Oleh : Putu Suasta, Alumnus UGM dan Cornel University

Denpasar (Metrobali.com)

 

Dampak perang Rusia-Ukraina terhadap harga komoditi pangan global semakin besar, salah satunya gandum. Pemerintah Indonesia dalam beberapa minggu terakhir dipusingkan kenaikan harga gandum global yang awalnya dipicu oleh perubahan iklim, kemudian diperparah oleh perang Rusia-Ukraina. Banyak orang tak habis mengerti mengapa pemerintah Indonesia mesti mewaspadai fluktuasi dari sebuah komiditi yang bukan kebutuhan pokok di Indonesia.

Gandum memang belum menjadi kebutuhan pokok seperti beras di Indoensia. Tapi posisi gandum semakin penting dalam industri makanan di Indonesia dan akan mengakibatkan gejola ekonomi besar-besaran jika para pelaku industri tak mampu mendapatkan gandum. Ketergantungan Indonesia terhadap gandum terjadi melalui proses panjang yang dapat dilihat melalui bingkai politik pangan.

Westernization of Diet

Pada awalnya kita menganganggap remeh tendensi perubahan pola makan sebagian kecil masyarakat Indonesia yang mulai terlihat sejak beberapa dekade lalu. Perubahan tersebut didorong oleh perbaikan tingkat kesejahteraan, perbaikan tingkat pendidikan dan berbagai perubahan yang membuat budaya luar semakin mudah masuk ke Indonesia.

Karena tingkat kesejahteraan semakin baik, semakin banyak orang yang gemar mengonsumsi makanan-makanan berbahan dasar gandum dan bahan-bahan lain yang didatangkan dari luar, baik karena alasan perbaikan gizi maupun demi prestise (gaya hidup); karena tingkat pendidikan semakin baik, semakin banyak masyarakat Indonesia yang memiliki pergaulan internasional baik karena urusan pendidikan, bisnis maupun berbagai urusan lain. Karena pergaulan itu, mereka juga cenderung mengikuti pola makan masyarakat luar dan menggemari makanan-makanan yang bahan utamanya mesti didatangkan dari luar (impor).

Sesungguhnya secara statistik, jumlah masyarakat Indonesia yang secara organik mulai tergantung pada makanan-makanan berbahan impor tergolong kecil sekalipun mengalami peningkatan tajam sejak era Reformasi seiring dengan peningkatan ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat. Tapi para pelaku industri, terutama sejak perdagangan bebas mulai didegungkan, melihat peluang besar dalam produk-produk makanan berbahan dasar impor terutama gandum.

Tepung gandum yang awalnya hanya dibutuhkan segelintir masyarakat untuk menunjang gaya hidup ala Barat mereka, sekarang menjadi kebutuhan banyak orang untuk membuat mie, kue, biskuit dan berbagai produk lain. Tepung gandung sebagai bahan dasar aneka makanan olahan dinilai pelaku industri lebih ekonomis dan memberi citra (prestise) pada makanan olahan yang dihasilkan.

Maraknya makanan (baik makanan pokok maupun cemilan) berbahan gandum yang semakin digemari masayrakat membuat Indonesia semakin tergantung pada komoditi tersebut. Pada saat yang sama, makanan-makanan asli Indonesia berbahan beras, ubi, kelapa dan bahan-bahan asli Indonesia lainnya semakin kalah pamor.
Jumlah masyarakat yang mulai mengurangi konsumsi beras semakin meningkat dari waktu ke waktu karena kampanye kesehatan (antara lain untuk mengurangi konsentrasi gula dalam tubuh). Sayangnya, pengurangan konsumsi beras tersebut tidak disubstitusi dengan konsumsi makanan berbahan asli Indonesia yang seperti ubi. Pamor bahan makanan berbahan dasar impor telah mengalahkan pamor makanan lokal sehingga mereka yang memutuskan pengurangan konsumsi beras lebih memilih roti rendah gula berbahan gandum, kentang impor dan aneka pangangan berbahan impor lainnya.

Melihat proses panjang dan keterlibatan berbagai unsur dalam kesuksesan penetrasi bahan-bahan makanan luar ke Indonesia, kita layak menyebut proses itu sebagai westernization of diet. Istilah ini mengindikasikan bahwa ketergantungan masyarakat yang semakin tinggi terhadap gandum dan bahan-bahan makanan impor lain tidak sepenuhnya terjadi secara organik. Logisnya, kampanye pelaku industri yang ditumpangi oleh politik pangan negara-negara produsen memainkan peran penting dalam proses tersebut.

Dalam kontestasi politik pangan global, Indonesia semakin tersandera karena semakin sulit lepas dari dampak perubahan-perubahan harga gandum dan bahan-bahan makan impor lainnya. Sebagai gambaran, menurut data BPS konsumsi gandum Indonesia di atas 10 juta ton per tahun. Semua itu harus diimpor karena gandum tidak termasuk bagian dari budidaya sektor pertanian Indonesia. 84 % dari total kebutuhan itu didatangkan Indonesia dari tiga negara yakni Australia, Ukraina dan Kanada.

Dari data tersebut kita bisa melihat betapa rentannya Indonesia terhadap gejolak sosial politik dan ekonomi di tiga negara tersebut hanya dari sisi harga gandum saja. Dalam kaitan dengan perang Rusia dan Ukraina yang masih berlangsung sekarang, Indonesia tentu tidak bebas menentukan sikap karena tersandera oleh kebutuhan akan gandum dari Ukraina dan Kebutuhan akan bahan impor lain dari Rusia.

Dalam artikel kedua saya mendiskusikan konsekuensi lebih luas (dalam geopolitik global) dari minimnya visi jangka panjang Indonesia dalam kebijakan-kebijakan di sektor pangan sehingga semakin tergantung dan tersandera oleh produk-produk impor.
Bersambung……….