Wacana Menjadikan Bali “New Singapore” atau “New Hong Kong”, Angka Mereduksi Makna dan Budaya
Ilustrasi
Denpasar, (Metrobali.com)-
Wacana dalam nuansa kampanye politik pantas diberikan catatan. Menggunakan Singapura dan Hong Kong sebagai tolok ukur kesejahteraan warga di masa depan, tidak lagi tepat: standar kehidupan di Singapura pasca pandemi mulai stagnan, akibat digitalisasi ekonomi dan perkembangan kecerdasan buatan (IQ), Singapura di masa depan tidak akan lagi menjadi HUB, pusat keuangan, perdagangan dan jasa pelabuhan global.
Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, Intelektual Hindu, penulis buku Agama Hindu dan Kebudayaan Bali, Rabu 6 Nopember 2024.
“Bagi Hong Kong, sebut saja dalam 2 dasa warsa terakhir, biaya hidup naik tinggi, harga properti mahal,banyak warga Hong Kong tinggal dalam flat sempit mirip sarang burung, dan nyaris mustahil bagi kelas menengah dan bawah warganya untuk membeli flat yang layak huni, katanya.
Dikatakan, strategi pembangunan di masa lalu di negeri ini, yang fokus pada pertumbuhan ekonomi, abai pada: pemerataan, keselamatan lingkungan, menjebak “keberhasilan” pembangunan dalam angka statistik.
Menurutnya, angka indikator ekonomi: pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, pertumbuhan ekspor-impor, jumlah wisatawan yang datang dan jumlah devisa yang dihasilkan, menjadi tolok ukur “keberhasilan” ekonomi.
“Ternyata pertumbuhan ekonomi, tidak menghasilkan dampak menetes ke bawah, tricle down effect-, ekonomi bertumbuh, ketidak-adilan meningkat, jumlah orang miskin bergeming. Secara falsafi, angka (statistik) merubah makna dan budaya.”
Dikatakan, angka pertumbuhan ekonomi merubah makna, sebatas ekonomi kebendaan, keinginan tanpa batas dan bahkan keserakahan. Pariwisata sekadar industri, yang tunduk takluk pada kapitalisme pariwisata dengan motif maksimalisasi laba, nyaris tidak peduli pada keselamatan lingkungan dan nilai-nilai budaya lokal.
Menurutnya, Fenomena “Angka merubah Makna dan Budaya” dalam wacana Menjadikan Bali sebagai Singapura dan Hong Kong “kedua”, sangat berbahaya, yang akan menjauhkan masyarakat Bali dari cita-cita idealnya. Membangun sebuah kehidupan masyarakat seimbang, rtem (seimbang) dengan alam, sekala-niskala, dengan tujuan hidup Catur Purusha Artha: Dharma, Artha, Kama dan Moksha.
Menghindari jebakan kehidupan memuja harta, sebagaimana diingatkan dalam geguritan berbahasa Bali, Parama Tatwa Suksma kapipil antuk Ida Pedanda Made Kemenuh dari Griya Sukasada, Singaraja.
“Salah tarka salah parna, tapi kasugianne luwih, Boya Arta raja burana, Wantah pikayinne luhur,Sadya waras werdhi guna, Dharma suci, Luwih Wibawa Bajra Adnyana”.
“Maknanya, bukan kekayaan tujuan utama kehidupan, tetapi keluhuran budi pekerti, yang mengantarkan insan manusia ke kesucian diri, menuju kebebasan (mahardika),” kata Gde Sudibya, Intelektual Hindu, penulis buku Agama Hindu dan Kebudayaan Bali. (Sutiawan).