agus dwi putranto

Jakarta (Metrobali.com)-

Pencarian pesawat Air Asia QZ8501 yang jatuh pada Minggu (18/1), 28 Desember 2014, menemui titik terang pada hari ketiga atau tepatnya Selasa, 30 Desember 2014.

Saat itu, Pangkoopsau I Marsda TNI Agus Dwi Putranto melihat ada objek tidak lazim yang mengapung di laut. Lokasinya di Selat Karimata, dekat dengan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.

Sejumlah benda ditemukan mengapung seperti lempengan logam, badan pesawat hingga jasad penumpang.

Penermuan itu mustahil terjadi tanpa menggunakan teknik pemodelan arus. Penemuan serpihan tersebut bukan suatu kebetulan tetapi berdasarkan data.

Kepala Bidang Teknologi Pemodelan Sumber Daya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Dr Nani Hendiarti mengatakan begitu pesawat Air Asia dari Surabaya tujuan Singapura itu hilang kontak dari menara pantau, pihak BPPT langsung menggunakan teknik pemodelan hidrodinamika.

Pesawat yang membawa 155 penumpang dan tujuh awak pesawat itu berangkat dari Bandara Juanda Surabaya menuju Singapura pada pukul 05.12 WIB dan hilang kontak di perairan Pulau Belitung dengan titik koordinat 03.22.46 LS dan 108.50.07 BT.

“Pesawat AirAsia jatuh di perairan Belitung. Kita harus tahu dulu, ke mana arus laut pada saat itu,” ujar Nani.

Teknik yang digunakan adalah teknik pemodelan berdasarkan analisis data satelit penginderaan jauh satelit TOPEX/Poseidon.

Data dari satelit itu menunjukkan anomali tinggi permukaan air laut atau “Sea Surface Height Anomaly” yang kemudian diturunkan menjadi informasi rerata arah dan kecepatan arus geostropik perairan.

“Pada posisi kotak terakhir di perairan Selat Karimata, arus laut bergerak dari barat laut menuju tenggara dengan kecepatan berkisar 1,5 meter/detik, maka dalam satu hari masa air bergerak sejauh 129.600 m atau 129 km,” kata perempuan berjilbab itu.

Di perairan ditemukannya serpihan pesawat, arus laut bergerak menuju timur dengan kecepatan lebih rendah berkisar 0,8 meter/detik atau dalam sehari bergerak sejauh 69 kilometer.

“Dengan data-data dari satelit dan perhitungan hidrodinamika, diketahui serpihan tersebut dari Selat Karimata ke arah Laut Jawa,” jelas dia.

Hasil dari pemodelan tersebut, yang digunakan oleh tim SAR untuk mencari pesawat QZ8501 berjenis Airbus A320-200 dengan registrasi PK-AXC yang membawa 155 penumpang terdiri atas 137 orang dewasa, 17 anak-anak, dan satu bayi. Selain itu, juga terdapat dua pilot, empat awak kabin dan satu teknisi.

“Awalnya data-data tersebut hanya digunakan untuk Kapal Baruna Jaya I yang ikut serta dalam misi pencarian itu,” ujarnya.

Kapal Baruna Jaya merupakan kapal riset milik BPPT yang arah dan tujuannya harus menggunakan data. Kapal Baruna Jaya menjadi kapal pertama yang masuk di lokasi. Biaya operasional kapal canggih itu mencapai Rp120 juta sehari.

Nani melanjutkan pihaknya kemudian melakukan diskusi hasil model tersebut, hasilnya ada kelompok yang menyisir laut ke arah barat laut yakni dari Pangkalan Bun ke Selat Karimata, dan ada juga melakukan penyisiran ke arah barat.

“Tim BPPT kemudian mengusulkan pada tim SAR untuk melakukan pencarian ke arah barat laut saja,” katanya.

Kapal milik BPPT tersebut juga menemukan sinyal kotak hitam di dua lokasi terekam bunyi ‘Ping’ yang direkam oleh Pinger Locator tim Baruna Jaya BPPT pada frequensi 37.5 Kilo Hertz di kedalaman 35 meter. Dua titik lokasi tersebut berjarak kurang lebih 20 meter.

Pencarian kotak hitam dilakukan dengan menggunakan alat penangkap sinyal dari Emergency Locator Transmiter (ELT) pesawat AirAsia QZ8501.

Hingga saat ini, sebanyak 51 jenazah penumpang ditemukan, serpihan pesawat, kursi pesawat juga kotak hitam, yang berisi rekaman data penerbangan dan rekaman percakapan di kokpit antara pilot dan kopilot, juga telah ditemukan.

Puji BPPT Menteri Koordinator Kelautan dan Kemaritiman Indroyono Soesilo bangga dengan kinerja tim Badan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

“Peneliti BPPT melakukan pencarian selama dua pekan di tengah-tengah kondisi cuaca yang tidak ramah. Mereka harus tetap bertahan, meskipun kapal yang melakukan pencarian berganti,” kata Indroyono.

Menteri Indroyono menjelaskan pemodelan hidrodinamika atau pemodelan arus merupakan pengembangan murni sains dan teknologi.

Pemodelan hidrodinamika juga dibuat dari beberapa temuan yang ditemukan seperti serpihan bangkai pesawat, dan mayat korban. Dari penemuan-penemuan itu dibuatlah pemodelan atas pola arus, kecepatan, dan kedalaman air.

“Bayangkan saja, tidak mungkin mencari benda dengan ukuran kecil dengan jangkauan luas tanpa pendekatan sains dan teknologi. Tentu akan sulit,” tukas Indroyono.

Menteri Indroyono memberi penghargaan pada tim BPPT yang ikut serta dalam pencarian pesawat tersebut. Kerja keras para peneliti BPPT ternyata membuahkan hasil yang sepadan.

Cerita tentang keberhasilan BPPT ternyata tidak hanya pada pesawat Air Asia QZ8501 saja, tetapi juga pada penemuan kotak hitam pesawat Adam Air di Laut Sulawesi, Kapal Bahuga Jaya yang tenggelam di laut Jawa, dan Kapal Gurita yang tenggelam di Aceh pada tahun 1996.

Juga penemuan mobil dan truk yang tenggelam di Sungai Mahakam pada saat jembatan Kutai Kartanegara ambruk. Jadi secanggih apapun peralatan yang digunakan untuk melakukan pencarian, tanpa pendekatan sains dan teknologi adalah suatu kesia-siaan. AN-MB