Tradisi “Gebug Ende” Cara Warga Seraya Memohon Hujan Turun
Karangasem, (Metrobali.com) –
Tradisi “Gebug Ende” digelar warga Desa Seraya Barat, Karangasem, Bali sebagai wujud permohonan kepada tuhan agar khususnya diwilayah Desa Seraya bisa segera turun hujan.
Pasalnya, musim kemarau yang terjadi belakangan ini nampaknya benar benar membuat wilayah tersebut dilanda kekeringan.
“Ya benar, tradisi ini digelar untuk memohon hujan kepada tuhan, karena diwilayah kami benar benar dilanda kekeringan,” kata Kelian Banjar Merajan, Desa Seraya Barat, I Wayan Suambara tempat tradisi ini digelar.
Menurut Suambara, taradisi “Gebug Ende” kali ini digelar disatu lokasi bernama “Yeh Elokan” yang berada diwilayah Banjar Merajan. Konon dilokasi inilah para leluhur terdahulu sering menggelar tradisi Gebug Ende ini.
Sementara itu, kali ini tradisi “Gebug Ende” telah dimuali pada hari Rabu (23/10/2019) akan berlangsung selama tiga hari sebelum pidah kelokasi berikutnya yang telah ditentukan oleh tokoh masyrakat setempat.
Dalam prosesnya, sebelum tradisi “Gebug Ende” dilangsungkan terlebih dahulu diawali dengan menghaturkan banten berupa banten pejatian dan segehan dilokasi tempat “Gebug Ende” ini berlangsung.
Setelah banten dihaturkan, sejumlah sarana perlengkapan mulai disiapkan seperti penyalin (rotan) yang dibentuk sedemikian rupa menyerupai tongkat yang difungsikan sebagai senjata dan “Ende” atau tameng yang dipergunakan untuk pelindung dari serangan lawan.
Begitu gambelan khas untuk ritual dutabuh, tradisi ini kemudian dimulai. Nampak didalam arena bersiaga beberapa orang dengan membawa tameng disampinh satu orang bertugas sebagai penengah atau wasit.
Sedangkan, sejumlah peserta “Gebug Ende” bersiap dengan busana khasnya seperti kamben, saput poleng dan udeng tanpa memakai baju.
Setelah persiapan selesai, dua orang peserta lengkap dengan rotan dan tameng ditangan kemudian menuju posisinya masing – masing sebelum nantinya mereka bertarung satu sama lainnya.
Yang menjadi ciri khas dari tradisi “Gebug Emde” ini adalah tarian dari peserta ketika bertarung, dimana disamping tangan kiri memegang tameng sementara tangan kanan memegang senjata berupa rotan sambil sesekali rotan dipukul pukul kearah tamengnya sembari mengangkat satu kaki untuk mencuri kesempatan menyerang lawan.
Hanya saja meski berlangsung cukup sengit, dalam mejalankan tradisi ini para peserta yang ikut nampak menjalaninya dengan penuh rasa suka cita, tidak ada permusuhan setelah tradisi ini digelar.
Dalam tradisi ini, tidak ada suatu pantangan secara khusus diberikan untuk para peserta, hanya saja warga percaya, apabila ada peserta ketika mengikuti tradisi ini memakai semacam jimat maka yang bersangkutan bisa terkena banyak luka akibat pukulan rotan yang digunakan sebagai senjata dalam tradisi “Gebug Ende” tersebut.
“Untuk pantanganya tidak ada, cuman tidak diperkenankan peserta membawa gegemet (jimat) atau yang lainya karena dipercaya yang bersangkutan bisa terkena bnyak pukulan ketika mengikuti tradisi Gebug Ende,” tandasnya. (SUA)