Terbakarnya Mobil Listrik di Besakih. (Makna di Balik Peristiwa) : Ida Dalem Waturenggong Malah Turun Dari Kuda dan Jalan Kaki Menuju Pura Ulun Kulkul
Terbakarnya mobil listrik tersebut, 14 April 2024 yang mengangkut pemedek dari gedung parkir “jangkung” ngungkulin Pura Titi Gonggang
Denpasar, (Metrobali.com)-
Terbakarnya mobil listrik tersebut, 14 April 2024 yang mengangkut pemedek dari gedung parkir “jangkung” ngungkulin Pura Titi Gonggang, melewati pemargi sakeng Pura Manik Mas menuju “jaba sisi” Bencingah Agung, mengingatkan sejarah kaya makna.
Pertama, konon raja Ida Dalem Waturenggong ring jabaan Pura Manik Mas turun dari kudanya, dan berjalan kaki menuju Pura: Ulun Kulkul, Bangun Sakti, Goa Raja, Rambut Sadhana, Mrajan Kanginan, Basukhian, Penataran Agung Besakih. Raja yang trepti tangkil ring Pura Besakih.
Hal itu dikatakan Ketua Forum Penyadaran Dharma (FPD) Bali Jro Gde Sudibya, Selasa 18 April 2023 menanggapi terbakarnya kendaraan listrik tersebut di Gedung Parkir Bertingkat.
“Ini bukan menyeram nyeramkan masalah yang sudah terjadi. Tapi mestinya, manusia terutama orang yang menggagas terminal dan parkir bertingkat di Pura Besakih hendaknya mawas diri dan eling, bahwa kita percaya dan yakini ada alam niskala,” kata Jro Gde Sudibya.
Kedua, kata Jro Gde Sudibya jalan dari Pura Manik Mas tersebit (dua jalur), diberikan nama oleh Gubernur IB Mantra atas masukan dari IB.Oka Puniatmadja selaku Ketua Umum PHDI era itu, ASTA SURA. Makna dan pesannya, agar pemimpin Bali menjalankan 8 laku keutamaan kepemimpinan dengan meniru sifat 8 Dewa dalam Itihasa Ramayana, yang merupakan nasehat kepemimpinan dari Rama kepada Wibisana, pasca Rahwana gugur di medan laga karena keangkuhan dan kesombongannya.
Peristiwa yang kaya makna, jika kita tetap “berguru” pada “jejer kemiri pura ring sawewengkon Basukhian”, BESAKIH.
Dikatakan, tanda tanda alam dan mengingatkan umat manusia bukan sekadar peristiwa biasa. Informasi di media sosial yang diunggah oleh sejumlah akun netizen di menjelang prosesi Ida Bhatari Dewi Danuh “keaturan bhakti penyineban”, muncul “sasmita” Alam, “angin puting beliung” bertiup kencang. Rasanya, sebagai pengingat (pewungu) kembali tentang pesan makna : Alam Bali identik dengan Taman Sari Kehidupan.
Dikatakan, Taman Sari Kehidupan yang sudah semestinya dirawat, dijaga, melalui laku bersama “skala-niska” penuh ketulusan dan sikap mawas diri, sebagaimana geguritan Sucita-Subudi di bawah ini.
“Da mangutang yatna, Undagan ideppe lingling, Da drupon manyujuh sukla, Apan tuhu lintang sulit, Apang da dadi nungkalik, Nyudya mertha wesia tepuk, Yan tan prasida kreseng hati, Da mamurug, Apang da dadi pangenan”.
“Bali sebagai ” Taman Sari Kehidupan”, dewasa ini banyak sekali mengalami tekanan, ancaman dan goncangan keras, akibat dari prilaku kekuasaan sebut saja melakukan deprofanisasi dan desakralisasi Besakih, dan bahkan lebih jauh, ditafsirkan oleh publik melakukan politisasi pada saat piodalan Betara Turun Kabeh, melalui kampanye terselubung,” kata pengamat sosial dan politik Jro Gde Sudibya.
Dikatakan, tindakan yang tidak patut dari sisi “anggah-ungguh” menjaga kesucian Pura Besakih (manut Purana Besakih) dan manut Desa, Kala, Patra yang menjadi rujukan umum dalam prilaku di Bali.
“Pura Besakih “uluning jagat Bali”, diyakini oleh krama Bali (Re.Purana Besakih), setiap “gangguan” terhadap Besakih, mengganggu keseimbangan pulau Bali, “skala lan niskala”, dengan risiko konsekuensi yang sulit dibayangkan,” katanya.
Dikatakan, goncangan keras terhadap Bali, dari perspektif sosiologi pembangunan dapat diartikan sebagai “dark numbers” jumlah kegelapan dan “black spot” titik-titik hitam-gelap yang menodai sejarah Bali.
“Sudah semestinya krama Bali segera sadar dengan jebakan risiko ini, dengan biaya sosial dan kultural yang tidak terperikan,” Jro Gde mengingatkan. (Adi Putra)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.