Ilustrasi

Denpasar, (Metrobali.com)

Sudah lama diingatkan sekitar awal tahun 1990’an, sudah 35 tahun oleh berbagai pihak salah satunya bankir senior Nyoman Moena, Bali mengalami apa yang disebutnya sebagai “Ruralisasi”, berbarengan dengan Urbanisasi.

Oleh Pak Moena, putra dari pendiri Yayasan Dwidjendra, yang sekolahnya terus berkembang, ruralisasi, perpindahan pebisnis dan kalangan profesional dari seluruh dunia memasuki Bali.

Pada saat bersamaan, terjadi urbanisasi, perpindahan penduduk dari perdesaan Bali, Jawa, kepulauan di sebelah Timur Bali “menyerbu” Denpasar dan Badung. Menurut bankir ini,” melting pot”dari keduanya bisa melahirkan ledakan sosial.

Menurut I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi pembangunan Bali bahwa prediksi Pak Nyoman Molena sangatlah tepat, bahwa ledakan sosial tersebut sedang berlangsung di pulau Bali.

Dikatakan, intelektual Bali era rahun’1990’an, menyebut beberapa nama: Prof A Manuaba, Prof Ngurah Bagus, Kembar Kerepun, sering mewanti-wanti akan bahaya dari migrasi yang tidak terkendali, menjadi liputan dan ulasan rutin Bali Post.

Dikatakan, dampaknya dan nyatanya pembangunan selama puluhan tahun kepemimpinan Bali, tidak ada kebijakan makro ekonomi dan kependudukan dalam mengantisipasi masalah secara tepat.

“Tidak bermaksud untuk melakukan apologi, persoalan migrasi penduduk menjadi persoalan amat serius di banyak kota dunia. Kota-kota di Eropa, terutama Paris sering dilanda kerusuhan besar akibat persoalan imigran,” kata I Gde Sudibya.

Dikatakan, yang terakhir, di hari-hari ini ramai diulas di media Jerman, kenaikan suara yang sangat signifikan partai baru sayap Kanan yang anti imigran, anti islam (islamphobia) yang nyaris menyaingi suara partai berkuasa.

Menurutnya, fenomena ini tidak hanya berlangsung di Jerman, dialami juga oleh Austria, bahkan kalau tidak salah wakil PM Austria dari partai Nazi yang anti imigran.

“Fenomena ekonomi politik ini, dengan dimensi ketenaga-kerjaan segera akan menimpa Bali. Tetapi sayangnya tuan dan puan penguasa Bali tidak peduli, mewacanakan “jengah nindihan Bali”, dalam realitasnya, meminjam kritik bernama satire dalam bahasa Bali “sing ada apa De”,” katanya.

I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi pembangunan Bali mengatakan, Proyek KEK Sanur dalam industri rumah sakit, dan proyek KEK Pulau Serangan dalam industri “high tech”, di era Gubernur Koster, semestinya WK karena kewenangannya bisa “memaksa” investor untuk melakukan kerja sama dan investasi di sektor pendidikan Bali untuk menunjang aktivitas bisnisnya.

Dikatakan, bisa memberikan dampak berganda “multiplayer effect” untuk kesempatan kerja dan penambahan pendapatan tenaga kerja lokal.

Sebut saja kerja sama pengelola proyek ini dengan; Poltek Kesehatan, Fakultas Kedokteran dan Fakultas Pelayanan Kesehatan Masyarakat, SMK IT, Fakultas IT, dan universitas yang fokus dalam pengembangan kecerdasan buatan. Diskresi ini, tampaknya tidak dilakukan oleh Wayan Koster. Momentum emas pengembangan SDM dengan “high tech” terlewati.

Dikatakan, padahal Bali punya pengalaman yang kurang lebih mirip, pembangunan “tourist destination” Nusa Dua, berbarengan dengan pendirian STP Nusa Dua, yang di masa awalnya dibantu oleh UNDP. (Sutiawan)