tarif grab taxiPenerapkan tarif dengan sistem argo, seperti operasional taksi di Bali oleh GrabCar.

 

Denpasar (Metrobali.com)-

Indikasi permainan calo izin Grab di Bali mulai sedikit terkuak setelah ada pengakuan salah satu vendor Grab pertama di Bali. Kongkalikong jual beli izin GrabCar yang awalnya dikenal sebagai Grab Taksi di Bali karena ditolak oleh Asosiasi Sopir se-Bali ini, hasilnya bisa terbilang sangat menggiurkan bagi para oknum yang bermain. Betapa tidak, sebelum ramai ditolak di media massa, operasional GrabCar di Bali diserbu ratusan sopir yang beralih menggunakan aplikasi ini. Namun sayangnya belakangan baru diketahui ada indikasi permainan dibalik mulusnya aplikasi ini di Bali.

Bahkan Ketua Organda Bali, Ketut Eddy Dharma Putra saat memberikan keterangan pers, Senin (15/2) membantah pihak Organda Bali ikut bermain dalam jual beli izin GrabCar di Bali yang jumlahnya sudah mencapai sekitar 500 unit. “Saya katakan, kalo ada liat Eddy Dharma terima uang dari Grab, ada tandatangannya Eddy Dharma, berapa jumlahnya? saya akan bayar cash 10 kali lipat. Kalo ada lho, karena disini (Kantor Organda Bali, red) semua pertemuan dilakukan. Karena saya mempertemukan dengan rapat pleno. Jadi tidak enak jika ada kecurigaan,” katanya berkelit.

Namun salah satu Vendor GrabCar terbesar di Bali sebut saja bernama Edi di Denpasar, Minggu (21/2) malah mengaku sebelum bisa bergabung dengan GrabCar, setiap kendaraan harus mengantongi surat rekomendasi izin angkutan sewa dari Organda sebelum diurus izinya di Dishub Bali. “Saya punya izin induk, ibaratnya seperti jatah izin dari Dinas Perhubungan. Tapi untuk mengurus izin itu sebelum bergabung ke GrabCar, saya bisa habis 5,5 juta per unit. Minimal segitu saya mengeluarkan cost untuk pengurusan izin angkutan Grab per unit,” ungkapnya belum lama ini.

Anehnya, menurut Kabid Perhubungan Darat Dishub Bali, Standly J. Suwandhi saat memberikan keterangan, Rabu (3/2) mengaku, setiap izin angkutan yang dikeluarkan oleh pemerintah lewat Dishub Bali hanya dikenakan retribusi resmi sebesar Rp 75 ribu per unit. Jadi ada selisih sekitar Rp 5,425 juta (kemungkinan belum dipotong biaya lainnya) yang dikeluarkan oleh salah satu Vendor Grab ini untuk mendapatkan izin angkutan sewa per unitnya. Jika sampai tahun 2016 ini di Bali ada sekitar 2.000 unit tambahan izin baru untuk angkutan sewa, bisa dibayangkan berapa jumlah uang yang mengalir ke kantong para oknum yang diduga menjadi permainan oknum yang menjadi calo izin angkutan GrabCar ini.

Kembali ditegaskan, selama ini pihak Vendor Grab sebelum mengurus izin angkutan di Dishub Bali juga harus melapor dulu ke Organda untuk mendapatkan rekomendasi. “Harus bayar juga untuk mendapatkan rekomendasi. Jika tidak bayar rekomendasi tidak keluar. Itu resmi bayarnya. Namun untuk saya tidak pernah menjual izin induk saya, karena izin angkutan saya kelola sendiri. Apalagi izin induk yang diberikan Dishub Bali sangat terbatas,” jelasnya. Padahal sebelumnya, dari keterangan Kabid Perhubungan Darat, pihak Dishub Bali tidak memberikan jatah ataupun kuota izin bagi perusahaan angkutan. Namun diakui setiap pengurusan izin angkutan tidak boleh perorangan dan harus lewat perusahaan angkutan.

Sepanjang sepengetahuannya, perusahaan Grab awalnya berdiri di Bali sekitar bulan Agustus 2015. Waktu itu Grab hanya bekerjasama dengan 3 vendor pertama, yakni Royal, Bali Victory dan Mandas. “Saya sebagai vendor atau perusahaan transportasi pertama Grab yang awalnya tidak dibuka untuk partnership dengan masyarakat. Namun dalam perkembangannya dibuka Grab Profit Sharing sehingga pribadi pun bisa ikut dengan syarat punya izin unit kendaraan,” jelasnya.

Lebih lanjut dijelaskan, GrabCar dikelola di Singapura dan sekarang hanya dikembangkan di Jakarta dan Bali lewat PT Sarana Transportasi Indonesia. “Sekarang Grab yang dikelola perusahaan Singapura-Malaysia dulu ada kantor resminya di Dewangsa Jl. Pratama Tanjung Benoa, Kuta Selatan, Badung. Namun akhirnya ditarik dan tutup hingga sekarang. Sampai saat ini saya tidak tahu kantornya di Bali, sehingga saya harus berhubungan langsung dengan perusahaan Grab di Jakarta,” tandasnya.

Diakui sampai sekarang sudah ikut 30 unit mobil bergabung dengan GrabCar dan selaku vendor bisa menikmati keuntungan Rp 300 sampai Rp 500 ribu per unit dengan izin angkutan sewa seperti usaha rencar. “Izinnya seperti untuk rent car dengan plat hitam OS atau AS itu semuanya sewa. Tapi namanya rent car banyak juga yang tidak berizin,” katanya.

Aplikasi berbasis satelit ini dikatakan menerapkan argo dari satu titik ke titik yang lain dengan satu tarif yang tidak bisa dikurangi ataupun ditambah yang diatur langsung oleh aplikasi Grab. “Grab tidak menjanjikan bonus, namun memberikan insentif yang bisa berubah setiap minggu. Misalnya dalam sistem argo aplikasi ini bisa memberikan insentif 50 persen dari jumlah besarnya argo. Namun untuk mencairkan insentif juga ada ketentuan yang diatur oleh aplikasi ini, seperti jika rasio dibawah 4,2 persen insentif akan hangus. Bahkan jika rasio dibawah 4 persen langsung diblok tidak bisa ikut Grab lagi,” imbuhnya.

Dari keterangan tersebut, sudah jelas aplikasi GrabCar di Bali sudah berbisnis angkutan, karena menerapkan trayek dari satu titik ke titik lainnya dengan menerapkan argo yang harus disepakati oleh sopir maupun calon penumpang. Padahal sesuai aturan Keputusan Menteri (KM) No.35 tahun 2003, Bab IV, Pasal 30c menyebutkan angkutan sewa tidak menerapkan argo yang diatur seperti aplikasi GrabCar, karena tarif angkutan ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dengan penyedia jasa. Tidak seperti angkutan taksi yang wajib menggunakan tarif argo.

 AW-MB