI itu juga mengingatkan bahwa pada era Orde Baru, pernah diberlakukan moratorium pembangunan hotel dan restoran di Bali Selatan untuk mendorong pertumbuhan pariwisata di daerah lain. Namun, setelah otonomi daerah diterapkan, kebijakan ini tidak dilanjutkan, yang menyebabkan ketidakseimbangan pembangunan di Bali. Hasilnya, Bali Selatan kini menghadapi berbagai masalah seperti kemacetan, sampah, banjir, dan isu air bawah tanah.
“Pada tahun 1996, era Orde Baru telah menerapkan kebijakan moratorium terhadap pembangunan hotel dan restoran di daerah selatan Bali, termasuk Gianyar, Denpasar, dan Badung,” kata Demer yang kembali terpilih di DPR RI untuk periode kelima ini.
Menurut Demer kebijakan moratorium ini bertujuan untuk mendorong perkembangan pariwisata di daerah lain seperti di Bali Timur dan Bali Utara. Demer menekankan bahwa meskipun ada kritik terhadap Orde Baru, kebijakan tersebut justru berhasil mendorong pertumbuhan di berbagai wilayah lain di Bali.
“Kemudian berkembanglah yang namanya Candidasa, berkembanglah yang namanya Amed, berkembanglah yang namanya Lovina, berkembanglah yang namanya di barat itu Pantai Madewi, berkembanglah yang namanya di Prapat Agung, di daerah Banyuwedang situ, berkembanglah kemudian yang namanya Lovina,” katanya.
Demer mengungkapkan, setelah diberlakukannya otonomi daerah di tingkat kabupaten/kota, kebijakan moratorium pembangunan yang diterapkan pada era Orde Baru tidak dapat diteruskan. Akibatnya, pembangunan di daerah Bali Selatan terus berkembang, menyebabkan kemacetan, masalah sosial, sampah, banjir, dan isu terkait air bawah tanah. Ia mencatat bahwa permasalahan ini sebenarnya sudah dibahas sejak 25 tahun lalu.
“Ya, akhirnya berkembanglah seperti sekarang ini terjadi. Di selatan yang terus pembangunannya. Sehingga akhirnya menyebabkan kemacetan, terus ada persoalan-persoalan lagi, yaitu persoalan-persoalan sosial, ada sampah, ada banjir, ada air bawah tanah, dan sebagainya. Ini mewacana sudah 25 tahun yang lalu sebenarnya ini,” katanya.
Wakil rakyat yang sudah empat periode mengabdi di DPR RI memperjuangkan kepentingan rakyat Bali ini menyoroti bahwa infrastruktur di Bali, seperti bandara dan jalan raya, sering dianggap sudah mencapai kapasitas maksimal. Namun, persepsi ini, menurutnya, hanya berlaku untuk wilayah selatan Bali yang menjadi pusat pariwisata.
Dia menekankan bahwa masih banyak daerah lain di Bali yang justru belum tersentuh oleh gelombang wisatawan, seperti Bali Timur dan Bali Utara, yang tingkat hunian hotelnya masih di bawah 50 persen.
“Kita lihat infrastruktur kita yang sering dibicarakan bahwa carrying capacity kita katanya sudah jenuh. Ya karena apa? Karena memang terpusatnya di selatan. Bukan berarti ini merupakan menjadi digenderalisasi bahwa seluruh Bali adalah jenuh,” kata wakil rakyat yang sangat konsern soal pariwisata Bali ini.
Demer kemudian mencontohkan di wilayah Bali Timur seperti Candidasa, Tulamben, dan Amed, serta di Bali Utara, seperti Tejakula dan Banjar, khususnya di Lovina, tingkat hunian masih sangat rendah, di bawah 50 persen. Hal yang sama juga terjadi di wilayah Bali Barat. Oleh karena itu, Demer menekankan, jika pembatasan wisatawan diterapkan secara ketat, daerah-daerah yang tertinggal seperti Karangasem dan Buleleng justru akan semakin tertinggal.
“Jadi kalau bilang bahwa ini di filter lagi, bagaimana nanti yang di daerah-daerah tertinggal, seperti halnya di daerah Karangasem, di daerah Buleleng, justru akan semakin tertinggal,” tegas wakil rakyat berlatar belakang pengusaha sukses dan mantan Ketua Umum Kadin Bali ini.
Demer menekankan bahwa di Bali Utara, masih ada daerah yang kondisinya sepi yang hanya dilalui sepeda motor dalam waktu setengah hari. Ia menyebutkan bahwa pertumbuhan di Bali Utara dan Bali Timur sangat rendah dan perlu menjadi perhatian pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah didorong untuk lebih fokus meningkatkan pertumbuhan di daerah-daerah yang kurang berkembang tersebut. Di sisi lain, daerah selatan yang mengalami pertumbuhan pesat perlu dibatasi dan perlu ada upaya untuk meratakan distribusi pariwisata.
“Perlu kita tingkatkan sebagai kewajiban daripada pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan di daerah-daerah yang kurang pertumbuhannya. Sementara kalau yang terlalu cepat pertumbuhannya, seperti daerah selatan ini memang harus dibatesin, harus dibuat penyebarannya,” harap politisi Golkar asal Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng itu.
Demer mengharapkan pemerintah lebih cermat dalam menyusun regulasi pariwisata dengan memperhatikan pemerataan dan peningkatan infrastruktur di seluruh Bali. Dengan demikian, diharapkan pertumbuhan pariwisata Bali dapat lebih merata dan berkelanjutan, serta mengurangi masalah-masalah sosial yang muncul akibat ketimpangan pembangunan. (wid)