Sharif C. Sutardjo

Jakarta (Metrobali.com)-

Pemerintah berhasil menancapkan tonggak sejarah dalam pengelolaan laut di Indonesia yang dibuktikan dengan pengesahan Rancangan Undang-undang Kelautan menjadi undang-Undang pada Sidang Paripurna DPR RI, Senin (29/9).

Untuk pertamakali, Indonesia memiliki UU Kelautan setelah 69 tahun merdeka. Selain itu, UU Kelautan ini merupakan produk hukum pertama yang dihasilkan DPR RI bersama Pemerintah dan DPD RI.

Hal itu dinilai sebagai langkah maju bangsa Indonesia sekaligus menandai dimulainya kebangkitan Indonesia sebagai bangsa bahari yang kini tengah bercita-cita menjadi Negara Maritim.

“UU Kelautan ini juga diharapkan dapat menegaskan identitas Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri Nusantara dan maritim,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo usai menghadiri Sidang Paripurna DPR RI di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta.

Menurut Sharif, RUU Kelautan yang baru saja disetujui paripurna DPR ini telah melampaui rentang waktu yang panjang dan mengalami pasang surut, laksana gelombang di lautan.

Dimulai sejak hari-hari pertama reformasi di bawah Presiden Abdurrahman Wahid, inisiatif pembentukan UU Kelautan sudah mulai digulirkan. Dewan Maritim Indonesia dibentuk pada 1999 dan langsung memulai kajian akademis RUU Kelautan. Setelah berganti nama menjadi Dewan Kelautan Indonesia pada 2007, kajian tersebut terus dilanjutkan.

Kemudian pada 13 Maret 2013, DPD menyampaikan usul inisiatif RUU Kelautan ke Badan Legislasi DPR. Inisiatif ini sempat terhenti terkait dengan kewenangan legislasi DPD. Namun setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 92/PUU/X/2012 yang menetapkan bahwa DPD dapat mengajukan RUU, maka DPD kembali melanjutkan pembahasan RUU Kelautan.

Sharif menjelaskan UU Kelautan menjadi payung hukum untuk mengatur pemanfaatan laut secara komprehensif dan terintegrasi. Kehadirannya semakin mempertegas keterpaduan kebijakan dan peraturan yang ada, sehingga pembangunan berkelanjutan dapat dilaksanakan secara nyata.

Semisalnya, tidak ada peraturan yang bisa dijadikan landasan untuk membuat Tata Ruang Laut Nasional, yang ada hanya baru tata ruang laut (rencana zonasi) hingga 12 mil. Sebagaimana diamanatkan UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 1/2014.

“Maka dari itu, kehadiran undang-undang Kelautan sangat diperlukan agar kebijakan nasional pengelolaan laut terintegrasi, dan saya tegaskan bahwa undang-undang ini tidak tumpang tindih dengan peraturan yang sudah ada,” kata Sharif.

Sharif menambahkan, salah satu substansi penting yang disepakati menjadi muatan UU ini adalah penegasan Indonesia sebagai Negara Kepulauan. Dimana menurut Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, selain memiliki laut teritorial, wilayah yurisdiksi, dan kawasan dasar laut, juga mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan potensi maritim di laut lepas.

“Penegasan ini mengisyaratkan bahwa Indonesia selain akan mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya lautnya sendiri, juga akan mulai berkiprah di laut lepas,” kata Sharif.

UU Kelautan penting bagi bangsa Indonesia karena dua alasan. Pertama, Indonesia merupakan penggagas konsepsi Negera Kepulauan berciri nusantara. Deklarasi Djuanda 1957 adalah tonggak sejarah pertama perjuangan diplomasi menuju pengakuan dunia. Berkat kegigihan dan kecemerlangan para diplomat Indonesia ketika itu, akhirnya dunia mengakui konsepsi tersebut melalui Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut pada 1982.

Kemudian kedua, Indonesia sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia sudah barang tentu mengandung potensi ekonomi, keanekaragaman hayati, dan budaya bahari. Oleh sebab itu keberadaan UU Kelautan ini menjadi sangat urgen bagi bangsa Indonesia.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, potensi ekonomi kelautan Indonesia diperkirakan mencapai 1,2 triliun dolar AS per tahun. Potensi ekonomi tersebut dibagi menjadi empat kelompok sumber daya kelautan.

Pertama, sumber daya alam terbarukan (renewable resources) antara lain perikanan, terumbu karang, mangrove, rumput laut (seaweed) dan padang lamun (seagrass). Kedua, sumber daya alam tak terbarukan (nonrenewable resources) meliputi minyak, gas bumi, bahan tambang, dan mineral lainnya.

Kemudian, energi kelautan berupa energi gelombang (wave power), energi pasang surut (tidal power), energi arus laut (current power), dan energi panas laut (ocean thermal energy conversion/OTEC).

Keempat, laut sebagai environmental service di antaranya berupa media transportasi, komunikasi, pariwisata, pendidikan, penelitian, pertahanan dan keamanan, pengatur iklim dan sistem penunjang kehidupan lainnya.

Keberadaan RUU ini awalnya telah diusahakan segera disahkan dengan koordinasi 14 kementerian dan lembaga lain sejak tahun lalu.

Selain itu, secara historis RUU Kelautan sudah dibahas sejak lama, baik di pemerintah, DPR, serta DPD maupun DPR dan pemerintah serta DPD dan pemerintah.

Paling progresif UU Kelautan merupakan UU paling progesif dibanding dua RUU lainnya tentang Perkebunan serta Konservasi Tanah dan Air yang masih dibahas di Komisi IV DPR.

Saat ini setidaknya ada 23 UU sektoral yang terkait dengan kelautan namun belum ada UU yang mengintegrasikan semuanya.

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyatakan Rancangan Undang-Undang Kelautan yang rencananya segera disahkan DPR RI dinilai hanya menyelesaikan persoalan sektor kelautan secara parsial dan tidak menyeluruh.

“UU Kelautan menyelesaikan sebagian dari persoalan di laut, di antaranya kelembagaan pengawasan laut yang akan menjadi Bakamla (Badan Keamanan Laut), dan pembesaran alokasi anggaran daerah kepulauan,” kata Ketua Dewan Pembina KNTI M Riza Damanik.

Namun, menurut Riza, UU tersebut masih belum menjawab kepentingan strategis lainnya seperti mewujudkan kedaulatan ekonomi di laut agar bangsa Indonesia sungguh-sungguh menjadi tuan rumah di lautnya sendiri.

Ia menyoroti antara lain tidak memasukkan asas kehati-hatian diri dalam UU Kelautan, padahal asas itu dinilai penting dalam upaya perlindungan lingkungan laut RI yang rentan dicemari.

Riza juga menyatakan tidak tepat memasukkan prinsip Ekonomi Biru dalam UU Kelautan karena prinsip tersebut tidak dikenal dalam konsepsi ekonomi nasional Indonesia yang menganut faham demokrasi ekonomi sesuai UUD 1945.

Menurut dia, dalam UU Kelautan itu juga terdapat ambiguitas kegiatan reklamasi dan terdapat peluang dilibatkannya swasta asing dalam pemanfaatan laut Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) menjadi terbuka lebar, khususnya untuk pertambangan dan industri perikanan.

“Saya kira perlu ada perhatian terkait PP (Peraturan Pemerintah) karena bila ceroboh arus liberalisasi di laut akan meluas, semakin sempit kesempatan rakyat memanfaatkan potensi laut RI, dan rapuhnya kedaulatan kita,” katanya.

Ketua Dewan Pembina KNTI Juga menyayangkan tidak dimasukkannya cuaca ekstrem (akibat badai tropis) dan pengasaman air laut sebagai bencana pemanasan global.

Padahal, lanjutnya, kedua hal itu penting disebutkan karena memberi dampak nyata bagi nelayan dan lautan di kawasan perairan Indonesia.

“Terakhir, teroboson UU Kelautan mendorong politik anggaran pro-provinsi/kabupaten/kota kepulauan patut diacungi jempol. Hanya saja, disahkannya Pilkada Tidak Langsung mengindikasikan semakin rentannya partisipasi publik dalam penyusunan anggaran dan pembangunan di daerah,” jelasnya. AN-MB