tabunganJakarta  (Metrobali.com)-
Hidup sejahtera bersama keluarga dalam kondisi finansial yang mapan. Siapa yang tidak mau? Namun, menengok harga kebutuhan premier yang terus meningkat, rasanya hampir mustahil bisa melakoni hidup seperti itu.

Mungkin Anda merasa gaji kurang sehingga menjadi musabab masalah finansial. Memang, pemasukan adalah sumber dana kita untuk membiayai segala kebutuhan. Tapi bukan berarti Anda semerta-merta menyalahkanya sebagai akar permasalahan finansial rumah tangga.

Menurut perencana keungan Prita Ghozie, ada tiga penyebab utama yang mengganggu stabilitas finansial individu yang berujung pada terancamnya kesejahteraan keluarga. Apa saja?

1. Tidak Bisa Bedakan Simpanan, Tabungan, Investasi
Prita mengatakan, penting untuk memahami perbedaan fungsi simpanan, tabungan dan investasi. “Dengan begitu, kita bisa bijak menggunakan uang kita,” katanya di acara peluncuran kampanye #SayangUangnya oleh Tabungan Bebas Permata Bank di Senayan National Golf Club, Jl. Asia Afrika, Jakarta, Rabu (3/2/2016).

Sayangnya, lanjutnya, mengutip hasil riset ZAP Finance pada 2013 silam, terbukti 50 persen responden kesulitan membedakan fungsi simpanan, tabungan dan investasi. Ia menjelaskan simpanan adalah menyisihkan dana untuk digunakan dalam waktu dekat. Secara umum, simpanan terbagi dua, yakni simpanan untuk berjaga-jaga dan simpanan bulanan. Sementara itu tabungan adalah hasil dari proses menabung yang ditujukan untuk keperluan beberapa tahun lagi.

“Jika tidak pintar menyisihkan pemasukan untuk simpanan dan tabungan, maka kita cenderung lebih konsumtif, membeli barang yang sebetulnya tidak kita butuhkan. Inilah yang selalu membuat kita merasa gaji cuma bertahan sebentar,” ujar lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu.

Sementara investasi, kata Prita, adalah proses menyisihkan uang dengan tujuan memperoleh keuntungan dan kenaikan modal di masa mendatang.

2. Hobi Utang
Tidak pernah menabung membawa kita kepada permasalah lainnya: utang. “Karena tidak punya tabungan atau simpanan, saat ada keperluan darurat, kita akhirnya berutang,” kata Prita.

Ia mengatakan, riset yang sama turut menunjukkan 18 persen responden sering berutang. Bukan untuk kebutuhan premier dan darurat saja, tapi untuk memenuhi gaya hidup mengingat mudahnya fasilitas cicilan. Terbiasa berutang, tambah dia, akan mendorong gaya hidup semakin tinggi.

3. Gaya Hidup Tinggi
Survei ZAP Finance juga menyebut bahwa 32 persen responden mengaku memiliki gaya hidup yang tinggi. Ia mengatakan, sebetulnya seberapa pun penghasilan kita, kebutuhan pasti akan tercukupi kecuali kita memiliki gaya hidup yang terlampau tinggi.

“Uang sedikit pasti cukup untuk biaya hidup. Uang banyak tidak akan cukup untuk gaya hidup,” kata wanita yang mengambil program master di University of Sydney, Australia itu. (dng/hst) wolipop.detik.com