Foto: I Nyoman Bagiastra usai Sidang Terbuka Promosi Doktor Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana, Kamis (30/1)

Denpasar, (Metrobali.com)-

Desa Adat di Bali sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, didorong untuk diberikan hak pengelolaan kesehatan. Perlu adanya payung hukum bagi desa adat dalam pengelolaan kesehatan itu. Karena itu perlu dilakukan revisi terhadap Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 55 Tahun 2019 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional di Bali.

Rekomendasi itu disampaikan oleh I Nyoman Bagiastra dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana, Kamis (30/1), dengan judul Disertasi: Pengaturan Pengelolaan Kesehatan Oleh Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Hukum Kesehatan di Indonesia (Suatu Kajian Pada Desa Adat di Bali). Bagiastra berhasil mempertahankan disertasinya di hadapan Tim Penguji: Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.Hum, Prof. Dr. I Wayan Windia, SH., M.Si, Dr. I Ketut Wirawan, SH.,M.Hum, Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH, Prof. Dr. Dominikus Rato, SH.,M.Si, dan Prof. Dr. IGAA Ariani, SH., MH.

Dalam Disertasinya, Bagiastra mengharapkan Desa Adat di Bali diberikan hak pengelolaan kesehatan. “Diberikan hak pengelolaan kesehatan oleh kesatuan masyarakat hukum adat khususnya desa adat di Bali. Karena kesatuan masyarakat hukum adat contohnya desa adat di Bali melihat kesehatan itu cara pandangnya berbeda. Ada pendekatan-pendekatan yang bersifat intuisi yang dilakukan dan dipercayai memberikan kesehatan,” jelasnya.

Pria kelahiran Buleleng, 2 Oktober 1978 itu mengatakan, saat ini yang paling banyak terjadi adalah cara pandang terhadap kesehatan yang pendekatannya lebih ke arah yang modern, mengutamakan rasional dan dapat dibuktikan secara empiris. “Dan itu tertuang dalam peraturan-peraturan, tapi tidak ada pengakuan yang dipercayai dan diyakini oleh kesatuan masyarakat hukum adat yang sifatnya irasional dan itu memberikan manfaat kesehatan. Contohnya di Bali, terkait virus Corona, kami di Bali, adat di Bali, ada proses promotif, preventif untuk pencegahan menggunakan suatu hal yang sifatnya irasional seperti Banten,mecaru dan lainnya, tapi itu diyakini dan dipercayai kesatuan masyarakat hukum adat. Desa adat di Bali meyakini itu memang memberikan manfaat kesehatan dalam masyarakat. Hal-hal seperti inilah yang seharusnya dilindungi, diberikan hak pengakuan, diberikan suatu perlindungan. Pemerintah selama ini belum melihat aspek itunya,” tegas Bagiastra.

Karena itu dalam Disertasinya, pria yang menyelesaikan pendidikan S2 Hukum Ekonomi di Universitas Brawijaya Malang ini merekomendasikan ada pengaturan hak pengelolaan kesehatan oleh Desa Adat di Bali, dengan melakukan revisi terhadap Pergub Nomor 55 Tahun 2019 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional di Bali. Ia menjelaskan, dalam konsideran huruf (a) Pergub itu dijelaskan bahwa pelayanan tradisional kesehatan Bali menggunakan tradisi adat Bali. Namun dalam batang tubuh Pergub itu yang diuraikannya dalam Disertasi itu, ternyata Desa Adat di Bali sebagai pemilik tradisi adat Bali tidak dilibatkan dalam pengelolaan kesehatan tersebut. “Terutama itu. Maka perlu adanya revisi Pergub itu antara apa yang dimaksudkan di konsideran dengan batang tubuhnya. Itu pertama,” jelasnya.

Selanjutnya, kata dia, dalam revisi Pergub itu perlu diatur pengalokasian anggaran untuk Desa Adat sebagai pengelola kesehatan. “Kedua terkait Budjeting. Idonesia adalah negara hukum, segala sesuatunya harus berlandaskan hukum. Segala sesuatu hal harus ada acuan hukumnya. Karena itu penting dibuatkan penguatan pengaturan, penormaan dalam hal ini terkait pembiayaan. Pembiayaannya bagaimana? Ya salah satunya pengalokasian dana untuk desa adat,” jelas Bagiastra.***