Tim Advokasi dan Hukum Mantra-Kerta mendatangi Kantor Bawaslu Bali, Kamis (15/3/2018)

Denpasar (Metrobali.com)-

Tim Advokasi dan Hukum pasangan calon (Paslon) Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra-I Ketut Sudikerta (Mantra-Kerta) memprotes penanganan kasus pengucilan dari Banjar Panca Dharma Desa Mengwitani Kecamatan Mangwi Kabupaten Badung Bali terhadap korban I Gede Ketut Sanjiharta.
Tim yang dipimpin oleh Togar Situmorang melakukan protes dan klarifikasi terhadap Bawaslu yang menghentikan penanganan kasus pengucilan secara adat terhadap Sanjiharta. Tim yang berjumlah 9 orang tersebut diterima langsung oleh Koordonator Divisi Penindakan dan Pelanggaran Pilkada Ketut Sunadra bertempat di Kantor Bawaslu Bali, Kamis (15/3/2018). Perdebatan sengit terjadi antara tim advokasi Mantra-Kerta dengan pihak Bawaslu pun terjadi. Berbagai argumen hukum dikeluarkan.
Menurut Ketua Tim Advokasi dan Hukum Togar Situmorang, surat balasan dari Bawaslu Bali tentang penghentian penyidikan atau proses penelusuran terhadap laporan korban pengucilan dari banjar atas nama I Gede Ketut Sanjiharta sangat tidak masuk akal. Dalam ketentuan pasal yang dipakai Bawaslu menyebutkan jika sudah melewati 7 hari sejak peristiwa ini diketahui maka kasus tersebut tidak bisa diproses lebih lanjut.
“Kata 7 hari setelah pemilihan berarti peristiwa yang terjadi saat pemilihan tanggal 27 Juni nanti. Sementara kasus ini terjadi bukan pada saat pemilihan. Syarat formal ini seharusnya tidak berlaku dalam kasus ini. Jadi kasus ini bukan terjadi saat dan sedang pemilihan berlangsung. Makanya kita meminta agar kasus ini dilanjutkan proses penyidikannya,” ujarnya di Denpasar, Jumat (16/3/2018).
Proses ini sungguh tidak masuk akal karena pelanggaran jelas-jelas terjadi. Kasus yang dialami oleh Sanjiharta terjadi berupa penandatanganan surat pernyataan bermeterai untuk mendukung pasangan calon tertentu. Seluruh rakyat di banjar diminta dan diarahkan dukungan untuk pasangan tertentu. Hingga suatu saat Sanjiharta mengunggah foto pasangan Rai Mantra-Sudikerta di media sosial. Lalu tanggal 28 Februari dirapatkan dan di banjar dan dijatuhkan sanksi dikucilkan dari banjar.
“Proses intimidasi, kekerasan, pengucilan jelas terjadi. Tapi hanya karena tidak memenuhi syarat formal maka laporan tidak diproses atau dihentikan. Ini pelanggaran hak asasi, hak politik karena orang dipaksa memilih paket tertentu. Tapi oleh Bawaslu dihentikan proses penyidikannya. Lalu kita sebagai anak bangsa harus melapor kemana lagi?” ujarnya.
Ditambahkan semestinya Bawaslu bila menganggap kasus ini tidak memiliki syarat formal tidak perlu menghentikan kasus ini karena pelanggaran memang benar adanya. “Kami meminta Bawaslu merekomendasikan untuk diproses di lembaga hukum yang lain sekalipun kami berpikir kalau kasus ini merupakan pelanggaran pidana Pilkada,” ujarnya.
Ketua Divisi Penindakan dan Pelanggaran Bawaslu Bali Ketut Sunadra menjelaskan, sesuai pasal 134 ayat 4 UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati dan wakil bupati dan Walikota serta wakil walikota, junto pasal 152 UU No 10 Tahun 2015 maka status kasus Sanjiharta dihentikan penanganannya karena melampaui tenggat waktu 7 hari sejak diketahui kasus ini terjadi. Ia menyebut, pemilihan yang dimaksud adalah bukan saja pencoblosan yang terjadi pada tanggal 27 Juni tersebut melainkan seluruh proses yang ada.
“Kami sudah membahas kasus di rapat pleno pertama di Sentra Gakkumdu yang melibatkan tiga institusi yakni kepolisian, Kejaksaan dan Bawaslu. Dan kami menilai jika kasus ini tidak memenuhi syarat formal untuk dilanjutkan penanganannya,” ujarnya.
Ia menyebutkan, sanksi pengucilan secara adat dari Banjar Panca Dharma sangat sulit untuk dijerat dengan pasal yang ada. Kasus dengan Nomor Laporan 01/LP/PG/Prov/17.00/III/2018 tanggal 8 Maret 2018 ini terpaksa harus dihentikan. Namun sesungguhnya, tim terus bekerja untuk melakukan pencegahan di seluruh Badung.
“Kami sudah mendapatkan banyak masukan baik laporan lisan, berita di media, cuitan di media sosial, bahwa di Badung itu berpotensi terjadi pelanggaran penyalahgunaan wewenang, menjanjikan bansos dan hibah. Makanya salah satu hasil yang kami rekomendasikan adalah mengeluarkan surat cegah dini tersebut. Salah satu rujukannya adalah kasus Sanjiharta. Jadi tidak benar kalu kami hanya menghentikan penyidikan tanpa berbuat apa-apa,” ujarnya,” tegas Sunadra.
Pewarta : Widana Daud