Upaya Konkret Indonesia Pada Peringatan ke-60 KAA
Mungkin tangisan bocah Arab dan wanita renta yang kedinginan masih dapat disaksikan pada malam hari di Palestina.
Warga Palestina tergusur dari rumahnya setelah kumpulan tentara Yahudi mencaplok tanah mereka untuk membangun perumahan di atasnya.
Kendati telah berjuang di tingkat internasional untuk menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak 2010, Palestina masih belum mendapatkan haknya sebagai negara berdaulat.
Permasalahan muncul sejak 1947 atau setelah Sidang Umum PBB mengeluarkan Resolusi 181 yang membagi dua wilayah Palestina: satu untuk bangsa Arab dan satu untuk bangsa Yahudi. Sejak itulah bangsa Yahudi terus mencaplok wilayah Palestina untuk memperbesar wilayah jajahannya.
“Kini, telah tiba bagi dunia untuk menyatakan dengan tegas: cukup sudah penyerangan, pendudukan, dan penjajahan (bagi Palestina, red.),” demikian Mahmoud Abbas saat Sidang Umum PBB 2012 yang dikutip dari laman organisasi itu.
Selain itu, masih jelas terdengar muntahan peluru dan ledakan bom baik dari pesawat-pesawat Arab Saudi maupun pasukan Al Houthi yang sedang berkonflik. Mereka saling merebut kekuasaan di kota Aden di negara Yaman yang juga berada di Timur Tengah.
Dalam sengketa berdarah tersebut, Presiden Yaman Abd-Rabbu Mansour Hadi meminta bantuan kepada Arab Saudi untuk menahan serangan yang dilancarkan oleh Al Houthi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mendesak penyelesaian secara damai atas konflik tersebut dan meminta kedua pihak untuk menahan diri.
Memang tidak hanya Yaman yang melakukan reformasi pemerintahan pada tahun 2011 setelah turunnya Presiden Ali Abdullah Saleh akibat protes massal. Sejumlah negara lain Timur Tengah juga melakukan reformasi yang bahkan hingga kini masih terasa “gejolak panasnya”, seperti di Mesir, Sudan, dan Irak yang hendak dikuasai oleh gerakan radikal Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Bukan berarti tidak ada perbincangan internasional untuk menyelesaikan konflik-konflik tersebut, seperti halnya dalam wadah internasional PBB.
Indonesia, dalam hal ini yang memiliki konsep politik luar negeri secara bebas aktif, juga turut melakukan diskusi dan turut serta dalam forum tingkat internasional. Misalnya, Peringatan Ke-50 Konferensi Asia-Afrika pada tahun 2005 serta Bali Democracy Forum yang menekankan pentingnya berdemokrasi dengan cara-cara yang damai.
Untuk kali ini, Indonesia akan menggelar Peringatan Ke-60 KAA pada tahun 2015 dengan menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dan keadilan global.
Mungkin, sejumlah negara yang sedang berkonflik lupa terhadap sepuluh sila yang telah ditelurkan di Bandung pada tahun 1955, seperti penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia, kedaulatan dan pengakuan teritorial bangsa, pengakuan suku bangsa dan persamaan semua bangsa, tidak melakukan intervensi atas persoalan dalam negeri negara lain, serta menghormati hak-hak bangsa untuk mempertahankan diri secara sendiri ataupun kolektif.
Sila-sila yang disebut sebagai Dasasila Bandung juga mencakup tidak menggunakan peraturan kolektif yang menyangkut bagi kepentingan khusus negara besar, tidak melakukan agresi dan penggunaan kekerasan, penyelesaian perselisihan internasional dengan cara yang damai, memajukan kepentingan bersama dan kerja sama serta penghormatan terhadap hukum dan kewajiban internasional.
Presiden RI Joko Widodo menegaskan bahwa Peringatan Ke-60 KAA pada tahun 2015 harus memberikan hasil yang konkret guna membawa keadilan dan keseimbangan bagi tatanan politik global.
“Kita akan menyuarakan tatanan baru global, keseimbangan global, banyak persoalan di Asia Afrika, seperti di Timur tengah yang butuh perhatian khusus dari kita semua,” kata Presiden di Polonia, Sumatra Utara, Sabtu (18/4).
Sementara itu, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengatakan bahwa pesan politik luar negeri yang akan disampaikan oleh Indonesia dalam Peringatan Ke-60 KAA 2015 adalah selain mengenang hebatnya jasa para pemimpin Republik Indonesia dalam menginspirasi masyarakat global untuk merdeka, juga untuk mengevaluasi atas permasalahan yang terjadi di kawasan baru-baru ini.
“Sekarang Indonesia ingin mengevaluasi apa yang terjadi. Kolonialisme sekarang sudah hampir tidak ada lagi. Akan tetapi, (kolonialisme) terjadi antara kita sendiri di negara-negara itu, baik politiknya maupun penguasaan ekonominya belum merata,” kata Kalla di Jakarta, Jumat (17/4).
Wapres mengingatkan semangat KAA yang juga terkenal dengan sebutan “Bandung Conference” tersebut perlu diingatkan kembali kepada negara-negara Asia-Afrika yang salah satunya adalah solidaritas antarsesama.
Sejumlah masalah yang berkembang di Timur Tengah, kata Wapres, juga akan dibahas khusus dalam peringatan tersebut.
“Gejolak Timur Tengah akan dibicarakan oleh negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam yang datang,” kata Kalla.
Tidak main-main, Wapres Kalla juga menuntut pembahasan kemerdekaan dan kedaulatan Palestina dari penjajahan bangsa Yahudi.
“Itu kan sudah masalah yang selalu klasik itu. Tidak dibahas lagi (masalah Palestina), tinggal dituntut kapan (Palestina) merdekanya. Apalagi, yang hendak dibahas coba,” ujar JK.
Deputi Sekretaris Bidang Politik untuk Wakil Presiden RI Dewi Fortuna Anwar menambahkan bahwa Peringatan Ke-60 KAA utamanya untuk menghargai perbedaan negara-negara Asia-Afrika untuk bisa hidup secara damai.
Dalam sepuluh tahun terakhir, Dewi menilai tantangan regional dan global yang terjadi amat luar biasa setelah banyak konflik yang terjadi di negara-negara Asia Afrika.
“Kalau dahulu perjuangan melawan penjajahan barat, sekarang ini justru konkret terjadi di dalam negeri sendiri. Terjadi dari ancaman radikalisme dan terorisme, ancaman transnasional dan malahan banyak negara tetangga yang intervensi seperti yang terjadi di Yaman,” kata Dewi.
Pemerintah Indonesia menyatakan masalah Palestina merupakan pekerjaan rumah yang besar untuk diselesaikan bagi negara-negara peserta KAA.
Dewi menilai negara-negara Arab sendiri belum bisa bersatu untuk menyelesaikan masalah itu. “Palestina sendiri pecah di dalam. Jadi, seandainya negara-negara yang seharusnya bersatu, tetapi terpecah-pecah, tentu pihak yang tidak menginginkan muslim bersatu itu yang menang. Itulah salah satu kelemahan di kalangan dunia muslim,” ujar Dewi.
Deputi Wapres RI memandang perlu negara-negara yang mendukung kemerdekaan Palestina untuk bersatu dengan solid menekan Amerika Serikat yang selama ini membela Israel melakukan penjajahan di Palestina.
“Kalau kita lihat, PBB sangat bergantung pada Dewan Keamanan karena yang memiliki kewenangan otoritas membuat kebijakan eksekutif itu kan Dewan Keamanan. Dalam hal ini Amerika Serikat selalu melakukan veto terkait masalah Israel,” ujar Dewi.
Selain itu, Dewi menyebutkan sejumlah hal yang perlu dibahas dalam pertemuan saat Peringatan Ke-60 KAA pada tahun 2015 adalah kesenjangan ekonomi dan politik, seperti dominasi negara-negara utara dalam bidang ekonomi serta dominasi sejumlah negara barat dalam bidang politik keamanan.
Forum Pusat Asia-Afrika Mengingat masih banyaknya masalah yang terjadi di Asia-Afrika, pemerintah Indonesia menyadari diperlukannya suatu wadah yang berfungsi untuk membahas kerja sama dan mewadahi kepentingan negara-negara di kawasan serta untuk menindaklanjuti penanganan masalah yang terjadi sehingga secara konkret Indonesia akan mengusulkan pembentukan Asia-Afrika Center pada Peringatan Ke-60 KAA.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjelaskan bahwa wadah tersebut nantinya menjadi pusat aktivitas kerja sama, diskusi, dan pertukaran informasi, serta memperkuat hubungan negara-negara Asia-Afrika.
Menlu mengingatkan selama 60 tahun setelah terlaksananya “Bandung Conference”, belum pernah ada forum pertemuan bersama untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi di negara-negara Asia Afrika yang digelar secara rutin.
“Kita perlu negara lain untuk mendukung ini (pembentukan Asia-Africa Center-red) agar hubungan Asia Afrika makin dekat,” kata Retno.
Sementara itu, Deputi Seswapres Dewi Anwar memandang perlu suatu lembaga pusat yang bisa mengelola hubungan antarnegara di Asia Afrika secara lebih sistematis.
“Jadi, jangan hanya ketika Indonesia mengadakan peringatan KAA 10 tahun sekali baru ada peringatan. Itu kan tidak produktif, saya kira kalau kita ingin membangun ‘partnership’ yang serius, ya, harus ada mekanisme untuk menjalankannya secara baik,” ujar Dewi.
Dengan terbentuknya lembaga tersebut, dia berharap bisa menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah yang tertinggal, termasuk konflik penjajahan Palestina.
Konferensi Asia Afrika yang dilaksanakan pada tahun 1955 merupakan tonggak penting dalam sejarah sejumlah bangsa Asia dan Afrika guna membahas perdamaian, keamanan, dan pembangunan ekonomi di tengah-tengah masalah yang muncul Memang semangat KAA perlu diteruskan mengingat hasil yang dihasilkan, Dasasila Bandung, memiliki tujuan mencapai kepentingan bersama dalam hal kedaulatan dan kemerdekaan berdasar pada Piagam PBB.
Usulan Indonesia untuk membentuk forum rutin membahas masalah di Asia Afrika makin mengukuhkan secara konkret kebaikan konsep politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Bebas dalam artian Indonesia tidak berpihak kepada negara mana pun, lalu aktif bahwa Indonesia selalu berperan dalam kegiatan politik, perdamaian, dan ekonomi untuk mencapai kemanusiaan yang adil dan beradab melalui upaya permusyawaratan bagi terwujudnya keadilan sosial secara global dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
Acara Peringatan Ke-60 Konferensi Asia Afrika digelar pada tanggal 19–24 April 2015 di Jakarta dan Bandung, Jawa Barat yang akan dihadiri oleh 34 kepala negara dari 77 negara, di antaranya Brunei Darussalam, Tiongkok, Iran, Yordania, Madagaskar, Malawi, Bangladesh, Kamboja, Mesir, Gabon, Malaysia, Myanmar, Namibia, Nepal, Pakistan, Palestina, Singapura, Afrika Selatan, Sudan, Thailand, Timor Leste, Vietnam, dan Zimbabwe. AN-MB
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.