Saniscara Wage Prangbakat 5 Mei 2012, yang bertepatan dengan rahinan Purnama Jiyesta, umat Hindu di Berlin (Jerman) melaksanakan upacara suci ngenteg linggih dan pemlaspasan Pura Tri Hita Karana, Berlin.
Upacara ngenteg linggih dan pemlaspasan ini merupakan puncak dari serangkaian usaha yang diperjuangkan sejak lama oleh masyarakat Bali di Berlin yang tergabung dalam kelompok Nyama Braya Bali (NBB) Berlin untuk menfungsikan keberadaan (tadinya) Taman Tri Hita Karana yang sejak didirikan oleh pemerintah Jerman pada tahun 2003 hanya berupa objek wisata untuk memperkenalkan kebudayaan Bali kepada masyarakat Jerman yang berlokasi di taman rekreasi „Erholungspark Gärten der Welt“.
Di awal musim panas tahun 2012 ini akhirnya Pura Tri Hita Karana dapat difungsikan sebagaimana layaknya sebuah pura Hindu sebagai tempat persembahyangan memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widi Wasa. Adapun wujud pura meliputi pelinggih-pelinggih yang sudah dibangun sebelumnya oleh pihak Jerman yaitu pelinggih rong tiga, taksu, ngrurah dan surya yang dibangun di dalam sebuah kompleks taman terisolasi dengan dekorasi taman tropis a la Bali. Kehangatan cuaca trofis bisa dinikmati di sini sepanjang tahun, termasuk saat musim dingin denagn suhu di luar di bawah 0 derajat celcius. Selain itu dua pelinggih yang baru didirikan meliputi pelinggih padmasana dan penglurah. Penambahan dua banguan pelinggih akhir dapat diselesaikan tepat waktu setelah melalui proses yang cukup panjang antara lain perijinan dari pengelola taman, penyediaan lahan, pembelian material pelinggih dan pengangkutan dari Bali.
Pembelian material pelinggih dan pengirimannya ke Jerman merupakan sumbangan dari Dirjen Bimas Hindu dimana pembangunannya dilaksana secara bergotong-royong dengan mendatangkan tiga pengayah dari Bali yaitu : Agung Putradhyana (seorang arsitek), Cok Putra dan Cok Raka Bawa. Dua nama terakhir sekaligus merupakan seniman dari misi kesenian hindu yang nantinya ikut meramaikan pementasan kesenian. Di samping pengayah dari Bali pembangunan pura juga mendapat dukungan dari sponsor pihak Jerman yaitu firma Kittel, Herold dan Penta yang membantu dari awal pembersihan lahan, material banguan tambahan sampai pekerjaan finishing bangunan pelinggih. Adanya dukungan sponsor dari pihak Jerman tidak lepas juga dari usaha dan koordinasi yang tak kenal lelah oleh seorang pecinta Bali Steffen Brodt, seorang arsitek Jerman yang telah menganggap Bali sebagai tanah airnya yang kedua.

Jalannya Upacara 5 Mei 2012

Suhu udara yang dingin sekitar 10 – 12 derajat celcius sepanjang hari Sabtu 5 Mei 2012 tidak menyurutkan semangat umat Hindu dari berbagai kota di Jerman yang hadir di Berlin untuk mengikuti jalannya upacara serta menjadi saksi upacara ngenteg linggih dan pemlaspasan yang dipimpin oleh Ida Pedanda Gede Putra Yoga dari Grya Tunjuk, Marga, Tabanan, dibantu oleh Jero Mangku Nyoman Sudarsa dari Dusun Geluntung Kelod Desa Petiga Marga Tabanan. Upacara ini dihadiri juga oleh beberapa tokoh Hindu dari Bali antara lain Prof. Yudha Triguna (Dirjen Bimas Hindu), I Ketut Lancar (Direktur Urusan Agama Hindu), Prof. Made Titib (Rektor IHDN Denpasar) dan Prof. Wayan Wita (dosen senior UNUD Denpasar).

Runtutan upacara secara keseluruhan meliputi upacara mecaru, mendem pedagingan, pemelaspasan, dan ngeteg linggih. Mendem pedagingan dimulai dari pelinggih padmasana oleh Prof. IBG Yudha Trigun dilanjutkan dengan pelinggih penglurah oleh I Ketut Lancar SE, Msi kemudian di pelinggih rong tiga (tri murti) kembali oleh Prof. IBG Yudha Triguna, lalu di pelinggih taksu dan penglurah yang lama yang ada dalam kompleks taman oleh Prof. I Made Titib. Prosesi mendem pedagingan diakhir oleh Prof. Wayan Wita dan Ni Ketut Warsini (dari NBB Berlin) di pelinggih Surya Siwa Reka.

Di tengah-tengah prosesi persembahyangan bersama yang diawali dengan puja mantram dipimpin oleh Ida Pedanda juga dilakukan upacara pewintenan atas Ida Ayu Anom yang nantinya dipercaya menjadi pemangku di pura Tri Hita Karana dengan didampingi pengabih Ni Ketut Warsini.

Sebagai bagian dari prosesi upacara ditampilkan tarian-tarian ritual agama Hindu seperti tari Rejang Dewa, Baris Gede (Baris Kul-kul), Topeng Sidakarya dan Bebondresan yang dibawakan oleh grup Misi Kesenian Hindu dari Universitas Hindu Indonesia, Denpasar. Khusus untuk tari Rejang Dewa ikut pula menari dua penari belia berusia 9 tahun yang merupakan putri anggota NBB Berlin. Adapun kehadiran Misi Kesenian Hindu dari UNHI Denpasar tidak lepas dari dukungan Direktorat Bimas Hindu di Jakarta yang memfasilitasi misi perjalanan ini sebagai upaya menjalin dialog keagamaan dan kebudayaan dalam hal ini Hindu Bali dengan masyarakat Eropa. Misi kali ini selain dilakukan di Jerman juga di Belgia dan Belanda. Di Berlin selain tampil di Pura Tri Hita Karana mereka juga melaksanakan pementasan di Museum Ethnologi Berlin.

Setelah prosesi upacara dan persembahyangan disampaikan darma wacana oleh Prof. I Made Titib yang merupakan rektor Institut Hindu Dharma Negei Denpasar. Beliau memaparkan makna pelinggih padmasana sebagai sarana pemujaan Hyang Widhi Wasa dan arti upacara ngenteg linggih itu sendiri. Juga disampaikan perlunya umat hindu untuk terus menumbuhkembangkan nilai-nilai hindu serta perlunya menjalin dialog dengan kelompok agama/budaya lain untuk menumbuhkan rasa saling pengertian. Dalam hal ini penting sekali peranan umat Hindu yang tinggal di luar Indonesia. Beliau juga menyampaikan rasa bangga dan salutnya atas usaha yang ditunjukan oleh masyarakat hindu di Berlin dan Jerman pada umumnya dalam peran aktifnya menyampaikan misi ini ke masyarakat Jerman. Ditekankan pula perlunya selalu menjaga kekompakan menyama-braya di kalangan masyarakat Bali di Berlin, apalagi dengan adanya tambahan kewajiban sebagai pengemong pura Tri Hita Karana ini.

Pementasan Kesenian Bali

Setelah diselingin dengan istirahat makan siang acara dilanjutkan dengan prosesi mepeed dimana orang Jerman menyebutnya dengan Tempel-Umzug. Dimana para semeton Hindu yang hadir berjalan mengelilingi area pura dengan menyungsung prani (sesajen) yang diikuti riuh rendah musik baleganjur. Parade ini mendapat perhatian yang besar di bawah jepretan ratusan ratusan kamera pengunjung yang membuat suasana semakin mirip upacara melasti di Bali.

Sebagai sumbangsih tanda terimakasih dari pihak Nyama Braya Bali di Berlin kepada pihak pengelola taman wisata Gärten der Welt Berlin dipentaskan tari-tarian dari UNHI di atas panggung yang telah disediakan yang dimulai dengan tabuh lelambatan Gasuri dengan dipimpin oleh dosen kerawitan dari UNHI I Ketut Gede Rudita. Sebagian besar tarian-tarian yang ditampilkan merupakan tari klasik Bali seperti: Gabor, Kebyar Duduk, Oleg Tambulilingan, Legong Kuntul dan tari kreasi Belibis. Satu-satunya penari yang bukan dari UNHI adalah Ketut Edi yang datang langsung dari Belanda membawakan tari Teruna Jaya. Pementasan acara hiburan ini mendapat sambutan yang sangat meriah. Walaupun cuaca sempat diselingi hujan gerimis, hal ini tidak menyrutkan minat pengunjung untuk mengikuti acara sampai selesai.

Di sela-sela pementasan acara diselingi dengan penyampaian sambutan dari pihak taman Gärten der Welt, dari pemerintah Indonesia (KBRI Berlin), dan dari Dirjen Hindu. Manajer Gärten der Welt Beate Reuber dalam sambutannya menyatakan kegembiraan luar biasa dengan penyelenggaraan prosesi pemlapasan yang merupakan bagian dari Balinese Temple Festival dalam rangka perayaan ulang tahun ke-25 taman tersebut. Dia yang awalnya skeptis dengan usaha yang dirintis oleh masyarakat Bali di Berlin akhirnya menyampaikan rasa salutnya atas keberhasilan pembanguna pura Tri Hita Karana. “Hari ini Nyama Braya Bali telah berhasil menarik warga Jerman untuk melihat dan mempelajari lebih terperinci dan memperoleh wawasan berharga tentang Bali. Ini pengalaman luar biasa, tidak saja bagi saya tetapi juga masyarakat Jerman pengunjung taman ini,” demikian petikan sambutan Ibu Beate Reuber yang di sampaikannya dalam bahasa jerman.

Sambutan dari pihak pemerintah Indonesia yang dibacakan oleh Kuasa Usaha ad Interim Diah Rubianto mewakili Duta Besar RI untuk Republik Federal Jerman yang berhalangan hadir saat itu, menyampaikan bahwa prosesi penyucian pura Tri Hita Karana di taman Gärten der Welt tersebut telah membuka dimensi baru mengenai budaya Bali dan keberadaan budaya Indonesia di Jerman. “Suatu penghormatan tak terhingga, bukan saja untuk masyarakat Bali di Jerman, tetapi Indonesia secara keseluruhan mengingat hal ini merupakan manifestasi dari keragaman agama dan budaya Indonesia, yang telah menjadi aset Indonesia paling bernilai,”. Lebih lanjut sambutan Ibu Diah Rubianto yang di sampaikannya dalam bahasa inggris menyambut baik upacara ngenteg linggih dan pemlaspasan yang di lengkapi dengan pementasan tari-tarian bali yang merupakan bagian dari diplomasi untuk memperkokoh pondasi persahabatan masyarakat Indonesia-Jerman yang berbeda latar belakang budaya.

Sambutan lainnya disampaikan oleh Dirjen Hindu Indonesia bapak Professor Dr. Yudha Triguna yang mewakili Umat Hindu di Indonesia serta mewakili Kementerian Agama RI dan Pemerintah Daerah Bali yang sambutannya disampaiakan dalam bahasa indonesia dan diterjemahkan kedalam bahasa jerman oleh moderator acara Gusti Ayu Aryani Kriegenburg menyampaikan rasa terimakasih kepada pihak pengelola taman Gärten der Welt yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan upacara ngenteg linggih dan pemlaspasan. Disampaikan pula agar umat Hindu di Berlin dan di Jerman untuk ikut serta merawat Pura Tri Hita Karana, dan berharap keberadaan Pura Tri Hita Karana bisa menjadi pemersatu umat Hindu yang ada di Jerman dan mempertebal keyakinan akan kehinduannya walaupun merantau hingga ke Jerman.

Serangkaian acara hiburan akhirnya ditutup dengan pementasan drama tari yang sangat popular di Bali, Calonarang. Walaupun cukup asing di kalangan publik Jerman, kisah klasik tentang pergulatan antara kebaikan dan kejahatan yang sangat digemari di Bali ini, bisa diikuti dan dimengerti oleh penonton dengan latar belakang budaya berbeda. Hal ini tak lepas dari kepiawaian para pemain yang membuat sekat-sekat bahasa dan budaya menjadi hilang. Diselingi dengan pemakaian bahasa Inggris (bercampur Bali), para pemain punakawan berhasil mengocok perut penonton yang sekali-sekali diselingi aksi slapstick di atas panggung. Seakan tidak memperdulikan dinginan cuaca, para penari dan penabuh dengan fokus dan profesional menunjukan keliahiannya yang pada akhir pementasan mendapat aplaus dari ratusan penonton yang setia mengikuti acara sampai selesai.
Sekitar jam 19:00 waktu setempat akhirnya semua rangkaian acara berakhir yang ditutup dengan persembahyangan bersama dimana rombongan misi kesenian seterusnya melanjutkan perjalanan ke Brussel, Belgia.

*Sebagaimana dilaporkan oleh I Ketut Santrawan, panitia Upacara Ngenteg Linggih Pura Tri Hita Karana Berlin.