Denpasar, (Metrobali.com)

Sikap rendah hati, tidak mentang-mentang, sok kuasa, “adigung-adikuasa” (meminjam ungkapan bahasa Jawa).

“Kepemimpinan yang menghargai keberlanjutan, dalam artian warisan pemimpin terdahulu yang baik dilanjutkan, yang patut dikoreksi, dilakukan koreksi, tanpa ada kesan menyalahkan,” kata I Gde Sudibya anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004. ekonom, pengamat kebijakan publik, Rabu 20 Nopember 2024.

Menurutnya, seorang pemimpin harus menjadi pendengar baik, belajar dari masukan yang diterima, menonjol dalam sosok: Soekarmen dan Dewa Beratha.
4.Punya kecerdasan visi, kemana Bali ke depan diarahkan, menonjol dalam sosok: IB Mantra.

Pemimpin, semestinya punya komitment tinggi untuk pemberdayaan Desa Pakraman, tanpa “cawe-cawe”, sangat menonjol dalam sosok: IB Mantra dan Dewa Beratha.

Dikatakan, kepemimpinan Bali, mesti berbasis spiritualitas, dilakukan dengan banyak bekerja, dan dalam diam. Sangat menonjol di era Dewa Beratha dan IB Mantra.

“Sangat tidak toleran dengan iming-iming “kompensasi” dengan kecenderungan salah guna, sangat tampak pada sosok: Soekarmen dan Dewa Beratha, I Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004. ekonom, pengamat kebijakan publik. (Sutiawan)