kidung

Denpasar (Metrobali.com)-

Pengamat budaya dari Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr Ketut Sumadi menilai tembang-tembang kidung yang digunakan untuk melengkapi kegiatan ritual di Bali cenderung dipahami sebagai urusan para penghuni langit.

“Orang-orang di bumi pewaris pusaka tembang kidung kehilangan gairah untuk menemukan nilai lokal yang mampu memberikan vibrasi pencerahan,” kata Dr Ketut Sumadi yang juga Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana IHDN Denpasar, Senin (27/1).

Ia mengatakan, generasi pewaris dan penerus pusaka budaya kidung di Pulau Dewata kini semakin acuh dan menjauh dari olah yoga memutar tutur bijak leluhurnya dalam memengarungi arus deras budaya kontemporer.

Oleh sebab itu generasi pewaris pusaka kidung perlu meningkatkan gairah dalam mendengar tembang kidung, kemudian tergelitik mencipta tembang, genre kidung yang melintas batas budaya kontemporer di tengah globalisasi.

Ketut Sumadi menjelaskan, kidung dihadirkan dalam kreativitas berkesenian, matembang kidung diiringi irama gerak tari kontemporer dan tarian garis di atas kanvas para seniman lukis.

Di Bali terdapat 1.480 desa pakraman (adat) dan jika diprediksi masing-masing desa adat memiliki lima kelompok kekidung, sehingga di Pulau Dewata terdapat lebih dari 7.000 kelompok tembang, ujar Ketut Sumadi. AN-MB