Beberapa siswa  mengunjungi Hutan Bali Barat, 17 Mei 2021 (Foto: Wahyu Permana)

Hari ini tepat 34 tahun yang lalu, beberapa negara di dunia menandatangani Protokol Montreal terkait upaya untuk mengurangi “Zat yang Mengikis Lapisan Ozon”. Pertemuan yang berlangsung pada tahun 1987 ini berakar dari temuan para ilmuwan pada akhir tahun 1970-an terkait munculnya lubang besar di lapisan ozon bumi.

Menipisnya lapisan ozon bumi berdampak buruk bagi keberlangsungan makhluk hidup di dalamnya. Salah satu fungsi lapisan ozon yaitu menangkal radiasi ultraviolet (UV) dari matahari. Meskipun radiasi UV diperlukan untuk menghangatkan stratosfer, namun radiasi yang berlebih dapat membahayakan. Radiasi UV dapat merusak tumbuhan dan plankton, sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem. Kemudian radiasi yang berlebih juga menyebabkan kebakaran kulit hingga menimbulkan kanker.

Pemanasan Global Menyebabkan Menipisnya Lapisan Ozon

Melansir tirto.id, adanya lubang besar di lapisan ozon pertama kali ditemukan di Kutub Selatan. Penyebab utamanya adalah pemanasan global. Pemanasan global terjadi karena karbondioksida (CO2) yang terbentuk dari gas rumah kaca. Selain itu, penyebab lainnya berasal dari penggunaan zat perusak ozon seperti klorofluorokarbon (CFC), hidro klorofluorokarbon (HCFC), dan methyl chloroform. Protokol Montreal mengecam keras penggunaan ketiga bahan yang dapat ditemui di alat pendingin ruangan, gas pemadam api ringan, hingga pestisida itu.

Untuk mendukung Protokol Montreal dalam menjaga dan memulihkan lapisan ozon, sebuah pertemuan yang kemudian menghasilkan Kigali Amendment diadakan pada Oktober 2016. Pertemuan ini memperkuat upaya masyarakat dunia dalam menghentikan gas rumah kaca yang berdampak pada menipisnya lapisan ozon  dan berujung pada krisis iklim.

Pemanasan Global Semakin Meningkat, Bencana Hadir

Namun hingga tahun 2021, pemanasan global semakin meningkat dan berdampak pada seluruh negara-negara di dunia. Mengutip BBC, “Suhu global telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir, berakibat pada peningkatan yang signifikan terhadap jumlah bencana yang berasal dari cuaca ekstrim.” Berdasarkan laporan Atlas, dari tahun 1970 hingga 2019, terdapat lebih dari 11.000 bencana. Prof. Petteri Taalas, WMO Secretary, mengaku kepada BBC bahwa, “Peningkatan ekstrim terhadap cuaca, iklim, dan air akan menjadi lebih parah di banyak bagian dunia sebagai akibat dari perubahan iklim.”

Peningkatan yang ekstrim ini berimplikasi pada bencana banjir bandang, curah hujan ekstrim, gelombang panas, kekeringan, hingga kebakaran hutan yang saat ini sudah terjadi. Banjir yang terjadi di Jerman bisa jadi salah satu contoh yang bahkan mengejutkan para ahli iklim. “Kami melihat tidak hanya di atas normal, tetapi dalam domain kami tidak menyangka terjadi begitu luas dan cepat,” ungkap Dieter Gerten, profesor Klimatologi dan Hidrologi di Potsdam Institut untuk Penelitian Dampak Iklim, kepada The Guardian.

Beberapa ahli juga mengkhawatirkan bencana yang terjadi beberapa dekade ini, yang menunjukan dengan jelas sistem iklim telah melewati ambang batas dan berbahaya. Mereka memperkirakan adanya tren yang semakin “nonlinier” atau bergelombang sebagai akibat dari efek tidak terduga yang disebabkan oleh kekeringan atau mencairnya es di Kutub.

Tahun ini pun telah terjadi kebakaran hutan di beberapa negara, yakni Evia, Yunani yang harus mengevakuasi lebih dari 2.500 masyarakatnya. Saat itu temperatur udara di Evia mencapai 45℃. Kemudian ada Rusia, Canada, Australia, hingga Amerika Serikat yang mengalami kebakaran hutan.

Kebakaran Hutan dan Timbulnya Krisis Iklim 

Kebakaran hutan yang terjadi sekitar 2019-2021 bahkan menimpa negara-negara di Eropa telah membuktikan krisis iklim adalah nyata. Perubahan iklim telah meningkatkan suhu global, menyebabkan kemarau hingga kebakaran. Kebakaran hutan tidak hanya disebabkan perubahan iklim tetapi juga turut membuatnya semakin meningkat, akibat emisi yang dikeluarkan.

Melansir The Conversation, sebagian besar hutan telah menyerap karbon. Seperti saat mereka berfotosintesis, mengambil karbon dioksida dan mengintegrasikannya ke dalam daun, akar, dan biomassa mereka. Semakin lama, hutan menjadi cadangan besar karbon yang tersimpan di tanah. Seperti lahan gambut di Indonesia yang bahkan menyimpan cadangan karbon sebanyak 57 gigaton atau 20 kali lipat lebih banyak dibandingkan hutan hujan tropis. Ketika lahan gambut dikeringkan atau mengalami alih fungsi, makan simpanan karbon akan terlepas ke udara dan menjadi sangat berbahaya.

Tidak hanya karbon dioksida, kebakaran hutan akan melepaskan metana, yakni jenis gas rumah kaca yang lebih berbahaya dari karbon dioksida. Kebakaran hutan pun menghasilkan dampak yang lebih parah terhadap perubahan iklim.

Di Indonesia, sebagian besar kebakaran hutan terjadi karena perusahan-perusahaan besar yang mengeringkan lahan untuk pertanian kelapa sawit dan produk kayu seperti pulp dan kertas. Menurut George Monbiot dalam artikelnya untuk The Guardian, selama beberapa dekade hutan Indonesia telah terfragmentasi oleh perusahaan kayu dan pertanian monokultur. Kanopi pun hilang dan lahan yang kering ini akan mudah terbakar.

Disisi lain, kebakaran hutan juga berarti hilangnya fungsi hutan untuk menyerap karbon di atmosfer. Sedangkan untuk mengembalikan fungsi hutan memerlukan waktu yang sangat panjang, bahkan sulit untuk tumbuh kembali. Ekosistem di dalamnya pun turut berubah.

Penanggulangan dan Adaptasi terhadap Krisis Iklim

Sebagian besar masyarakat dunia telah merasakan secara langsung dampak dari perubahan iklim. Krisis iklim tidak lagi menjadi masalah masa depan, melainkan saat ini. Bencana seperti siklon, banjir bandang, hingga kebakaran hutan telah menjadi headline dunia. Mami Mizutori–Wakil Sekretariat Jenderal Penanggulangan khusus Penanggulangan Resiko Bencana untuk PBB mengungkapkan, “Ini [krisis iklim] tidak lagi tentang masa depan, melainkan saat ini.” Ia pun menambahkan bahwa kita perlu memikirkan tentang adaptasi dan ketahanan.

Namun beberapa ilmuwan dan aktivis mengkhawatirkan hadirnya ‘kepuasan’ masyarakat bahwa mereka tidak perlu melakukan pengurangan emisi ketika dapat beradaptasi. Untuk itu, Upaya pencegahan terhadap aktivitas-aktivitas yang memperparah krisis iklim harus terus dilakukan. Langkah ini pun beriringan dengan meningkatkan ‘kewaspadaan’ terhadap bencana yang akan timbul.

Direktur Institut Kebijakan Pertanian dan Perdagangan, Shefali Sharma mengatakan kepada The Guardian, “Harus adanya langkah-langkah mendesak untuk membangun kedaulatan pangan. Ini berarti membangun kesehatan tanah, keanekaragaman hayati pertanian pada tanaman dan hewan, penyuluhan serius yang dibangun dari pengetahuan tradisional dan mendukung benih lokal yang mudah beradaptasi.”

Apa yang diharapkan Sharma selama ini telah diupayakan IDEP Foundation dalam membangun ketangguhan masyarakat di Bali, khususnya Desa Yehembang Kauh (Hutan Bali Barat) sejak tahun 2012. Selama lebih dari sembilan tahun, IDEP telah melakukan berbagai upaya seperti mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, meningkatkan kesadaran masyarakat, pelestarian hutan, pemanfaatan energi baru terbarukan, serta kedaulatan pangan.

Pendampingan kepada keluarga di Desa Yehembang Kauh (Photo: Wahyu Permana)

Upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim diawali dengan membuat peta bencana yang mencakup wilayah sekitar Hutan Bali Barat, sebab krisis iklim sangat berpotensi menciptakan bencana banjir bandang maupun kekeringan yang sering dialami masyarakat lokal. Setelah mengetahui resiko-resiko yang dapat terjadi, masyarakat mengikuti pelatihan siaga bencana dan setelah itu membentuk kelompok Destana (Desa Tangguh Bencana).

Dalam membangun ketangguhan masyarakat menghadapi perubahan iklim dan sekaligus menjaga hutan untuk menanggulangi bencana yang lebih buruk, masyarakat juga diajak untuk berdaulat secara pangan. Upaya ini dilakukan dengan pendampingan untuk membangun kebun pekarangan keluarga. “Kita melakukan pendampingan dan pelatihan kepada masyarakat di semua dusun di Desa Yehembang Kauh agar mereka bisa mandiri pangan,” ungkap Sayu Komang dari IDEP Foundation.

Selain pendampingan, upaya mitigasi juga dilakukan, yaitu dengan penanaman pohon di areal yang beresiko, terutama saluran DAS (Daerah Aliran Sungai). Membangun agroforestri juga menjadi bagian dari upaya IDEP. “Agroforestri ini konsep berkebun yang mengadaptasi hutan,” kata Sayu. Ia pun menambahkan bahwa dalam membangun konsep wanatani ini, masyarakat diajak untuk menanam berbagai jenis tanaman. Dimulai dari tanaman pohon, tiang, panca, hingga lantai hutan.

Menanam tanaman bambu di sekitar saluran DAS, Hutan Bali Barat

Selain menjadi pelindung dari bencana, Hutan Bali Barat juga memiliki kekayaan keanekaragaman hayati. Bahkan ada berbagai macam flora dan fauna endemik, seperti Kwanitan, Majegau, hingga Bambu Hitam yang juga menjadi pakan dari spesies endemik Siung ataupun Celepuk Bali. Maka dari itu pelestarian ekosistem di Hutan Bali Barat juga dilakukan dengan menciptakan Hutan Belajar. Areal yang diresmikan pada 20 Maret 2021 ini menjadi tempat bagi siapa saja untuk belajar dan mengenal spesies endemik Bali. Rumah pembibitan pun dibangun di Hutan Belajar untuk mengembang biakan tanaman endemik Jembrana. “Jadi tempat pembibitan ini dikhususkan untuk membudidayakan tanaman endemik,” jelas Sayu.

Mengetahui berbagai spesies endemik dari Hutan Belajar

Peresmian Hutan Belajar juga diisi dengan penanaman berbagai macam tanaman endemik. “Dari peresmian ini diharapkan nanti adanya komitmen bersama antara desa, pemerintah, IDEP, BaseBali, dan KTH [Kelompok Tani Hutan] untuk sama-sama menjaga hutan,” harap Putu Bawa dari IDEP Foundation.

Masyarakat Desa Yehembang Kauh yang hidup bersebelahan dengan hutan tentu rentan terhadap berbagai ancaman dari krisis iklim. Namun kesadaran untuk menjaga hutan dan pengetahuan tentang potensi-potensi bencana yang akan terjadi telah menciptakan Desa Yehembang Kauh yang tangguh. “Harapannya bisa menjadi desa tangguh yang tidak hanya bicara soal bencana, namun juga tangguh secara pangan, sumber daya manusia, dan tangguh secara alam,” kata Sayu Komang yang telah melakukan pendampingan dari tahun 2012.