Bangli (Metrobali.com) 

 

 

Kembali viralnya masalah pungutan retribusi wisata di Kintamani menjadi suatu persoalan penting yang mesti dicegah sebab hal tersebut terus ada dan berulang kali terjadi dikala wisata di Kintamani akan menggeliat atau pun mulai ada kedatangan pengunjung

Pungutan wisata Kintamani sebenarnya dikenal dengan retribusi wisata yang diatur dengan Perda nomor 7 Tahun 2010 tentang retribusi tempat rekreasi dan olahraga.

“Dalam Perda tersebut secara limitatif dan tidak boleh ditafsirkan lain sebab hanya ada kriteria beberapa tempat yang boleh dilakukan retribusi dalam bentuk pungutan, yaitu tempat rekreasi bersepeda, DTW Batur, DTW Trunyan, DTW Penglipuran, DTW Kehen, DTW Penulisan, Tempat Olah Raga Lapangan Tenis dan Kolam Renang, yang besaran retribusinya diatur dalam Peraturan Bupati Bangli No. 37 Tahun 2019,” kata pengamat sosial yang juga praktisi hukum, I Made Somya Putra, SH, MH. dalam siaran persnya, Jum’at (18/2/2022).

Menurut Somya, pungutan dengan dalih retribusi terhadap tempat rekreasi di Kintamani dengan cara memungut retribusi di jalanan ketika masuk ke areal Kintamani adalah perilaku yang keliru, karena pemungutan retribusi itu seharusnya terjadi di tempat rekreasi dan olahraga bukan di jalanan yang terlihat seperti memungut karcis masuk ke Kintamani, yang tujuannyapun belum tentu untuk rekreasi ataupun olahraga. Bahkan fenomena yang terjadi adalah perdebatan-perdebatan di jalanan antara petugas pemungut karcis dengan masyarakat yang terus saja terulang dan mempertontonkan wajah Bangli yang memalukan.

“Sebaiknya pungutan retribusi itu dimasukkan ke dalam karcis hanya khusus ketika hendak memasuki tempat rekreasi. Misalnya di arena bermain, atau usaha-usaha rekreasi yang ada di Kintamani, yang sudah ditentukan dalam Perda Bukan seperti terlihat memalak orang yang masuk ke Kintamani,” tutur Somya.

Namun sayangnya, pemerintah Kabupaten Bangli mengamini kekeliruan pemahaman terhadap Perda yang ada. Hanya demi mengejar target pemasukan anggaran daerah. Pemerintah Kabupaten Bangli seperti tidak peduli bahwasanya Bangli itu bagian dari Bali dan Indonesia, yang seharusnya tidak memungut retribusi terhadap orang hendak masuk ke Kintamani tetapi cukup hanya menarik pungutan kepada orang yang hendak masuk ke tempat rekreasi saja.

Apakah seluruh Kintamani adalah tempat rekreasi? Tentunya belum pasti

“Parahnya adalah, belum ada sentuhan atensi berupa informasi yang tegas dari pemerintah Kabupaten Bangli dalam hal ketentuan batasan area pengenaan karcis retribusi, dan sayangnya masyarakat pun tidak diberikan informasi yang jelas terkait kewenangan instansi manakah pungutan tersebut bermuara.

Mari kita lihat contoh Kabupaten Lain, misalnya air terjun Sekumpul di Buleleng, ketika pengunjung hendak masuk untuk menikmati air terjun barulah kemudian ia akan dikenai retribusi bukan berarti jika masuk desa Sekumpul kemudian ia dikenai retribusi.

Misalnya juga, bila hendak masuk ke daya tarik wisata Tanah lot, orang akan dikenai retribusi, tapi bukan berarti masuk ke Kabupaten Tabanan dia dipalak karcis dengan alasan rekreasi.

Begitu pula halnya, jika orang yang masuk ke air Sanih maka ia akan dikenai retribusi karcis, bukan berarti orang yang masuk ke Kecamatan Kubutambahan ia dikenai retribusi.

“Semoga pemahaman ini tersampaikan kepada pemimpin-pemimpin di Bangli yang kemudian merumuskan dalam sebuah sistem yang komprehensif untuk menerapkan Perda yang tepat, sehingga kita tidak terus saja dipertontonkan debat kusir yang terjadi secara horizontal antar masyarakat,” pungkas Somya. (hd)